Oleh: Hafidz Abdurrahman, Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI
Ar-Raayah secara harfiah bermakna al-‘alam (panji). Bentuk jamaknya adalahraayaat. Kata ar-raayah, sebagaimana dalam hadits ‘Ali bin Abi Thalib saat Perang Khaibar, bermakna al-‘alam (panji). Ar-Raayah juga bermakna sejenis bendera yang diikatkan di leher. Bendera kecil disebut dengan ruyaih. Bentuk kata kerjanya adalah: rayaitu rayaan, wa rayyiitu, taryatah.
Sedangkan al-Liwaa’ , secara harfiah, juga berkonotasi al-‘alam. Bentuk jamaknya alwiyah dan alwiyaat. Liwa’ adalah panji yang diberikan kepada Amir (panglima tentara, bisa juga komandan detasemen). Sedangkan ‘Alam adalahLiwaa’ (panji) yang digunakan sebagai tanda untuk berkumpulnya pasukan. Ahli bahasa menyatakan, al-‘alam adalah panji yang diikatkan di ujung tombak. Az-Zubaidiy berkata, al-‘alam adalah rasm at-tsaub (baju resmi) yang di pinggir-pinggirnya diberi garis-garis.
Al-‘Allamah al-Qalqasyandi telah mendefinisikan al-a’laam (bendera) sebagai berikut, “Ia adalah ar-raayaat (panji) yang dibawa oleh wakil (pengganti) Sultan yang diletakkan di atas kendaraannya.”. Kadang-kadang al-a’laamdigambarkan dengan al- ‘ashaaib (serban), bentuk jamak dari ‘ashabah, yang maknanya adalah al-alwiyah. Lafadz ini diambil dari kata ‘ashabah ar-ra’s (serban kepala), sebab ar-raayah biasanya dikenakan di ujung tombak bagian atas. Kadang-kadang dilukiskan dengan as-sanaajiq (panji-panji), bentuk jamak dari as-sinjaq. Ini adalah bahasa orang Turki, yang bermakna ath-tha’n (tikaman).
Raayah dinamakan seperti itu, sebab dipasang di bagian atas tombak. Sedangkan tombak adalah alat untuk menikam. Ini merupakan penamaan yang bersifat majaziy (kiasan). Al-Abadi berkata, “Ath-Thurisiy berkata, Raayah adalah panji yang diserahkan kepada pemimpin perang, dimana seluruh pasukan berperang di bawah kepemimpinannya dan akan mempertahankannya hidup atau mati.”
Sedangkan liwaa’ adalah panji yang menunjukkan posisi pemimpin pasukan, dan ia akan dibawa mengikuti posisi pemimpin pasukan’. Ar-Raazi berkata, “Liwaa’ adalah panjinya pemimpin perang (Amir), sedangkan Alwiyah adalah al-mathaarid (tombak pendek) tanpa panji dan bendera.” Al-Mathraziy berkata, “Raayah adalah bendera pasukan yang diibaratkan dengan induk peperangan. Ar-Raayah lebih kecil daripada al-liwaa’.” Al-Abadiy juga berkata, “Raayah adalah (al-’alam) bendera kecil, sedangkan Liwaa’ adalah bendera besar. Pada masa kita sekarang ini, Raayaat dan Alwiyaat disebut dengan al-a’laam, al-bunuud, dan al-bayaariq.”
Abu Bakar ibn al-‘Arabiy berkata, “Liwaa’ berbeda dengan ar-raayah. Liwaa’ adalah bendera yang diikatkan di ujung tombak, kemudian diilitkan di gagang tombak. Sedangkan ar-raayah adalah bendera yang dipasang di ujung tombak dan dibiarkan hingga berkibar ditiup angin.” Ada juga yang menyatakan bahwa Liwaa’ berbeda denganRaayah. Liwaa’ adalah bendera yang berukuran besar, sedangkan ‘Alam adalah tanda yang menunjukkan dimana posisi Amir (pemimpin pasukan). Adapun Raayah adalah bendera yang diserahkan kepada pemimpin pasukan’(Fath al-Baariy: VI/126-127; ‘Umdatul Qaari lil-‘Aina: XII/47; ‘Uynul Ma’bud li al-Abadiy: VII/254).
Berdasarkan penjelasan ini, nyata perbedaan antara Liwaa’ dengan Raayah. Rasulullah saw sendiri telah memiliki dua buah bendera, dimana salah satunya dinamakan dengan Liwaa’, sedangkan yang lain dinamakan denganRaayah. Perbedaan antara Liwaa’ dengan Raayah telah dikenal dalam istilah-istilah ahli politik dan perang serta ahli sejarah. Bahkan perbedaan antara keduanya juga telah dikenal oleh ahli-ahli lain, baik ahli tafsir, ahli hadits, dan lain-lain.
Penghulu para ‘ulama tafsir yang terkenal sangat faqih, yakni Imam Ibn al-‘Arabiy telah menyatakan, “Liwaa’ berbeda dengan Raayah.” Jumhur ‘ulama hadits juga telah membedakan antara Liwaa’ dengan Raayah. Imam Tirmidziy telah menjelaskan perbedaan keduanya dalam bab tersendiri yang diberi nama, al-Alwiyah, dan pada bab lain dengan sub judul, ar-Raayaat. Ini menunjukkan Liwaa’ dan Raayah adalah dua hal yang berbeda (Jaami’ at-Tirmidzi: IV/197).
Ini didukung dengan riwayat al-Waqidiy yang menjelaskan tentang al-liwaa’ al- a’dzam (bendera terbesar) dalam Perang Uhud, “Al-Liwaa’ al-A’dzam diserahkan kepada Mush’ab bin ‘Umair ra, sedangkan Liwaa’ al-Aus (bendera suku Aus) diserahkan kepada Usaid bin al-Hudlair, sedangkan Liwaa’ al-Khazraj (bendera suku Khazraj) diserahkan kepada Sa’ad atau Hubab.” (Al-Maghazi li al-Waqidi: I/225)
Tatkala menjelaskan hadits yang menuturkan Perang Badar, Imam Ibnu ‘Abdil Baar menyatakan, “Al-Liwaa’ diserahkan kepada Mush’ab bin ‘Umair, sedangkan ar-raayah al-waahidah (panji pertama) diserahkan kepada ‘Ali, panji kedua diserahkan kepada seorang laki-laki dari suku Anshar –keduanya berwarna hitam dan berukuran kecil–, sedangkan bendera suku Anshar diserahkan kepada Sa’ad bin Mu’adz.” (Ad-Durur li Ibn ‘Abdil Barr: hal. 102)
Membawa bendera merupakan salah satu tugas yang sangat mulia. Oleh karena itu, bendera tersebut harus dijaga sampai mati. Imam ‘Ainiy dalam kitab ‘Umdat al-Qaariy berkata, “Raayah (panji) tidak akan diserahkan kecali atas ijin dari Imam. Sebab, penyerahan bendera merupakan kewenangan dan tugas dari Imam. Ia tidak boleh dialihkan kepada pihak lain, kecuali atas perintah dari Imam.” Bukti yang menunjukkan bahwa membawa bendera termasuk sebuah tugas kenegaraan adalah sabda Rasulullah saw, “Bawalah bendera itu.” Ini adalah nash yang menunjukkan bahwa membawa bendera termasuk bagian dari tugas kenegaraan (‘Umdatul Qaariy: XII/47).
Ciri, Warna dan Ukuran Rayah dan Liwa’
Tatkala menerangkan hadits yang menuturkan tentang Liwaa’ (bendera besar) yang dibawa pada saat Perang Khaibar, Ibnu Hajar berkata, “Rasulullah saw telah menyerahkan bendera besar itu kepada Abu Bakar, sekaligus mengangkatnya sebagai Amir. Beliau juga menyerahkan bendera kepada ‘Umar, kemudian kepada ‘Ali ra. Penyerahan bendera oleh Rasulullah saw kepada Ali ra tidaklah menghapus penyerahan bendera yang telah diberikan kepada keduanya (Abu Bakar dan Umar). Sebab, masing-masing telah diberi kewenangan secara khusus untuk memegang bendera pada hari itu. Kewenangan untuk membawa bendera itu akan berakhir dengan wafatnya beliau saw. Tidak ada satupun Amir yang sempurna perintahnya, kecuali beliau saw. Namun demikian, beliau saw telah menyerahkan segala urusan kepada siapa saja yang beliau kehendaki.” (Fath al-Bariy: VI/127).
Imam Sarakhsiy berkata, “Bendera kaum Muslim (Liwaa’) harusnya berwarna putih. Sedangkan panji-panjinya (Raayaat) berwarna hitam”. Dari Ibnu ‘Abbas ra berkata, “Raayah (panji) Rasul saw berwarna hitam, sedangkan Liwa’ (bendera)-nya berwarna putih.” (Syarh as-Sayir al-Kabir: I/72; Jami’ at-Tirmidzi: IV/197, no. 1681; Sunan Ibn Majjah: II/941, no. 2818; Mu’jamul Ausath at-Thabrani: I/77, no. 219; Mu’jam al-Kabir: XII/207, no. 12909;al-Mustadrak al-Hakim: II/115, no.2506/131).
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Panji Rasulullah saw (raayat) berwarna hitam, sedangkan liwa’ (bendera)-nya berwarna putih.” Jabir ra menuturkan, “Bendera Nabi saw (liwaa’) pada saat masuk kota Makkah berwarna putih.”Dari ‘Aisyah ra, berkata, “Liwaa’ Nabi saw berwarna putih.” Dari Ibnu ‘Umar ra berkata, “Tatkala Rasulullah saw memasangkan benderanya, beliau memasangkan bendera (liwaa’) yang berwarna putih.” Rasyid bin Sa’ad telah menceritakan sebuah riwayat dari Rasulullah saw, “Panji (raayah) Nabi saw berwarna hitam, sedangkan liwa’nya berwarna putih.” Ibnu ‘Asakir juga meriwayatkan dengan sanad dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah, bahwa Nabi saw memiliki sebuah panji hitam yang bernama al-‘Uqab.
Dari Yunus bin ‘Ubaidah, maula Muhammad al-Qasim, berkata, Muhammad bin al-Qasim telah mengutusku untuk menanyakan tentang panji Rasulullah saw kepada Bara’ bin ‘Azib. Beliau menjawab, “Panji Rasulullah berwarna hitam, berbentuk persegi empat, terbuat dari kain wool.” (Fath ar-Rabbaniy -Ahmad: XIV/51, IV/297; Sunan Abu Daud: III/71, no. 2591; Jami’ at-Tirmidzi: IV/196, no. 1680).
Raayah disebut al-‘Uqab. Awalnya al-‘Uqab adalah nama panji Rasulullah saw, kemudian akhirnya semua bendera disebut al-‘Uqab. Imam al-Manawiy telah mengutip riwayat dari Imam Ibnu al-Qayyim, di sana disebutkan,“Panji Rasulullah saw dinamakan dengan al-‘Uqab. Panji itu berwarna hitam, dengan kata lain, warnanya didominasi warna hitam polos. Al-Qadliy dan al-Thayibiy juga menyebut nama ini.” (Faidlul Qadir: V/170)
Imam Manawiy berkata, “Panji beliau saw berbentuk persegi empat, terbuat dari kain wool. Ia berujud bendera besar. Panji itu dinamakan al-‘Uqab.” Ibnu ‘Asakir meriwayatkan dari ‘Aisyah, “Liwaa’ Rasulullah saw pada saat penaklukan warnanya putih. Sedangkan panji beliau saw berwarna hitam. Panji itu terbuat dari secarik kain wool. Panji itu disebut dengan al-‘Uqab”. Panji itu pernah dibawa oleh Khalid bin Walid untuk menaklukkan Damaskus dua kali. Panji itu pun kadang-kadang dinamakan dengan Tsaniyat al-‘Uqab.
Ia juga berkata, “Panji beliau juga diberi nama dengan an-namr. Dinamakan an-namr, sebab warnanya seperti warna an-namr antara hitam dan putih. Beliau saw juga memiliki bendera berwarna kuning. Namun bendera ini tidak memiliki nama. Beliau juga memiliki panji berwarna hitam. Maksudnya, warnanya didominasi warna hitam. Sehingga, bila dilihat dari jauh tampak berwarna hitam. Sebab, warna panji tersebut adalah hitam polos. Di tengah panji tersebut ditulis “La ilaha Illa al- Allah Muhammad Rasul al-Allah”.
Sebagian besar nash hanya menyatakan bahwa panji Rasulullah saw berbentuk persegi empat. Disebutkan dalam riwayat Bara’ bin al-‘Azib, “(Panji Rasulullah saw) berbentuk persegi empat dan terbuat dari wool.” Dalam riwayat Ibnu ‘Abbas disebutkan, “(Panji Rasulullah saw) berwarna hitam, berbentuk persegi empat, dan terbuat dari kain wool.” Al-Kattaaniy mengeluarkan riwayat dari Abu Zar’ah al-Qaza’iy, yang menyatakan, “Rasulullah saw telah menyerahkan kepada ‘Ali sebuah panji berwarna putih yang ukurannya sehasta kali sehasta.” Ini menunjukkan, ukuran panji di masa Rasulullah saw, yakni sehasta kali sehasta. Ini juga berarti, bahwa ukuran bendera Rasulullah saw lebih besar lagi. (Taratib al-Idariyyah: I/320–322).
At-Thabrani dan Abu Syaikh menuturkan dari Abu Hurairah dan Ibnu ‘Abbas, bahwa bendera Rasulullah saw bertuliskan “La ilaha Illa Al-Allah Mohammad Rasul al-Allah”. (Akhlaq an-Nabi wa Adabuhu-Abu Syaikh: hal. 155, no. 426). Riwayat senada juga dituturkan at-Thabarani dari Buraidah al-Aslami, dan Ibnu ‘Adiy dari Abu Hurairah. Sedangkan khath (tulisan)-nya adalah khath yang masyhur di masa Rasulullah saw, yakni khath Makkiy(khath Makkah) dan Madaniy (khath Madinah). Ini didasarkan pada keterangan yang disampaikan oleh Ibnu an-Nadim (al-Fahrist: hal. 8).
Dari sini bisa disimpulkan, sebagai berikut:
1- Bendera Rasulullah saw yang paling besar (Liwa’) berwarna putih dan bertuliskan “La ilaha Illa Allah Muhammad Rasulullah”.
2- Panji (Rayah) Rasulullah saw berwarna hitam, dan di dalamnya bertuliskan “La ilaha Illa Allah Muhammad Rasulullah” warna putih.
3- Al-‘Alam adalah al-liwaa’ al-a’dham (bendera besar). Sedangkan ar-raayaat adalah panji yang secara khusus dimiliki oleh setiap kabilah atau tiap divisi pasukan, dan lain-lain. Panji semacam ini jumlahnya sangat banyak. Sedangkan liwaa’ (bendera) jumlahnya hanya satu, tidak banyak.
4- Liwaa’ (bendera) adalah bendera resmi Daulah Islam di masa Rasulullah saw dan para Khalifah setelah beliau saw. Ini adalah kesimpulan Imam al-Sarakhsiy, dan dikuatkan dalam kitab Syarh As-Sair al-Kabir, karya Imam Muhammad bin al-Hasan as-Syaibaniy, murid Imam Abu Hanifah. Disimpulkan, “Liwaa adalah bendera yang berada di tangan penguasa. Ar-Raayah, adalah panji yang dimiliki oleh setiap pemimpin divisi pasukan, dimana semua pasukan yang ada dalam divisinya disatukan di bawah panji tersebut. Liwaa hanya berjumlah satu buah untuk keseluruhan pasukan. Liwaa digunakan sebagai patokan pasukan ketika mereka merasa perlu untuk menyampaikan keperluan mereka ke hadapan penguasa (Imam). Liwaa dipilih berwarna putih. Ini ditujukan agar ia bisa dibedakan dengan panji-panji berwarna hitam yang ada di tangan para pemimpin divisi pasukan.”[]