Berhukum dengan Apa yang Diwahyukan Allah: Ibadah dan Kekuasaan
]إِنِ ٱلۡحُكۡمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُۚ[
“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.” (TQS. Yusuf [12] : 40).
Kehidupan kaum Muslim harus dijalankan hanya untuk ibadah kepada Allah. Seorang Muslim sangat meyakini bahwa Allah-lah yang menciptakan dirinya, serta menciptakan pendengaran dan penglihatannya, bahwa dirinya diciptakan untuk satu tujuan, yaitu beribadah kepada Allah, dan menyeru manusia untuk beribadah hanya kepada Allah SWT. Tuhan semesta alam. Ibadah ini tidak dapat sepenuhnya diwujudkan tanpa adanya negara Islam yang melakukan apa yang diamanatkan oleh syariah, yang tidak boleh dilakukan oleh selain negara. Jadi, ada tidaknya negara menentukan ada tidaknya pelaksanaan ibadah tersebut … Inilah yang dijunjung oleh Islam, bahwa agama mereka adalah agama terkait pemerintahan, legislasi, dan jihad, juga agama yang mengatur peribadahan, moral, dan makanan … Kami merasakan semua itu ada dalam ayat-ayat Allah SWT. Namun tidak mampu menggerakkan kaum Muslim dan para ulama mereka khususnya. Sehingga wajib atas mereka memahami bahwa jika kehidupan kosong dari hukum-hukum Allah sebab tidak adanya negara Islam, maka mereka wajib menegakkan negara Islam agar seluruh hukum-hukum Allah dapat dijalankan. Dan inilah kumpulan ayat-ayat Allah yang memerintahkan untuk berhukum dengan apa yang diwahyukan Allah, bahkan menyebutkan orang-orang yang ingin berhukum kepada selain hukum Allah sebagai kesesatan, dan jika kaum Muslim tidak memahami hal ini, maka mereka termasuk orang-orang yang akan dijatuhi sanksi, dan mereka akan diminta pertanggungjawabannya pada hari kiamat, apakah itu baik atau buruk.
Allah SWT. berfirman:
]إِنِ ٱلۡحُكۡمُ إِلَّا لِلَّهِ أَمَرَ أَلَّا تَعۡبُدُوٓاْ إِلَّآ إِيَّاهُۚ[
“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.” (TQS. Yusuf [12] : 40).
Berdasarkan ayat di atas bahwa berhukum dan memutuskan suatu perkara termasuk bagian dari ibadah, maka ayat tersebut membatasi berhukum itu hanya kepada Allah SWT. sehingga tidak boleh ada orang yang berhukum kepada selain hukum Allah SWT. karenanya setelah itu Allah SWT. berfirman: “Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia.” Hal ini menunjukkan bahwa berhukum kepada hukum Allah SWT. adalah ibadah yang hanya kepada Allah semata.
Allah SWT. berfirman:
]وَأَنزَلَ مَعَهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَ ٱلنَّاسِ فِيمَا ٱخۡتَلَفُواْ فِيهِۚ[
“Dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 213).
Dalam ayat ini Allah SWT. menjelaskan misi para Nabi, dimana semua Nabi menyeru untuk beribadah hanya kepada Allah, dan berhukum hanya dengan hukum yang diwahyukan-Nya, sedang Nabi Muhammad saw. adalah salah satunya, terutama karena agama Islam adalah agama yang membawa hukum untuk umat manusia di seluruh dunia, dan hukum-hukum yang dibawanya berlaku hingga hari kiamat.
Allah SWT. berfirman:
﴿إِنَّآ أَنزَلۡنَآ إِلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ بِٱلۡحَقِّ لِتَحۡكُمَ بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُۚ﴾
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu.” (TQS. Al-Nisa’ [4] : 105).
Ini artinya bahwa hukum Islam adalah hukum untuk menyelesaikan konflik dan perselisihan di antara manusia: dalam darah, kehormatan, harta, dan hak-hak lainnya, bahkan semua masalah hukum, yang didasarkan pada metode ijtihad yang dibenarkan oleh syariah.
Allah SWT. berfirman:
﴿إِنَّمَا كَانَ قَوۡلَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذَا دُعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَهُمۡ أَن يَقُولُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُون﴾
“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan. ‘Kami mendengar, dan kami patuh’. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (TQS. An-Nur [24] : 51).
Ini artinya bahwa orang-orang beriman diseru untuk memutuskan perkara di antara mereka dengan hukum Islam, dan wajib bagi mereka untuk mengatakan kami telah mendengar dan menaatinya dengan ketaatan penuh, sedikit pun tidak ada rasa keberatan, sedang keberuntungan dan kebaikan dari semua hanya dari Allah SWT.
Allah SWT. berfirman:
﴿يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩ أَلَمۡ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ يَزۡعُمُونَ أَنَّهُمۡ ءَامَنُواْ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوٓاْ إِلَى ٱلطَّٰغُوتِ وَقَدۡ أُمِرُوٓاْ أَن يَكۡفُرُواْ بِهِۦۖ وَيُرِيدُ ٱلشَّيۡطَٰنُ أَن يُضِلَّهُمۡ ضَلَٰلَۢا بَعِيدٗا ٦٠ وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ تَعَالَوۡاْ إِلَىٰ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ وَإِلَى ٱلرَّسُولِ رَأَيۡتَ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُودٗا ٦١ فَكَيۡفَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةُۢ بِمَا قَدَّمَتۡ أَيۡدِيهِمۡ ثُمَّ جَآءُوكَ يَحۡلِفُونَ بِٱللَّهِ إِنۡ أَرَدۡنَآ إِلَّآ إِحۡسَٰنٗا وَتَوۡفِيقًا﴾
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu. Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah: ‘Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna’.” (TQS. Al-Nisa’ [4] : 59-62).
Yang dimaksud dengan ketaatan kepada ulil amri bahwa mereka adalah penguasa atas rakyat dari kalangan pembesar, penguasa dan ulama, dimana masalah agama dan dunia mereka tidak akan benar kecuali dengan ketaatan kepada mereka, dan tunduk kepada mereka dalam apa yang mereka diperintahkan untuk taat.
Allah SWT. heran dengan kondisi orang-orang munafik yang mengaku beriman, sementara itu mereka ingin berhukum kepada thaghut, yaitu berhukum kepada selain hukum Allah. Jadi, bagaimana mungkin kemunafikan dan keimanan bisa bersatu?! Keimanan membutuhkan ketundukan kepada hukum Allah dan dalam menghukumi segala hal. Dengan demikian, siapa pun yang mengklaim bahwa dirinya beriman, namun memilih hukum thaghut, maka dia adalah pendusta dalam hal itu, dan ini termasuk kesesatan dan penyesatan setan (Tafsīr al-Sa’diy).
Allah SWT. berfirman:
﴿فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤۡمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيۡنَهُمۡ ثُمَّ لَا يَجِدُواْ فِيٓ أَنفُسِهِمۡ حَرَجٗا مِّمَّا قَضَيۡتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسۡلِيمٗا﴾
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (TQS. Al-Nisa’ [4] : 65).
Dalam menafsiri ayat tersebut Ibnu Katsir mengatakan: “Allah SWT. bersumpah demi Diri-Nya yang Mulia dan Suci bahwa seseorang tidak dikatakan beriman sampai Rasulullah saw. dijadikan hakim (pemutus) dalam segala hal. Apa yang diputuskan olehnya adalah kebenaran yang harus dipatuhi, lahir dan batin.” (Tafsīr Ibnu Katsir).
Terkait ayat tersebut Ibnu al-Qayyim mengatakan: “Allah SWT. bersumpah demi Diri-Nya dengan tegas bahwa tidak keimanan dalam hati manusia sampai mereka menjadikan Rasul-Nya sebagai hakim dalam semua perselisihan di antara mereka, baik perkara pokok maupun perkara cabang. Hukum syariah dan hukum hari kiamat, tidak cukup untuk dikatakan bahwa mereka beriman kepadanya sampai mereka bebas dari rasa keberatan dengan keputusannya, yakni sempai mereka menerima keputusan itu dengan lapang dada, dan belum dikatakan beriman dengan semua itu sampai ada padanya sikap ridha (puas) dan pasrah dengan keputusan itu, tidak ada penolakan dan penentangan.” (Al-Bayān fi Aqasāmil Qur’ān, hlm. 280).
Allah SWT. berfirman:
﴿وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ﴾ ﴿ٱلظَّٰلِمُون﴾ ﴿ٱلۡفَٰسِقُونَ﴾
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (TQS. Al-Maidah [5] : 44). “ … orang-orang yang zalim.” (TQS. Al-Maidah [5] : 45). “ … orang-orang yang fasik.” (TQS. Al-Maidah [5] : 47).
Berhukum dengan selain apa yang diwahyukan Allah SWT. termasuk perbuatan orang-orang kafir, dimana Al-Qur’an menyebut mereka sebagai orang-orang kafir, zalim dan munafik sesuai dengan kondisi mereka pada saat mereka berpaling dari berhukum kepada hukum Allah, dan semua itu, kafir, zalim dan fasik adalah sebutan yang buruk. Secara umum, itu terkait dengan kaum Muslim tanpa mengeluarkan mereka dari agama, kecuali jika mereka melakukannya disertai dengan keyakinan.
Nah, berikut ini adalah sekumpulan ayat yang menunjukkan bahwa memerintah dengan apa yang diwahyukan Allah SWT. adalah kekuasaan, sementara penguasa yang memerintah dengan apa yang diwahyukan Allah SWT. adalah Khalifah.
Allah SWT. berfirman:
﴿وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ﴾
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi’. Mereka berkata: ‘Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui’.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 30).
Allah SWT. berfirman:
﴿يَٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلۡنَٰكَ خَلِيفَةٗ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ لَهُمۡ عَذَابٞ شَدِيدُۢ بِمَا نَسُواْ يَوۡمَ ٱلۡحِسَابِ﴾
“Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (TQS. Shad [38] : 26).
Allah SWT. berfirman:
﴿وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مِنكُمۡ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ لَيَسۡتَخۡلِفَنَّهُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ كَمَا ٱسۡتَخۡلَفَ ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمۡ دِينَهُمُ ٱلَّذِي ٱرۡتَضَىٰ لَهُمۡ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّنۢ بَعۡدِ خَوۡفِهِمۡ أَمۡنٗاۚ يَعۡبُدُونَنِي لَا يُشۡرِكُونَ بِي شَيۡٔٗاۚ وَمَن كَفَرَ بَعۡدَ ذَٰلِكَ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ﴾
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (TQS. An-nur [24] : 55).
Allah SWT. berfirman:
﴿عَسَىٰ رَبُّكُمۡ أَن يُهۡلِكَ عَدُوَّكُمۡ وَيَسۡتَخۡلِفَكُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ﴾
“Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di bumi(Nya).” (TQS. Al-A’raf [7] : 129).
Allah SWT. berfirman:
﴿وَٱذۡكُرُوٓاْ إِذۡ جَعَلَكُمۡ خُلَفَآءَ مِنۢ بَعۡدِ قَوۡمِ نُوحٖ﴾
“Dan ingatlah oleh kamu sekalian di waktu Allah menjadikan kamu sebagai pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah lenyapnya kaum Nuh.” (TQS. Al-A’raf [7] : 69).
Allah SWT. berfirman:
﴿وَٱذۡكُرُوٓاْ إِذۡ جَعَلَكُمۡ خُلَفَآءَ مِنۢ بَعۡدِ عَادٖ وَبَوَّأَكُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ﴾
“Dan ingatlah olehmu di waktu Tuhan menjadikam kamu pengganti-pengganti (yang berkuasa) sesudah kaum ‘Aad dan memberikan tempat bagimu di bumi.” (TQS. Al-A’raf [7] : 74).
Allah SWT. berfirman:
﴿أَمَّن يُجِيبُ ٱلۡمُضۡطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكۡشِفُ ٱلسُّوٓءَ وَيَجۡعَلُكُمۡ خُلَفَآءَ ٱلۡأَرۡضِۗ﴾
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi?” (TQS. An-Naml [27] : 62).
Allah SWT. berfirman:
﴿وَهُوَ ٱلَّذِي جَعَلَكُمۡ خَلَٰٓئِفَ ٱلۡأَرۡضِ وَرَفَعَ بَعۡضَكُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٖ دَرَجَٰتٖ لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ ٱلۡعِقَابِ وَإِنَّهُۥ لَغَفُورٞ رَّحِيمُۢ﴾
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (TQS. Al-An’am [6] : 165).
Allah SWT. berfirman:
﴿هُوَ ٱلَّذِي جَعَلَكُمۡ خَلَٰٓئِفَ فِي ٱلۡأَرۡضِۚ فَمَن كَفَرَ فَعَلَيۡهِ كُفۡرُهُۥۖ وَلَا يَزِيدُ ٱلۡكَٰفِرِينَ كُفۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ إِلَّا مَقۡتٗاۖ وَلَا يَزِيدُ ٱلۡكَٰفِرِينَ كُفۡرُهُمۡ إِلَّا خَسَارٗا﴾
“Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir, maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. Dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian mereka belaka.” (TQS. Fathir [35] : 39). []