Berjuang menegakkan negara Islam yang akan menerapkan hukum-hukum Allah, hukum asalnya adalah fardhu kifāyah. Namun, mengingat bahwa fardhu kifāyah itu belum juga berhasil diwujudkan dengan upaya mereka yang memperjuangkannya, maka kewajiban ini diperluas hingga mencakup setiap Muslim. Begitulah kedudukan dari setiap fardhu kifāyah.
Dalil atas kewajiban memperjuangkan tegaknya negara Islam adalah dalil yang qath’iy tsubut (sumbernya pasti) dan qath’iy dilalah (maknanya pasti). Sehingga mengingkari kewajiban ini bisa menjadikannya kafir. Sementara orang yang mengakuinya, namun ia abai dan lengah dalam memperjuangkannya, maka ia bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalil dalam hal ini adalah nash-nash yang memerintahkan agar terikat dengan syariah Islamiyah dan berhukum dengannya, serta melarang berhukum pada yang selainnya. Seperti firman Allah SWT:
﴿وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا﴾
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah.” (TQS Al-Māidah [5] : 38).
Dan firman-Nya:
﴿الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ﴾
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera.” (TQS An-Nūr [24] : 2).
Dan firman-Nya:
﴿اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلاَ تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ﴾
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (TQS Al-A’rāf [7] : 3).
Dan firman-Nya:
﴿يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ﴾
“Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu.” (TQS An-Nisā’ [4] : 60).
Dan firman-Nya:
﴿فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ﴾
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (TQS An-Nisā’ [4] : 65).
Dan masih banyak lagi nash-nash syara’ terkait hal ini. Di mana dengan tidak adanya negara Islam, sebagian besar hukum-hukum (syariah) Islam diabaikan dan disia-siakan. Kita sebagai umat Islam bertanggung jawab dengan semua kezaliman ini.
Adapun berjuang dengan sekuat tenaga sebagai kewajiban setiap Muslim, maka hal ini juga dalilnya adalah qath’iy tsubut (sumbernya pasti) dan qath’iy dilalah (maknanya pasti), sehingga orang yang mengingkarinya bisa menjadi kafir, sedang orang yang lalai dan lengah terhadap kewajiban ini, maka ia tergolong orang yang bermaksiat kepaada Allah dan Rasul-Nya, seperti firman-Nya:
﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (TQS At-Taghābun [64] : 16).
Dan firman-Nya:
﴿لاَ يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا﴾
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (TQS Al-Baqarah [2] : 286).
Ketika Allah SWT berfirman: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (TQS Al-Baqarah [2] : 286), maka ini artinya, bahwa beban itu sesuai kesanggupannya. Kesanggupan itu adalah melakukan dengan kekuatan maksimal, bukan kekuatan minimal, atau kekuatan biasa saja.
Begitu juga firman Allah SWT: “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (TQS At-Taghābun [64] : 16). Artinya semua kekuatan kalian, bukan separuh, sepertiga atau seperempatnya. Ketika seorang Muslim melihat kemungkaran di sekelilingnya secara umum dan mewabah, maka ia diperintahkan untuk mengubahnya dengan semua kekuatannya, bukan sebagian kekuatannya. Rasulullah SAW bersabda:
«مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ»
“Siapa saja yang melihat kemunkaran, maka ubahlah kemunkaran itu dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; dan jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, meski yang terakhir itu menandakan selemah-lemahnya iman.” (HR Muslim).
Pernyataan “jika tidak mampu” dalam hadits tersebut menunjukkan bahwa ia telah menggunakan semua kekuatannya hingga ia tidak mampu lagi.
Di sini ada sebagian yang salah dalam memahaminya, sehingga rancu antara berjuang menegakkan negara Islam dengan mendirikannya secara langsung. Karenya mereka berkata: “Kami tidak mampu melengserkan rezim yang ada untuk mendirikan negara Khilafah sebagai gantinya. Sebab kami tidak mampu, maka kami tidak dibebani tanggung jawab atas itu, karena “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”. Pernyataan ini bisa merupakan hasil dari ketidaktahuan, kebencian, atau penyesatan. Untuk menghilangkan kesalahan ini, maka kami katakan: “Jika kelompok yang tengah berjuang menegakkan Khilafah itu mampu menegakkannya dengan segera, maka mereka tidak boleh menundanya. Jika mereka tidak mampu segera, maka mereka mereka wajib berjuang, mempersiapkan dan meningkatkan kekuatannya untuk menyukseskan perjuangannya ini, meski itu akan terwujud setelah beberapa saat. Mereka yang tidak mampu mewujudkan tujuan dengan segera, maka mereka harus memperjuangkannya dengan sekuat tenaga untuk mewujudkannya ketika mereka bisa.
Lalu mengapa berkata: “Kami tidak mampu?” Padahal kewajiban ini tidak dituntut dari saru orang saja, satu partai saja, satu kelompok saja, atau satu negeri saja, melainkan kewajiban ini dituntut oleh syara’ dari dari semua umat Islam, baik Arab dan non-Arab, dan sekarang kewajiban ini telah menjadi fardhu ‘ain bagi setiap Muslim. Apakah umat Islam benar-benar tidak berdaya dan tidak mampu, atau apakah itu buah dari kehinaan, kelengahan dan kemaksiatan akibat dari pengaruh budaya Barat, serta efek dari fatwa para ulama salāthin dari kalangan orang-orang munafik?!
Ketika kami mengatakan bahwa seorang Muslim sekarang diwajibkan dengan fardhu ‘ain untuk berjuang menegakkan negara Islam dengan sekuat tenaga, maka itu artinya bahwa ia harus meninggalkan banyak aktivitas mubah dan perbuatan-perbuatan sunnah jika mereka tengah disibukkan dengan melakukan kewajiban ini. Seorang Muslim harus bekerja untuk mencari nafkah dirinya dan keluarganya, ini adalah fardhu ‘ain baginya, dan mengemban dakwah untuk menegakkan Khilafah (sekarang) fardhu ‘ain baginyalalu, mana dari dua kewajiban ini yang harus didahulukan atas yang lain? Syariah mengharuskan seorang Muslim untuk melakukan semua kewajiban, namun ketika kewajiban-kewajiban ini menumpuk, sehingga jika ia melakukan sebagian darinya, maka ia tidak lagi memiliki waktu untuk melakukan yang lain. Dalam kasus seperti itu, syariah itu sendiri yang memutuskan kewajiban mana yang harus dihulukan dan mana yang harus ditunda. Masalah ini adalah masalah sesuai tidaknya dengan syariah, bukan masalah yang memperturutkan hawa nafsu. Para ulama dan mujtahid mampu memahami mana yang prioritas. Dalam hal yang telah kami sebutkan, bekerja mencari nafkah didahulukan daripada berjuang menegakkan Khilafah ketika terjadi penumpukan kewajiban. Namun mencari nafkah yang dihalukan atas aktivitas mengemban dakwah untuk tegaknya Khilafah adalah mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan primer, bukan kebutuhan sekunder apalagi kebutuhan tersier (kemewahan). Jika seorang Muslim segera dan sudah mendapatkan kebutuhan primernya, maka setelah itu tidak boleh ia melakukan aktivitas tambahan untuk mendapatkan kebutuhan tersier (kemewahan), jika aktivitas ini menyebabkan tertundanya kewajiban mengemban dakwah untuk menegakkan Khilafah.
Seringkali, sejumlah aktivitas tidak menghalangi seorang Muslim dari mengemban dakwah, selama ia beraktivitas di tengah-tengah masyarakat, maka ia dapat mengemban dakwah kepada mereka di sela-sela aktivitasnya.
Bukan termasuk uzur (alasan) syar’iy (yang diterima syariah), ketika seorang Muslim mengatakan: “Saya tidak mampu berjuang menegakkan Khilafah, sebab hal ini akan membuat saya dipecat dari pekerjaan, atau menyebabkan saya dijebloskan ke dalam penjara, karena pekerjaan yang diharapkan itu menyebabkan bermaksiat, maka ia tidak boleh terus bekerja di situ. Begitu juga tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim mencari nafkah yang berhubungan dengan khomer, aktivitas riba, menyuap dan menipu. Jadi, tidak diperbolehkan baginya untuk mencari nafkah dengan mendukung sistem kufur, atau diam saja terhadap sistem kufur.
Adapun berjuang menegakkan Khilafah sesegera mungkin, maka ini dalilnya juga qath’iy tsubut (sumbernya pasti) dan qath’iy dilalah (maknanya pasti).
Karena hukum-hukum syariah yang diwahyukan oleh Allah SWT itu menuntut untuk diterapkannya sejak hukum-hukum itu disampaikannya. Ketika turun hukum tentang perubahan kiblat, dari Baital Maqdis ke Masjidil Haram, maka mereka yang sedang dalam shalat segera merubah posisi ke arah Masjidil Haram setelah perintah itu sampai pada mereka, dan mereka tetap dalam kondisi shalat. Jadi, hukum asal penerapan hukum adalah bersegera, dan bukan longgar (menunda), kecuali jika ada dalil yang menunjukkan ahl itu.
فحين يقول الله: {يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ{ أو يقول: {يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ} أو يقول رسول الله -صلى الله عليه وسلم: «من رأي منكم منكراً فليغيره»
Ketika Allah SWT berfirman:
﴿يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ﴾
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu.” (TQS An-Nisā’ [4] : 1).
Dan firman-Nya:
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ يَسْخَرْ قَومٌ مِنْ قَوْمٍ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka.” (TQS Al-Hujurāt [49] : 11).
Rasulullah SAW bersabda:
«مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ»
“Siapa saja yang melihat kemunkaran, maka ubahlah kemunkaran itu dengan tangannya.” (HR Muslim).
Semua yang tersebut di atas menuntut dengan segera. Begitu juga nash-nash yang terkait dengan tugas negara, seperti menegakkan hudūd (sanksi atau hukumam yang telah ditetapkan oleh syariah), memutus perkara di antara manusia (rakyat), serta mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad, juga menjaga perbatasan, dan menerapkan hukum-hukum syariah terhadap rakyat, maka semua itu dituntut untuk segera dilakukan. Termasuk bahwa kaum Muslim tidak boleh tinggal lebih dari tiga hari tanpa seorang Khalifah yang menerapkan syariah. Sementara Rasulullah SAW bersabda:
«وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً»
“Siapa saja yang meninggal sedang di pundaknya belum ada baiat, maka ia mati dalam keadaan jahiliyah (berdosa).” (HR Muslim).
Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi mereka yang mengatakan, misalnya: “Saya akan berjuang menegakkan negara Islam, namun tidak sekarang, tetapi setelah saya lulus dari universitas”, atau mengatakan: “Setelah menyelesaikan proyek yang sedang saya jalankan”, atau yang serupa dengan itu. Karena berjuang ketika mampu itu wajib segera, sedang meninggalkannya adalah kemaksiatan.
Sedangkan aktivitas paling penting dalam perjuangan menegakkan Khilafah adalah menjelaskan konsep Khilafah ini kepada kaum Muslim, dan memahamkan mereka kepadanya, sampai ia menjadi aksioma pengetahuan agama yang lazim. Pada saat menjelasan konsep Khilafah kepada kaum Muslim serta memahamkan mereka kepadanya, maka bersamaan dengan itu juga harus jiwa mereka diisi dengan perasaan Islam yang mendorongnya untuk beramal, sabar, serta rela berkorban untuk terus berjuang demi menegakkannya.
﴿وَقُلْ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ﴾
“Dan Katakanlah: ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu’.” (TQS At-Taubah [9] : 105).
[Muhammad Bajuri – Majalah Al-Waie )Arab), Edisi. 83, Tahun ke-VII, Syawal 1414 H./Maret 1994 M.]