Oleh: Romadhon (Direktur LARAS)
Awal tahun 2020, beberapa wilayah di Indonesia diuji bencana banjir. BMKG menyebutkan, banjir Jakarta dan sekitarnya karena curah hujan ekstrem. Banjir bandang tidak hanya berdampak kerusakan material namun juga korban jiwa.
Refleksi
Atas musibah berat ini, kami memohon kepada Allah SWT agar memberikan rahmat kepada mereka yang meninggal dalam bencana banjir tersebut. Kami juga menyampaikan rasa belasungkawa kepada keluarga korban.
Menurut hemat kami, negara harus memenuhi kebutuhan seluruh korban dan memberi kompensasi kepada mereka atas kerugian materi yang mereka alami akibat bencana banjir ini, khususnya keluarga dari mereka yang meninggal.
Pihak-pihak yang berwenang di negara memikul tugas dan tanggungjawab untuk mengambil langkah-langkah dan berbagai persiapan yang perlu sebagai tindakan preventif ke depan. Hal itu agar bencana alam seperti ini tidak menyebabkan korban meninggal dan hilang seperti sekarang.
Sikap Kaum Muslim
Berbahagialah menjadi seorang Muslim. Kata Rasulullah saw., apapun keadaannya, sebaik atau seburuk apapun, bagi seorang Muslim itu tetap saja baik, “Inna amrahu kullahu lahu khayr[un]. In ashabathu sarra’ syakara fakânat khayran lahu Wa in ashabathu dharra’u shabara fakanat khayr[an] lahu (Sekiranya dia diberi sesuatu yang menggembirakan maka dia bersyukur sehingga menjadi kebaikan bagi dirinya. Sekiranya dia ditimpa kesusahan maka dia bersabar sehingga menjadi kebaikan pula bagi dirinya.” (HR Muslim).
Jika musibah diartikan sebagai hal buruk yang terjadi pada kita atau menimpa kita, dan tak bisa kita hindari, atau dalam definisi Syaikh Ibrahim Anis dalam Al-Mu’jam al-Wasith, sebagai segala sesuatu yang dibenci yang terjadi pada manusia, (kullu makrûh[in] yahullu bi al-insan)—seperti penghalangan bahkan pembubaran kelompok dakwah dan intimidasi terhadap para pengemban dakwah—lalu kita bisa sikapi dengan benar maka itu tetap baik buat kita.
Bagaimana menyikapi musibah dengan benar? Sabar. Menurut Imam Suyuthi dalam Tafsîr al-Jalalayn, sabar adalah menahan diri atas apa saja yang kita benci (al-habsu li an-nafsi ‘ala maa takrahu), lalu mengembalikan semua urusan itu kepada Allah SWT. Segala sesuatu hakikatnya adalah milik Allah SWT dan akan kembali kepada Dia. Inilah kalimat istirja’ sebagaimana disebut dalam firman-Nya yang artinya): “(yaitu) orang-orang yang jika ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Inna lilLahi wa inn ilayhi raji’un.” (QS al-Baqarah [2]: 156).
Bukan sebuah sabar biasa, tetapi sabar yang tumbuh dari kesadaran tauhid, bahwa itu semua merupakan qadha’ Allah SWT. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT (yang artinya): Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sungguh yang demikian adalah mudah bagi Allah (QS al-Hadid [57]: 22).[]