Berjuang Tidak Boleh Menghalalkan Segala Cara
Oleh: Achmad Fathoni (Dir. El Harokah Research Center)
Dalam Islam, kekuasaan dibutuhkan demi penegakan syariah Islam secara menyeluruh. Namun, yang menjadi persoalan, bagaimana caranya meraih kekuasaan itu, apakah dengan cara yang halal atau haram. Adapun tujuan yang benar wajib ditempuh melalui cara yang benar. Islam tidak mengakui prinsip Machiavelis, yakni the end justifies the means (tujuan dapat menghalalkan segala cara). Yang benar dalam Islam justru sebaliknya, sebagaimana dirumuskan oleh Imam Taqiyuddin an-Nabhani, yakni tujuan tidak menghalalkan segala cara (al-ghayah la tubarrir al-wasiithah). (Muqaddimah ad-Dustur, 1963, hlm. 405).
Imam an-Nabhani menerangkan dalil dari kaidah itu, yaitu firman Allah SWT (artinya): Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan (QS al-Maidah [5]: 48). Ayat ini, menurut beliau, menjelaskan bahwa yang menjadi pedoman dalam berbuat, baik itu menyangkut tujuan atau metode, adalah bi ma anzaLlah (apa yang telah Allah turunkan), dan bukannya bi-ma nataja min a’mal (apa yang dihasilkan dari perbuatan).
Menurut Imam an-Nabhani, tujuan dan metode adalah perbuatan manusia (fi’lul abdi). Yang menjadikan perbuatan manusia itu sah hanyalah dalil syar’i, bukan hasil atau manfaat yang akan dihasilkan dari perbuatan itu. (Muqaddimah ad-Dustur, 1963, hlm. 405).
Maka dari itu, jelas tidak benar kalau ada partai atau kelompok Islam yang bertujuan meraih kekuasaan dengan menggunakan strategi atau langkah yang diharamkan. Misalnya tidak mau lagi memperjuangkan syariah, menjadi partai terbuka, berkampanye dengan melanggar syariah, berkoalisi dengan partai sekular dan terlibat dalam sistem pemerintahan sekular.
Semua strategi atau langkah itu tidak mencerminkan metode (tharîqah/manhaj) yang diajarkan dalam Islam, melainkan mencerminkan metode yang diajarkan ideologi Kapitalisme, yaitu pragmatisme. Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar-tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung pada berfaedah tidaknya ucapan, dalil atau teori itu bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya. Pragmatisme merupakan budaya dan tradisi berpikir Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, dengan tokohnya Charles S. Peirce (1839-1942), William James (1842-1920) dan John Dewey (1859-1952). (Jurdi, Aib Politik Islam, 2009: 238).
Apabila suatu kelompok Islam mengamalkan kaidah menghalalkan segala cara yang ditempuh sebuah partai Islam setidaknya menimbulkan bahaya (dharar) bagi 3 (tiga) pihak. Pertama: bagi partai Islam yang mengamalkannya. Partai itu akan terancam oleh bahaya ideologi (al-khathr al-mabda’i). Maknanya, ideologi partai, baik fikrah (pemikiran) maupun tharîqah (metode)-nya, akan mengalami erosi dan pendangkalan, dan bahkan dapat mengalami degradasi atau kehancuran.
Kedua: bagi masyarakat pada umumnya. Ini karena tindakan menghalalkan segala cara adalah edukasi yang buruk kepada masyarakat, dapat menyesatkan masyarakat, di samping dapat memperburuk citra partai Islam secara keseluruhan di mata masyarakat.
Ketiga: bagi konstituen partai Islam itu. Bahaya ini muncul karena konstituen partai Islam umumnya adalah orang-orang yang ikhlas, lugu dan patuh kepada pimpinan partai (qiyâdah). Dengan menghalalkan segala cara, berarti partai Islam itu telah menipu konstituennya. Konstituen mengira partainya adalah partai Islam sejati, padahal sejatinya adalah partai yang menyimpang dari Islam, yang telah terjerumus ke dalam langkah-langkah pragmatis tanpa mempedulikan halal-haram.[]