Berharap Kepada PBB dan Piagamnya? Ahistoris dan Tidak Syar’i

 Berharap Kepada PBB dan Piagamnya? Ahistoris dan Tidak Syar’i

Oleh: Muhammad Taufik NT

Sebagian kalangan, meskipun mereka mengakui bahwa Piagam PBB dan organisasi PBB bukanlah sesuatu yang sempurna, namun mereka percaya bahwa Piagam PBB dan PBB itu bisa menjadi dasar yang paling kokoh untuk mengembangkan fiqih baru guna menegakkan masa depan peradaban manusia yang damai dan harmonis.[1] Lebih dari itu, dikatakan pula bahwa Piagam PBB bisa menjadi sumber hukum bagi muslim. Setelah pernyataan ini ramai di media sosial, muncullah berbagai alasan pembenaran, ada yang menyatakan piagam PBB itu sama dengan ijma’, sama seperti Perjanjian Hudaibiyah dan berbagai alasan pembenaran lainnya. Benarkah alasan-alasan tersebut?

Ahistoris

Jika kita lihat sejarah, ‘cikal-bakal’ PBB adalah aliansi negara-negara Kristen Eropa dalam Keluarga Kristen Internasional (abad ke-16) dalam rangka menghadang laju futuhat Daulah Islam saat itu. Pasca Konferensi Westaphalia (1648 M) aliansi ini berubah nama menjadi Keluarga Internasional. Meski berkoalisi, upaya mereka tidak berhasil, bahkan perang antar sesama mereka dalam rangka rebutan wilayah jajahan juga terjadi. Pasca Perang Dunia I, aliansi ini bermetamorfosis menjadi LBB. LBB juga tidak sanggup mengharmonisasikan antar mereka dalam rebutan daerah jajahan hingga terjadilah Perang Dunia II. Pasca Perang Dunia II inilah karena dipandang tidak mampu menciptakan perdamaian dunia, LBB resmi dibubarkan kemudian dibentuk PBB.

Apakah PBB berhasil mendamaikan dan mengharmonisasikan dunia? Tidak. Sejarah menunjukkan bahwa sejak kelahirannya pada tahun 1945, PBB justru menjadi alat untuk merealisasikan dan menjustifikasi kepentingan negara-negara besar di dalamnya. Jika antar mereka sendiri berbeda kepentingan, tak segan-segan mereka mengobarkan perang, baik secara langsung maupun menggunakan pihak lain yang mereka perlakukan seperti bidak-bidak mereka, baik dari kalangan muslim ataupun tidak.

Vietnam misalnya, selama dua dekade (1955 – 1975) dijadikan obyek persaingan pengaruh oleh AS dan Uni Soviet, dua anggota PBB yang sama-sama memiliki hak veto. Bukannya berdamai, mereka justru mengobarkan perang yang menewaskan lebih dari tiga juta orang, lebih dari dua juta diantaranya adalah warga sipil Vietnam.[2]

Antara tahun 1954 sampai tahun 1962, Perancis, anggota PBB yang juga punya hak veto, alih-alih berdamai dan memberikan hak kemerdekaan kepada bangsa Aljazair, justru senjatalah yang diarahkan kepada rakyat yang menuntut hak lepas dari penjajahan. Tercatat lebih dari 400 ribu penduduk yang terbunuh/terluka.[3]

Selama delapan tahun (2003 –2011), Amerika telah mengobarkan perang Irak dengan alasan yang dibuat-buat.[4] Perang ini menelan korban 460.000 jiwa lebih.[5] Perang-perang lainnya di Afrika dan Timur Tengah, antara 2013 hingga 2017 juga telah membunuh sekitar 100 ribu bayi setiap tahunnya.[6]

Semua perang ini, termasuk perang Afghanistan selama 20 tahun (2001 sd 2021),[7] juga konflik Palestina Isreal sejak 1948 yang hingga kini belum selesai, semua terjadi di depan hidung PBB, dilakoni oleh negara-negara senior PBB, dan sebagian atas restu PBB. Inikah damai dan harmonis yang digembar-gemborkan itu? Percaya dan mengandalkan mereka untuk tercapainya kedamaian dan keharmonisan itu ibarat percaya kepada maling sendal yang sudah terkenal ‘jiwa kemalingannya’, karena dia mengatakan: “sandal anda aman dalam penjagaan saya”, lalu kita mempercayakan sandal kita kepadanya.

Kalimat “tetap menjaga dan mendukung perdamaian di dunia” sebagaimana yang ada dalam Piagam PBB mestinya difahami sebagaimana Noam Chomsky, warga AS yang digelari “Einstein”nya Linguistik, yang menulis lebih dari 30 buku politik. Menurutnya, perdamaian adalah istilah untuk usulan perdamaian yang diajukan oleh AS, jika usul tersebut tidak disetujui, atau diterima namun mensyaratkan sesuatu yang bertolak belakang dengan kepentingan AS, maka sebutannya adalah rejeksionisme/penolakan perdamaian.[8]

Tidak Syar’i

Dalam pandangan Islam, sumber hukum yang biasa disebut dengan istilah mashâdirul ahkâm atau mashâdirul fiqh atau mashâdirut tasy’ri’ atau mashâdirus syarî’ah, haruslah bersumber dari wahyu, yakni al-kitab dan as-sunnah.[9] Imam as-Syafi’i menegaskan:

وَلَا يَلْزَمُ قَوْلٌ بِكُلِّ حَالٍ إِلَّا بِكِتابِ اللَّهِ، أَوْ سُنَّةِ رَسولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَا سِوَاهُمَا تَبَعٌ لَهُمَا

Tidaklah suatu pendapat dalam hal apapun bersifat mengikat, kecuali jika berdasarkan Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya SAW, dan apa saja selain keduanya [haruslah] mengikuti keduanya (Kitabullah atau Sunnah Rasul-Nya).”[10]

Beliau juga menyatakan bahwa yang dimaksud mengikuti Alquran dan Sunnah itu adalah Ijma’ dan Qiyas.

ليس لأحد أبداً أن يقول في شيء: حَلَّ ولا حَرُم إلا من جهة العلم، وجهةُ العلم الخبرُ: في الكتاب أو السنة، أو الإجماع، أو القياس

“Tiada hak bagi siapapun selamanya untuk berkata mengenai sesuatu, bahwa sesuatu itu halal atau haram, kecuali berdasarkan ilmu. Dan dasar ilmu yang dimaksud, adalah berita [dalil] dari al-Kitab, atau dari As-Sunnah, atau dari Ijma’, atau dari Qiyas.[11]

Dengan demikian jelaslah bahwa Piagam PBB sama sekali tertolak dan tidak dapat menjadi sumber hukum Islam, karena Piagam PBB tidaklah bersumber dari wahyu (Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ atau Qiyas), tidak pula termasuk sumber yang dipertentangkan ulama seperti syar’u man qablana, saddudz dzari’ah, madzhab shahabat dll. Piagam PBB tidak lain bersumber dari kesepakatan sejumlah manusia yang menandatangani Piagam PBB tersebut.[12]

Piagam PBB Terkategori Ijma’?

Bagaimana dengan pihak yang berdalih bahwa Piagam PBB adalah sumber hukum, dan menganggapnya masuk dalam kategori Ijma’?. Memang secara bahasa ijma’ berarti kesepakatan, namun secara istilah tidak berarti semua kesepakatan bisa disebut sebagai ijma’ yang terkategori sumber hukum, sebagaimana secara bahasa shalat berarti do’a, namun tidak bermakna bahwa setiap orang yang berdo’a berarti telah shalat. Ijma sendiri didefinisikan sebagai:

اتفاق جميع المجتهدين من المسلمين في عصر من العصور بعد وفاة الرسول على حكم شرعي في واقعة

“Kesepakatan seluruh mujtahid kaum muslimin tentang hukum syara’ tertentu pada suatu waktu setelah Rasulullah SAW wafat.”[13]

Lalu bagaimana bisa kesepakatan orang-orang yang bukan mujtahid, bukan pula kaum muslimin dianggap sebagai ijma yang dibanggakan, sembari menolak yang betul-betul ijma’ yang syar’i? semisal ijma’ yang disebutkan oleh Imam an Nawawi (w. 676 H):

وَاَجْمَعُوْا عَلَى اَنَّهُ يَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِيْنَ نَصْبُ خَلِيْفَةٍ، وَوُجُوْبُهُ بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ

”Dan mereka (kaum muslimin) telah berijma’ bahwa sesungguhnya wajib bagi kaum muslimin mengangkat Khalifah, dan kewajiban (mengangkat khalifah ini) ditetapkan dengan syara’ bukan dengan akal.[14]

Piagam PBB Seperti Perjanjian Hudaibiyah?

Ini juga dalih yang dibuat-buat. Ada beberapa kekeliruan pandangan ini:

1) meskipun   perjanjian dengan non muslim wajib ditepati, namun itu tidak masuk ranah sebagai sumber hukum.

2) perjanjian yang wajib ditepati itu adalah yang kita ikut terlibat dalam perjanjian itu saja.

3) adanya perjanjian tidak berlaku selamanya, Soekarno sendiri bahkan pernah keluar dari PBB, bagaimana mungkin yang sifatnya sementara itu dijadikan sumber hukum?

4) Perjanjian bisa dibatalkan jika salah satu pihak yang terikat perjanjian dikhawatirkan melanggarnya. Jika pihak-pihak yang terikat perjanjian betul-betul melanggarnya, maka  bukan hanya bisa dibatalkan, namun wajib dibatalkan,[15] sebagaimana Nabi SAW yang membatalkan perjanjian Hudaibiyah dikarenakan kaum Quraisy menyokong Bani Bakr menyerang Bani Khuza’ah yang merupakan sekutu Nabi SAW. Allah Ta’ala berfirman:

فَمَا اسْتَقَامُوا لَكُمْ فَاسْتَقِيمُوا لَهُمْ

“Maka selama mereka berlaku lurus terhadap kalian, hendaklah kalian berlaku lurus (pula) terhadap mereka.” (QS. At-Taubah: 7)

وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ

“Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur” (QS. al-Anfal : 58).

5) Ketika pihak yang melakukan perjanjian membela dan mendukung musuh Islam untuk mengalahkan umat Islam, maka wajib pula dibatalkan perjanjian tersebut.

إِلا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَى مُدَّتِهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ

“Kecuali orang-orang musyrik yang kalian telah mengadakan perjanjian  (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian) kalian dan tidak (pula) mereka membantu orang yang memusuhi kalian, maka terhadap mereka itupenuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa.” (QS. At-Taubah: 4)

Dari semua hal tersebut, maka menyatakan Piagam PBB sebagai sumber hukum atau dasar fiqh jelas-jelas ungkapan yang tertolak. Allaahu A’lam.

 

[1] “Dibacakan Gus Mus Dan Yenny Wahid, NU Tegas Menolak Khilafah Dan Dukung PBB Untuk Perdamaian Dunia,” accessed February 16, 2023, https://www.kompas.tv/article/375850/dibacakan-gus-mus-dan-yenny-wahid-nu-tegas-menolak-khilafah-dan-dukung-pbb-untuk-perdamaian-dunia; “Rekomendasi Muktamar Internasional Fiqih Peradaban I: Menolak Khilafah, Mendukung PBB,” accessed February 10, 2023, https://www.nu.or.id/internasional/rekomendasi-muktamar-internasional-fiqih-peradaban-i-menolak-khilafah-mendukung-pbb-BXgyN.

[2] “Bagaimanakah Akhir Dari Perang Vietnam?,” accessed February 14, 2023, https://www.kompas.com/stori/read/2023/01/13/190000779/bagaimanakah-akhir-dari-perang-vietnam-?page=all.

[3] “Perang Kemerdekaan Aljazair,” accessed February 14, 2023, https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Kemerdekaan_Aljazair.

[4] “Perang Yang Diawali Kebohongan,” accessed November 5, 2021, https://www.dw.com/id/perang-yang-diawali-kebohongan/a-3203502.

[5] “Korban Perang Irak 460.000 Jiwa Lebih – BBC News Indonesia,” accessed February 14, 2023, https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2013/10/131016_irak_perang.

[6] “Perang Di Afrika Dan Timur Tengah Bunuh 100 Ribu Bayi Setiap Tahunnya – National Geographic,” accessed February 14, 2023, https://nationalgeographic.grid.id/read/131643379/perang-di-afrika-dan-timur-tengah-bunuh-100-ribu-bayi-setiap-tahunnya.

[7] “241 Ribu Orang Tewas Sejak Amerika Serikat Perangi Taliban – Dunia Tempo.Co,” accessed February 14, 2023, https://dunia.tempo.co/read/1497361/241-ribu-orang-tewas-sejak-amerika-serikat-perangi-taliban.

[8] Noam Chomsky, “Middle East Terrorism and the American Ideological System,” Race & Class 28, no. 1 (July 1986): 1–28.

[9] Abdul Karim Zaidan, Al-Madkhal Li Dirâsati as-Syarî’ah al-Islâmiyyah (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2005), h. 172.

[10] Abu Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Ar-Risâlah, ed. Pentahkik. Ahmad Syakir (Mesir: Maktabah al-Halabi, 1940), Juz 7, h. 287.

[11] Ibid., h. 40.

[12] “Preparatory Years: UN Charter History | United Nations,” accessed February 17, 2023, https://www.un.org/en/about-us/history-of-the-un/preparatory-years.

[13] Abdul Wahâb Khallaf, Ilmu Ushûl Al-Fiqh Wa Khulâshatu Târîkh at-Tasyrî’ (Mesir: Mathba’ah al-Madani, t.th), h. 45.

[14] Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, Cet. II. (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, 1392), Juz 12, h. 205.

[15] Fakhr al-Dîn Muḥammad ibn ʻUmar Al-Râzî, Mafâtîh Al-Ghaib (Tafsîr al-Kabîr), Cet. III. (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-Arabi, 1420), Juz 15, h. 498.

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *