Mediaumat.id – Rencana Amerika Serikat (AS) yang akan memberi bantuan senilai US$102 juta (Rp1,44 triliun) untuk negara ASEAN dalam menangani perubahan iklim, sebagaimana disampaikan Menlu RI Retno Marsudi usai menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN dan AS secara virtual pada Rabu (27/10), dinilai sebagai langkah pencitraan.
“Langkah AS ini jelas hanya langkah pencitraan semata,” ujar Direktur Institute Muslimah Negarawan (IMuNe) Dr. Fika Komara kepada Mediaumat.id, Jumat (29/10/2021).
Fika menerangkan, hal itu tampak dari penggelontoran bantuan yang dilakukan menjelang konferensi perubahan iklim COP26 di Glasgow, Inggris pada 31 Oktober sampai 12 November mendatang.
Bahkan dari rencana AS tersebut, Fika juga menyebut tak lebih dari upaya mencuci dosa atas negara-negara tropis dengan perannya sebagai paru-paru dunia. “Kita tidak boleh lupa AS adalah negara penghasil emisi karbon terbesar dunia setelah Cina, alias penyumbang terbesar kerusakan lingkungan secara global,” tuturnya.
Sehingga ada kesan kuat, AS enggan disalahkan terkait penanggulangan krisis iklim secara global. “Sampai saat ini AS justru enggan meratifikasi Protokol Kyoto tentang perubahan iklim,” ungkapnya.
Akibat Kapitalisme
Menurut Fika, kerusakan iklim secara global adalah akibat penerapan kapitalisme yang mengutamakan kepentingan industrialisasi di atas kepentingan manusia dan lingkungan. “Negara-negara industri maju tampak enggan bertanggung jawab, padahal mereka penghasil emisi CO2 terbesar di dunia,” tandasnya.
Sedangkan terkait janji negara-negara industri pada 2009, termasuk AS yang akan mengumpulkan US$100 miliar per tahun pada 2020 pun, ternyata isapan jempol belaka. “Mereka berjanji untuk membantu negara-negara berkembang yang emisinya sangat rendah untuk mengatasi perubahan iklim. Namun, janji mereka meleset dari sasaran,” ujarnya.
Oleh karena itu, Fika berharap, sebagai negeri Muslim anggota ASEAN seperti Indonesia, Malaysia maupun Brunei tidak boleh menerima bantuan apa pun dari negara kufar, dan silau dengan dolar dari negara perusak semacam AS. Karena bantuan itu juga tak lebih dari sekadar ‘suap’ demi mengokohkan posisi.
Justru sebagai negeri Muslim, semestinya bisa mengambil pelajaran besar dari sikap acuh, arogan dan tak bertanggung jawab dari para negara industri maju yang dipertontonkan dengan jelas. “Mereka tidak lebih hanyalah pembuat kerusakan di bumi,” timpalnya sembari mengutip firman Allah SWT yang artinya:
‘Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).’ [Ar-Rum: 41]
Sebaliknya, tegas Fika, negeri-negeri Muslim harus kembali pada Islam dengan ideologinya yang merupakan sistem komprehensif untuk semua bidang kehidupan dan memiliki pandangan serta peraturan khusus terkait lingkungan dan perlindungannya.
Di antaranya, jelas Fika, Islam membangun kesadaran, nilai dan rasa hormat terhadap alam yang juga termasuk bagian dari ciptaan Allah SWT. “Karenanya harus diperlakukan dengan hati-hati dan dilindungi dari bahaya,” ujarnya.
Selanjutnya, Islam memandang hubungan manusia dengan alam sebagai hubungan saling melengkapi. Karena memang, sambung Fika, Allah SWT menjadikan dunia untuk dimanfaatkan dan dikelola oleh manusia.
Namun demikian, upaya mencegah kerusakan pada tanah, lautan dan planet akibat konsumsi berlebih, limbah berlebih atau pun tindakan serta praktik merugikan lainnya adalah keharusan, demi kelanjutan budidaya bumi yang bermanfaat dan penggunaan sumber dayanya oleh umat manusia.
Tak hanya itu, tambah Fika, Islam juga menerangkan bahwa terdapat keseimbangan dan ukuran yang terarah dan tepat untuk segala sesuatu di bumi. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya: ‘Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran.'[Al-Hijr: 19][] Zainul Krian