Tim kuasa hukum aktivis kemanusiaan dan aktivis dakwah Ali Baharsyah meminta majelis hakim untuk menerima keberatan (eksepsi) atas dakwaan yang disampaikan jaksa penuntut umum (JPU).
“Nota eksepsi penasihat hukum adalah permohonan berdasarkan fakta dan kebenaran dan kami penasihat hukum terdakwa mohon kepada majelis hakim yang mulia untuk mengambil putusan menerima keberatan (eksepsi) dari penasihat hukum Alimudin Baharsyah bin Koharudin,” ujar Ricky Fattamazaya Munthe, kuasa hukum terdakwa kepada majelis hakim dalam sidang eksepsi, Selasa (11/08/2020) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Nota eksepsi dimaksud ada tiga poin. Pertama, penangkapan tidak berdasarkan KUHAP. Terdakwa ditangkap dalam keadaan telah berstatus tersangka tanpa pemeriksaan awal dan baru diperiksa dan diambil keterangan setelah ditangkap dan dibawa ke Mabes Polri. “Semestinya tindakan penangkapan hanya dapat dilakukan apabila tersangka tidak hadir tanpa alasan yang patut dan wajar setelah dipanggil dua kali berturut-turut oleh penyidik,” ungkap Chanda Purna Irawan, kuasa hukum Ali Baharsyah juga.
Kedua, tidak memuat waktu dan tempat delik dilakukan. “Jaksa penuntut umum dalam surat dakwaan menyertakan empat caption status facebook terdakwa. Tetapi tidak memuat waktu (hari, tanggal, bulan dan tahun) dan tempat delik dilakukan untuk setiap caption status facebook terdakwa,” tegas Ricky.
Ketiga, surat dakwaan obscuur libel (dakwaan kabur). JPU tidak merumuskan unsur-unsur dari delik yang didakwakan sekaligus mempadukan dengan uraian perbuatan materil yang dilakukan oleh terdakwa dalam surat dakwaan. Serta, “tidak memberikan urain surat dakwaan secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan,” beber Ricky.
Karena tiga poin eksepsi itu pula kuasa hukum Ali Baharsyah meminta hakim agar menyatakan surat dakwaan JPU batal demi hukum; menyatakan perkara aquo tidak diperiksa lebih lanjut; memulihkan harkat martabat dan nama baik Ali Baharsyah; dan membebankan biaya perkara kepada negara.
Bukan Ujaran Kebencian
Sebelumnya, pada 5 Agustus 2020, JPU mendakwa Ali Baharsyah dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE terkait ujaran kebencian yang dilakukan di media sosial dengan barang bukti berupa rekaman video orasi pembelaan Ali Baharsyah terhadap Muslim Uighur yang dizalimi rezim negara Cina.
Kalimat yang terkena delik dalam video yang diunggah Ali di Facebooknya pada 2019 tersebut adalah, “… keturunan Cina kafir di Indonesia bebas beribadah, ada yang jadi pengusaha, pejabat… kondisi ini berbanding terbalik dengan umat Islam Uighur yang hidup di Xinjiang, mereka dipaksa melepaskan akidahnya, mereka dianiaya, disiksa…”
Menurut Chandra Purna Irawan, kuasa hukum Ali Baharsyah, pernyataan kliennya terkait frasa “Keturunan Cina kafir di Indonesia…” harus disimak secara keseluruhan dari isi video. Dan apabila dilihat tidak terdapat ujaran berupa ajakan atau provokasi untuk melakukan kejahatan terhadap etnis dan kata “kafir” bukanlah ujaran kebencian, melainkan istilah agama.
“Jangan sampai istilah agama dipermasalahkan karena dikhawatirkan berpotensi menistakan ajaran agama,” pungkas Ketua LBH Pelita Umat tersebut.[] Joko Prasetyo