Bencana Wabah Di Tengah Agenda Pemiskinan Struktural Kapitalistik
Oleh: Agung Wisnuwardana (Divisi Penggalangan Aspirasi Publik)
Serangan wabah covid-19 membuka mata kita akan kegagalan peradaban kapitalisme dalam mengatasi pandemi global ini secara sistematis dan praktis. Seperti semua industri dalam Kapitalisme, ekonomi pasar bebas telah memungkinkan industri farmasi untuk menjalankan kekuasaan, kekuatan politik, dan pengaruh sosial terhadap pemerintah suatu negara, jaringan pelayanan kesehatan, para dokter, dan rumah sakit menentukan jenis perawatan apa yang dibutuhkan dan apa yang tidak dibutuhkan seperti untuk virus corona.
Dari pandemi global yang menyerang banyak negara ini kita sadari bahwa kapitalisme memiliki prinsip dan pilar-pilar ekonomi yang konsisten memproduksi kemiskinan secara struktural. Prinsip-prinsip itu sangat efektif menghisap kekayaan negeri-negeri Muslim dan menjadi mekanisme eksploitasi massal bagi jutaan penduduk miskin dunia.
Beberapa prinsip berbahaya ekonomi Kapitalisme yang menjadi basis bagi eksploitasi ekonomi adalah: (1) kebebasan kepemilikan; (2) laissez-faire – campur tangan pemerintah minimal; (3) pertumbuhan ekonomi; (4) akumulasi modal sebagai kunci pertumbuhan; (5) sistem upah besi.
Pertama: Kebebasan kepemilikan menonjolkan kepemilikan individu dalam perekonomian. Prinsip ini membebaskan manusia untuk bisa memiliki apapun dengan sebab kepemilikan apapun, tanpa melihat halal dan haram.
Kedua: Laissez Faire, campur tangan pemerintah yang minimal. Pandangan ini menjadi cikal bakal doktrin laissez faire-laissez passer, let do let pass yang dikembangkan oleh Adam Smith. Menurut mereka, tanpa adanya campur tangan pemerintah, semua tindakan manusia akan berjalan harmonis, otomatis dan bersifat self regulating. Regulator utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan pemerintah.
Ketiga: Pertumbuhan ekonomi yang mengendalikan arah perpolitikan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi menjadi tolak ukur utama prestasi ekonomi negara-negara maju dan prestasi pembangunan ekonomi negara-negara berkembang. Konsekuensinya, tingkat produksi barang dan jasa domestik secara agregat harus digenjot dengan cara meningkatkan investasi baik investasi dalam negeri maupun investasi asing. Meningkatkan investasi asing ditempuh dengan membuka kran investasi asing, liberalisasi perdagangan, liberalisasi keuangan dan liberalisasi berbagai bentuk usaha lokal bagi kepentingan investor. Karena itu banyak negara berlomba mengejar pertumbuhan ekonomi meski harus membayar dengan kekayaan alam, aset strategis dan bahkan nyawa rakyatnya.
Keempat: Prinsip akumulasi modal (the law of capital accumulations). Hukum ini akan menunjukkan bahwa apabila ekonomi dibiarkan berjalan mengikuti mekanisme pasar bebas, maka akan menyebabkan terjadinya akumulasi kapital pada para pemilik modal yang besar. Prinsip ini memberikan kesempatan yang luas kepada para pemilik modal untuk mengeksploitasi kaum buruh yang mereka pekerjakan layaknya budak, hanya untuk kepentingan mereka saja, yakni tujuan akumulasi kapital (modal).
Kelima: Prinsip Upah Besi (The Iron’s Wage Law). Prinsip ini menunjukkan bahwa di dalam mekanisme pasar bebas, upah yang diterima kaum buruh tidak akan pernah mengalami kenaikan, tetapi juga tidak akan mengalami penurunan. Layaknya besi, dia tetap tidak berubah. Namun, tetapnya upah buruh tersebut ternyata tetap pada titik yang rendah, yakni hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan fisik minimumnya saja. Maksudnya agar supaya buruh tetap eksis, tidak sampai mati atau sakit (sehingga menghambat proses produksi).
Dengan prinsip-prinsip ini Kapitalisme telah melegalkan dehumanisasi massal terhadap kaum miskin dan marginal. Kapitalisme mempekerjakan mereka sebagai buruh dan mempraktikkan perbudakan modern dengan menghisap energi kaum buruh yang miskin hanya untuk kepentingan pemodal. Dampak buruk penerapannya telah demikian kasatmata. Kesenjangan ekonomi dan kemiskinan semakin menggurita dan mewabah. Bahkan ini terjadi bukan hanya di negeri-negeri Muslim saja, melainkan juga di negeri-negeri maju kapitalis yang menjadi barometer kekuatan ekonomi seperti Cina dan India, juga Uni Eropa. Ambil saja contoh, pertumbuhan ekonomi di Cina dan India berjalan sangat pesat. Bahkan diramalkan oleh Investment Bank AS Goldman Sachs bahwa kedua negara ini akan menjadi super power pada tahun 2030. Namun, menurut statistik yang dikeluarkan World Hunger Index (PBB) Oktober 2010 masih terlalu banyak penduduk Cina dan India dalam keadaan miskin dan kelaparan. Di Cina kesenjangan pendapatan antar penduduk yang tinggal di kota dan petani sangat besar. Perbedaan rata-rata pendapatan antar petani dan pekerja di kota diperkirakan 1:5. Adapun di India masih terdapat sekitar 350 juta manusia yang berpendapatan kurang dari satu dolar AS perhari.
Dari sini, bila kita ingin sungguh-sungguh lepas dari berbagai persoalan yang tengah membelit banyak negeri, maka kita harus memilih sistem yang baik dan pemimpin yang amanah. Sistem yang baik hanya mungkin datang dari Dzat yang Maha Baik, itulah syariah Islam dan pemimpin yang amanah adalah yang mau tunduk pada sistem yang baik itu.
Semua itu makin menyadarkan kita bahwa kita butuh pemimpin Muslim yang bertakwa yang menerapkan Islam. Pemimpin Muslim yang bertakwa akan senantiasa memperhatikan urusan dan kemaslahatan rakyat. Sebab, dia takut kelak pada Hari Kiamat rakyatnya menuntut dirinya di hadapan Allah SWT atas kemaslahatan rakyat yang terabaikan. Dia pun sadar harus bertanggung jawab atas semua urusan rakyat di hadapan Allah SWT kelak. Rasul saw. bersabda:
« فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ »
Pemimpin yang mengurusi urusan masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Islam memiliki segenap aturan dan sistem yang bisa menjamin pelayanan kesehatan yang baik untuk seluruh rakyat. Sistem Islam terutama sistem ekonomi Islam akan bisa memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan pokok untuk seluruh rakyat. Karena itu penerapan syariah secara menyeluruh oleh pemimpin Muslim yang bertakwa itulah yang harus segera diwujudkan bersama.
Nilai-nilai hidup Islam tidak akan pernah menempatkan materi di atas moralitas, atau uang di atas derajat kaum perempuan, meski mereka miskin sekalipun. Karena itulah sistem nilai Islam akan mencegah kemiskinan dan eksploitasi dari akarnya, dan menempatkan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
Rasulullah saw. mengibaratkan kehidupan masyarakat Islam seperti sekelompok orang yang mengarungi lautan dengan kapal; dakwah dan amar makruf nahi mungkar menjadi spiritnya, bukan hedonisme dan pragmatisme seperti pada masyarakat kapitalistik yang individualis.
Profesi di dalam Islam bukan segala-galanya. Menjadi profesional tidak berarti membuat umat Islam melupakan identitas hakikinya sebagai hamba Allah, juga tidak boleh melalaikan peranan utamanya sebagai seorang da’i/da’iyah yang melakukan perbaikan dan amar makruf nahi mungkar di tengah masyarakat. Begitupun terkait profesi (jenis pekerjaan). Bekerja dalam pandangan Islam adalah salah satu sebab kepemilikan (bukan satu-satunya sebab) atas harta dan diarahkan dalam rangka mencari karunia Allah SWT. Dalam Islam bekerja atau pekerjaan bukanlah satu-satunya jalan mencapai keamanan finansial. Ada peran perwalian kaum laki-laki dan juga ada peran negara di sini.
Islam juga memiliki prinsip-prinsip pengaturan ekonomi yang sehat dan menolak model keuangan cacat kapitalis yang berbasis riba; melarang penimbunan kekayaan atau privatisasi sumberdaya alam; juga melarang asing berinvestasi besar dalam pembangunan infrastruktur, pertanian, industri dan teknologi. Islam juga memiliki pandangan yang jelas dan tegas terkait pengaturan kepemilikan, peran negara dan hukum-hukum terkait ketenagakerjaan yang akan mencegah eksploitasi pihak kuat terhadap yang lemah. Islam pun menolak konsep kebebasan kepemilikan yang mengizinkan memperoleh kekayaan dengan berbagai cara, bahkan dengan jalan mengeksploitasi atau merendahkan orang lain, seperti prinsip riba atau mengeksploitasi tubuh perempuan demi keuntungan. Sistem ekonomi Islam diarahkan untuk mengupayakan distribusi kekayaan yang efektif dalam menjamin kebutuhan pokok semua warga negaranya dan bukan hanya demi pertumbuhan ekonomi. Namun, Islam pun menerapkan hukum yang menciptakan produktivitas ekonomi yang sehat untuk mengatasi pengangguran massal dan memungkinkan individu untuk mendapat kemewahan.
Karena itu, tentu diperlukan sistem dan kepemimpinan di Dunia Islam. Islam dengan seluruh kesempurnaannya menawarkan visi politik yang sama sekali berbeda untuk kawasan dan seluruh dunia agar terlepas dari belenggu kemiskinan dan eksploitasi. Visi politik Islam adalah kepemimpinan tunggal (Khilafah) untuk umat Islam di seluruh dunia, yang tidak akan membiarkan umat Islam tercerai-berai dan tereksploitasi hanya karena kepentingan nasional yang sempit.[]