Bersama Hadits Mulia: “Barangsiapa Berpindah Agama”

Salam hormat kami untuk anda semua wahai para pendengar di manapun anda berada, di halqah terbaru dalam acara “Bersama Hadits Mulia”. Kami mulai dengan salam hormat paling utama:

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Abu Dawud meriwayatkan dalam kitab Sunan-nya, beliau menyebutkan:

أَنَّ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلَام أَحْرَقَ نَاسًا ارْتَدُّوا عَنْ الْإِسْلَامِ فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ: “لَمْ أَكُنْ لِأُحْرِقَهُمْ بِالنَّارِ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا تُعَذِّبُوا بِعَذَابِ اللَّهِ وَكُنْتُ قَاتِلَهُمْ بِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ” فَبَلَغَ ذَلِكَ عَلِيًّا عَلَيْهِ السَّلَام فَقَالَ: وَيْحَ ابْنِ عَبَّاسٍ

Bahwa Ali -‘alaihis salâm- telah membakar sejumlah orang yang keluar dari Islam. Lalu sampailah kejadian itu kepada Ibnu ‘Abbas, lantas beliau berkata: ‘Kalau Aku tidak membakar mereka dengan api, karena Rasulullah pernah bersabda: “Janganlah kalian menghukum dengan hukuman Allah.” Melainkan akan aku hukum mati mereka karena Nabi -shallallâhu ‘alaihi wa sallam- bersabda: “Barangsiapa berpindah agama maka bunuhlah ia.” Kemudian sampailah itu kepada ‘Ali -‘alaihis salâm-, lantas beliau berkata: ‘Duhai (alangkah terpujinya) Ibnu ‘Abbas.’.

Penulis kitab ‘Aun al-Ma’bûd (al-‘Azhim Abadi w. 1310 H) mengatakan: (Bahwa Ali) yaitu putra Abu Thalib. { Telah membakar sejumlah orang yang keluar dari Islam }, menurut riwayat al-Isma’ili dari jalur ‘Ikrimah mengatakan bahwa telah didatangkan kepada ‘Ali suatu kaum yang keluar dari Islam, atau mengatakan: kaum Zindiq beserta kitab mereka. Lalu beliau memerintahkan agar mereka dibakar. Maka dikobarkanlah api, lalu mereka dilemparkan ke dalamnya. { Lalu sampailah kejadian itu } yaitu pembakaran, kepada Ibnu ‘Abbas. Saat itu beliau sebagai Amir di Bashrah yang diangkat oleh ‘Ali -radhiyallahu ‘anhu-. Begitulah kata al-Hafizh (Ibnu Hajar al-‘Asqalani). { Akan aku hukum mati mereka }, yaitu kaum murtad yang telah keluar dari Islam. { Kemudian sampailah itu } yaitu: perkataan Ibnu ‘Abbas -radhiyallahu ‘anhu-. { Lantas beliau berkata } yaitu Ali. { Duhai Ibnu ‘Abbas (waiha Ibn ‘Abbas) }: itu memungkinkan bermakna bahwa beliau (Ali) tidak rela atas sanggahan Ibnu ‘Abbas tersebut, sebab beliau memandang larangan itu tidak tegas/tidak sampai haram. Ini didasarkan atas pengertian kata “waiha” sebagai ucapan sayang, sehingga beliau menyayangkan Ibnu ‘Abbas memahami larangan tersebut sebatas arti lahiriahnya nya semata sehingga menganggapnya haram secara mutlak, maka beliau mengingkarinya. Dan juga memungkinkan bahwa ucapan itu menunjukkan kerelaan beliau atas apa yang diucapkan Ibnu ‘Abbas, bahwa Ibnu ‘Abbas masih ingat apa yang beliau telah lupa. Berdasarkan salah satu dari pengertian kata “waiha” bahwa ia disebutkan sebagai ungkapan pujian dan rasa kagum sebagaimana disebutkan dalam kitab an-Nihâyah. Seolah-oleh mengambil dari apa yang dikatakan oleh al-Khalil dalam konteks belas kasih (ra`fah) dan menganggap manis (istimlâh). Seperti anda mengatakan kepada seorang anak kecil: “duhai bagusnya dia”. Selesai perkataan al-Azhim Abadi.

Al-Khaththabi berkata: Ucapan beliau itu adalah ungkapan doa atas Ibnu Abbas. Artinya adalah pujian dan rasa kagum atas perkataan beliau tersebut. Ini seperti sabda Rasulullah terkait Abu Bashir: “Alangkah beraninya dia dalam peperangan (wailu ummihi mis’ara harb).” Selesai perkataan al-Khaththabi.

Hadits tersebut menjadi dasar untuk menghukum mati wanita murtad sebagaimana laki-laki murtad. Ulama madzhab hanafi mengkhususkan hukuman mati hanya atas laki-laki saja, dengan berpegang pada hadits larangan membunuh wanita. Sedangkan mayoritas ulama mengartikan larangan tersebut hanya berlaku bagi wanita kafir asli (bukan kafir murtad –penj.) jika tidak turut serta dalam peperangan dan juga pembunuhan. Berdasarkan sabda Beliau dalam sebagian jalur riwayat hadits yang melarang membunuh wanita, ketika beliau melihat seorang wanita terbunuh (beliau berkata): “Tidak sepatutnya dia ikut berperang”, lalu beliau melarang membunuh wanita.

Dan telah ada dalam hadits Mu’adz bahwa Nabi -shallallaahu ‘alahi wa sallam- ketika mengutus beliau ke Yaman beliau berpesan kepadanya: “Siapapun laki-laki yang murtad dari Islam maka ajaklah kembali masuk Islam kalau saja dia mau. Jika tidak mau maka penggallah kepalanya. Dan siapapun wanita yang murtad dari Islam maka ajaklah kembali masuk Islam kalau saja dia mau. Jika tidak mau maka penggallah kepalanya.” Derajat sanadnya Hasan. Ini adalah nash terkait apa yang diperdebatkan, maka wajib untuk diambil. Demikian disebutkan dalam kitab Fathul Bârî.

Para pendengar yang mulia.

Islam sangat menekankan agar motivasi yang mendorong untuk menganut akidahnya adalah perihal kesahihannya semata. Bukan demi kepentingan duniawi apapun.. maka tidak ada rasa takut dari pengaruh Negara, juga tidak demi mengharap agar mendapatkan pelayanan yang baik darinya, juga bukan untuk membuat makar dan niat buruk tersembunyi dalam melawan Islam, negara, serta umatnya. Melainkan semata karena pembenaran yang pasti yang sesuai dengan realita bahwasannya di balik alam semseta, manusia, serta kehidupan ini ada sang Pencipta yang telah menciptakannya dari ketiadaan. Bahwasannya Dia telah mengutus sejumlah rasul untuk menunjuki manusia jalan yang benar dalam memakmurkan alam semseta dan menjalani kehidupan. Dan bahwasannya Muhammad adalah penutup para nabi dan rasul yang Dia utus dengan membawa agama Islam kepada seluruh manusia. Untuk mengentaskan mereka dari gelapnya kekufuran menuju kepada cahaya Islam. Maka setelah mengutus Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan risalah Islam Allah tidak menerima dari siapapun agama lain selain Islam.

Maka Islam ini datang dalam rangka menghapuskan (menasakh) setiap agama yang ada. Islam menginginkan dari siapa saja yang hendak menganutnya agar mengimani akidahnya dengan iman yang bersifat ‘aqli (dibangun di atas proses berfikir akal) yang menentramkan jiwa. Allah berfirman:

لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (QS. Al-Baqarah 256)

Untuk menjamin agar Islam tidak dianut kecuali hanya orang yang mengimaninya dengan sebenar-benarnya, dan untuk mencegah dari adanya penyusup ke dalam tubuh Islam dengan niat buruk yang tersembunyi, maka Islam menetapkan suatu hukuman yang mengerikan bagi siapa saja yang masuk Islam lalu kemudian ia murtad, apapun alasannya. Hukumannya adalah sebagaimana yang telah dinyatakan dalam hadits kita untuk hari ini, yaitu: hukuman mati!

Murtad dari Islam terjadi dalam dua kondisi:

Kemurtadan yang dilakukan secara perorangan. Maka orang tersebut diminta untuk bertaubat. Jika dia mau bertaubat dan kembali masuk Islam lagi maka dia dibiarkan. Namun apabila setelah diminta bertaubat dia tidak mau kembali masuk Islam, maka dia dijatuhi hukuman mati. dan Departeman Keamanan Dalam Negeri (Dâ`irah al-Amn ad-Dâkhilî) melalui perantaraan kepolisian (syurthah) yang akan mengeksekusi hukuman mati atasnya.

Kemurtadan yang dilakukan secara kolektif (berjama’ah). Maka wajib menyurati mereka dan meminta agar mereka kembali masuk Islam. Jika mereka bertaubat dan kembali masuk Islam serta berkomitmen terhadap hukum-hukum syari’at maka mereka dibiarkan. Namun apabila mereka tetap murtad, maka Departemen Keamanan Dalam Negeri (Dâ`irah al-Amn ad-Dâkhilî) yang akan menanganinya.

Jika mereka hanya kelompok kecil saja, maka memungkinkan kepolisian yang menangani mereka.
Namun apabila mereka merupakan kelompok yang besar yang pihak kepolisian tidak mampu menanganinya, maka pihak kepolisian harus meminta kepada Khalifah untuk memperkuat mereka dengan kekuatan militer. Jika kekuatan militer belum cukup, maka meminta khalifah agar mengerahkan pasukan untuk membantu mereka hingga mampu mengalahkannya.

Begitulah hukum syara’ terkait dengan siapa saja yang keluar (murtad) dari Islam. Baik mereka murtad dengan memeluk agama samawi selain Islam seperti Nasrani dan Yahudi, maupun mereka murtad dengan memeluk selain agama samawi seperti Sekularisme, Sosialisme, Liberalisme, dan lainnya di antara keyakinan-keyakinan yang sesat lagi menyesatkan.

Sebab tidak boleh membiarkan mereka menebar kerusakan di dalam negara dan di tengah-tengah manusia. Melainkan dengan diajak diskusi dan ditunjukkan hujjah kepada mereka, lalu mereka diminta untuk bertaubat. Bila tidak mau bertaubat, maka hukuman mati lah yang merupakan ketetapan syari’at atas mereka.

Tidak sebagaimana yang diklaim oleh mereka-mereka yang terkalahkan (secara pemikiran) dari kalangan umat, yang menyatakan bahwa Islam telah menjamin kebebasan individu dalam berakidah dan berpendapat, sehingga boleh bagi mereka berpindah-pindah agama sesuka hati dan menyebarkan pendapat-pendapat mereka di tengah-tengah kaum muslimin betapapun rusaknya pendapat-pendapat tersebut. Sampai meskipun itu berupa pendapat-pendapat yang memusuhi Islam, dan menodai hukum-hukum serta kesucian-kesuciannya.

Sesungguhnya istilah-istilah tersebut tidak sampai kepada kita melainkan dari negara-negara kafir penjajah, setelah mereka meruntuhkan Negara Islam dan menyingkirkan hukum-hukumnya dari kehidupan manusia. Mereka gencar menyerang Islam dan mengritik syari’at-syari’atnya.

Kemudian mereka meminta kaum muslimin untuk mau menerima kritikan-kritikan tersebut serta bersikap toleran terhadap para pengembannya. Dengan dalih kebebasan berpendapat, kebebasan berakidah, dan kebebasan berkepribadian. Dan lebih parah lagi adalah adanya sebagian dari umat ini yang akalnya telah mengonsumsi tsaqafah barat mengatakan berakidah apapun bebas dengan dalil ayat:

لَآ إِكۡرَاهَ فِي ٱلدِّينِۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَيِّۚ

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. (QS. Al-Baqarah 256)

Padahal ayat tersebut tidak berbicara tentang orang yang telah masuk Islam lalu kemudian hendak keluar darinya. Akan tetapi terkait kaum kafir yang dibebaskan (futuhat) negeri-negerinya dan diseru untuk masuk Islam. Maka tidak boleh memaksa mereka untuk masuk Islam, melainkan menyeru mereka dengan hikmah, mau’izhah hasanah, dan mendebat dengan cara yang terbaik. Lalu kemudian membiarkan mereka menentukan sendiri apakah hendak masuk Islam ataukah tetap dalam agama mereka.

Sehingga masuk Islam di sini tidak lain terjadi dengan pilihan yang bebas, karena akidah Islam adalah akidah yang bersifat logis, yang dibangun berdasarkan proses berfikir akal. Yaitu akidah yang sesuai dengan fitrah serta memuaskan akal, yang tidak mungkin dipungkiri oleh orang berakal atau berilmu manapun.

Kemudian ada sejumlah tanggungjawab besar yang menjadi konsekuensi daripada akidah tersebut. Berupa taat kepada Allah, Rasul-Nya, dan para pemimpin (Ulil Amri) dari kalangan kaum muslim, serta terikat dengan hukum-hukum syariat yang lurus. Juga tulus ikhlas dalam mengabdi terhadap umat dan membela agama.

Ini semua tidak akan dimampui kecuali oleh seorang mukmin, yang menganggap kehidupan dunia ini adalah tempat untuk bersusah payah (dalam beramal shalih), sedangkan di akhirat ada kesenangan yang abadi di taman-taman surga yang penuh dengan kenikmatan.

Para pendengar yang mulia, sampai jumpa pada pembahasan hadits Nabi lainnya, semoga kalian selalu dalam pemeliharaan Allah.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Sumber: hizb-ut-tahrir.info

Share artikel ini: