Mediaumat.id – Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan berharap kepolisian menolak laporan kasus dugaan penghinaan terhadap Menteri Pertahanan Prabowo Subianto soal ‘macan yang mengeong’ oleh Wartawan Senior Edy Mulyadi.
“Saya berharap aparat penegak hukum dapat menolak laporan kalau memang laporan itu bukan dari Prabowo atau yang melapor itu tidak mendapat surat kuasa khusus dari Prabowo,” ujarnya dalam Kabar Petang: Menanggapi Pernyataan Edy Mulyadi Soal ‘Macan Mengeong’, Senin (31/01/2022) di kanal YouTube Khilafah News.
Dengan kata lain, lanjutnya, penghinaan terhadap pribadi bersifat subjektif. Sehingga memang hanya pihak yang merasa dihina itulah yang berhak melaporkan ke aparat penegak hukum.
Sebelumnya, terkait pelaporan dimaksud, dilakukan oleh DPD Partai Gerindra Jatim ke Mapolda Jatim lantaran Edy Mulyadi dianggap menghina Prabowo Subianto pada Senin (24/1) yang lalu.
Selanjutnya berkenaan dengan sifat subjektif, Chandra pun mengilustrasikan, di dalam sebuah program TV, ada semacam acara komedi yang isinya saling menghina. Tetapi para pemainnya tidak ada yang tersinggung, karena memang kerjanya harus menghibur meski dengan kalimat cacian.
“Ah, kamu tongseng. Misalnya begitu. Kemudian tertawa, tetapi kemudian tidak merasa terhina. Itulah yang disebut dengan penghinaan itu subjektif. Dia tidak bisa disebut objektif,” terangnya.
Atau contoh lain. “Seseorang memanggil, ‘Hai Njing, kamu ke sini Njng’. Tetapi dia tidak tersindir. Itu menunjukkan itu sudah menjadi sebuah kebiasaan di antara mereka,” urainya dengan mengatakan lain halnya apabila sebutan ‘anjing’ ditujukan pada orang yang tidak terbiasa, tentu akan tersindir.
Begitu juga sindiran ‘macan yang mengeong’ yang menurutnya serupa. Sehingga patut, kata ia, undang-undang mengatur hanya yang merasa dihina yang berhak melaporkan ke pihak kepolisian.
“Kecuali Prabowo membuat surat kuasa khusus kepada partai (atau yang lain) untuk membuat laporan,” ujarnya menekankan.
Macan Asia?
Penting diketahui, kata Chandra, sindiran tersebut tidak akan muncul kalau sebelumnya tidak ada opini yang mengibaratkan Prabowo sebagai macan Asia yang dipersepsikan sebagai ketegasan, kewibawaan, lantas ditakuti dalam konteks orang Asia.
“Pada waktu pemilu kalau tidak salah itu banyak opini yang menyatakan bahwa Prabowo itu adalah sebagai macan Asia dengan berbagai persepsinya,” ungkapnya.
Namun, disebabkan ekspektasi tidak sesuai harapan, lanjutnya, kemudian muncullah julukan atau sindiran ‘macan yang mengeong’ yang dinisbatkan pada hewan kucing.
Meski begitu, menurut Chandra, tidak serta merta sebutan kucing memiliki personifikasi buruk layaknya sebutan ‘tiko’ (tikus got kotor) yang pernah dilayangkan kepada Gubernur NTB di tahun 2017 silam.
“Itu kan menimbulkan polemik berarti itu menunjukkan tikus got itu sesuatu yang kemudian bermakna sesuatu yang tidak dihormati dan tidak disegani,” paparnya.
Sementara kucing, dalam konteks masyarakat Indonesia dapat dimaknai sebagai hewan yang sabar, penyayang, penurut. “Ini kan personifikasi sama-sama bagus. Macan itu sesuatu yang hebat, kuat. Kucing juga adalah personifikasi hewan yang bagus juga,” sebutnya.
Bahkan di beberapa negara, seperti di Mesir, ungkap Chandra, kucing dianggap sebagai dewa yang disembah. “Kan luar biasa berarti,” timpalnya.
Belum lagi di Jepang maupun Cina. “Kalau kita lihat toko-toko orang Jepang sama Cina, itu pasti ada boneka kucing yang tangannya lagi begini-begini (sambil isyarat memanggil) itu dianggap sebagai dewi atau dewa apalah ya, yang kemudian bisa mendatangkan kebaikan,” bebernya.
Sedangkan, berkenaan ditersangkakannya Edy Mulyadi karena dugaan penghinaan ibu kota negara (IKN) baru, Chandra kembali menjelaskan, subjektif dari pasal penghinaan menyebutkan orang. “Di dalam pasal penghinaan itu subjektifnya harus kemudian menyebutkan orang. Orang yang dituju itu siapa,” terangnya.
Sehingga tidak bisa lantaran menghina sebuah kota, lantas kemudian orang-orang melakukan pelaporan. “Harus dilihat dulu konteksnya apa yang disampaikan orang itu,” pungkasnya.[] Zainul Krian