Benarkah Negeri-negeri Muslim Tidak Berkembang Karena Paham Islam Konservatif?

 Benarkah Negeri-negeri Muslim Tidak Berkembang Karena Paham Islam Konservatif?

Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan sebagian besar negara dengan mayoritas penduduk Islam sulit berkembang dan mengalami ketertinggalan di bidang ekonomi. Pasalnya, mereka masih konservatif dalam menerapkan ajaran agama di kehidupan sehari-hari.

“Cara berpikir konservatif menjadi salah satu penyebab mengapa negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim masih tergolong underdevelopment country dan mengalami ketertinggalan dalam ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya,” kata Wapres Ma’ruf Amin saat menyampaikan ceramah yang disiarkan TVRI dari kediaman Wapres di Jakarta, Ahad.

Ma’ruf Amin menilai cara berpikir tersebut semakin berkembang akhir-akhir ini, khususnya ketika muncul kelompok-kelompok masyarakat yang berpikir bahwa kemurnian Islam harus dibangun dengan cara tekstualis.

“Cara berpikir seperti itu memang sudah mulai berkembang akhir-akhir ini, ketika isu kemurnian Islam harus dibangun dengan kemudian kita mengalami kemunduran berpikir dan mengarah pada cara pikir yang sangat tekstual,” katanya.

KOMENTAR

Mengherankan bila seorang wapres sekaligus Ketua Majelis Ulama Indonesia terperangkap pada istilah ‘konservatif’ dan ‘moderat/wasathiyah’. Kedua istilah itu sama sekali tidak dikenal dalam khasanah pemikiran Islam, melainkan berasal dari sejarah peradaban Barat.

Istilah konservatif artinya adalah doktrin politik yang menekankan pada nilai insitusi dan praktek-praktek yang tradisional. Konservatif juga diartikan sikap menolak perubahan. Istilah itu dipakai di dunia Islam sebagaimana istilah fundamentalisme dan radikalisme, sebagai stigma terhadap kalangan muslim yang memperjuangkan tegaknya kembali syariat Islam dalam kehidupan. Inilah perang istilah (harb al-istilah) yang dilakukan Barat terhadap Islam dan kaum muslimin.

Dalam Islam hanya dikenal istilah muslim, fasik, zalim dan kafir. Muslim yang melepaskan diri dari ketaatan dikategorikan zalim atau fasik, selama tidak secara keyakinan. Namun bila ia meyakini melepaskan diri dari ajaran Islam jatuhlah pada kekufuran.

Muslim yang berpegang teguh pada keyakinan bahwa riba, zina, homoseksual, narkoba, hukumnya haram adalah muslim yang taat, bukan muslim konservatif. Sedangkan muslim misalnya yang menerima eksistensi kaum LGBT, mempraktekkan riba, membiarkan perzinaan, tidak disebut sebagai muslim moderat, tapi orang fasik. Namun bila mereka menghalalkan itu semua bisa jatuh pada kekufuran.

Selain itu, Ma’ruf Amin juga melakukan kesalahan fatal dalam menganalisa sebab kemunduran atau tidak majunya negeri-negeri kaum muslimin, yang dikatakannya karena mayoritas muslim berpaham konservatif.

Pertama, Pada faktanya di seluruh dunia hari ini tidak ada yang menerapkan Islam secara kaffah, mulai dari aturan ibadah, perekonominan, sosial hingga politik. Hanya sebagian kecil hukum Islam yang diberlakukan di banyak negeri kaum muslimin.

Lalu apa indikasi Indonesia mundur karena paham konservatif dominan di tanah air? Bukankah kalangan yang menduduki jabatan pemerintahan dan dewan justru dominan dari kalangan Islam moderat bahkan nasionalis sekuler? Bukankah partai pemenang pemilu adalah PDIP dan presiden yang terpilih juga dari PDIP yang notabene bertolak belakang dengan kelompok 212 yang sering disebut sebagai radikal? Tapi justru hari ini Indonesia kian terpuruk kondisinya; neraca perdagangan defisit, impor makin menggila, TKA terus masuk ke dalam negeri dan utang LN melejit hingga Rp 6.300 triliun. Apakah ini karena paham Islam konservatif?

Kedua, kemunduran negeri-negeri muslim hari ini bukan disebabkan oleh ajaran Islam, tapi oleh diterapkannya sistem politik demokrasi di alam kapitalisme. Demokrasi telah melahirkan banyak kepala daerah dan pejabat juga anggota dewan yang korup. Sampai tahun 2019 sudah ada 114 kepala daerah terjerat korupsi. Belum lagi pengurus parpol dan ketua umum parpol yang ditangkap karena kasus korupsi.

Demokrasi menyebab terjadinya politik transaksional antara elit parpol dengan para investor politik. Sehingga banyak kebijakan daerah maupun pusat yang dikendalikan oleh para pemilik modal. Ini mengakibatkan banyak kepala daerah, anggota dewan daerah dan pusat tersandera dalam pusaran korupsi.

Demokrasi juga menyebabkan terjadinya dinasti kekuasaan mulai dari daerah hingga ke pusat, dan ke dalam partai-partai politik. Banyak jabatan-jabatan di daerah juga di parpol dipegang oleh pasangan suami-istri, anak, menantu dan karib kerabat.

Sementara itu kapitalisme telah menyebabkan banyak SDA dikuasai asing dan aseng. Tanah Indonesia sebagaimana pernyataan Syafi’i Ma’arif dikatakan 80 persen dikuasai oleh asing, 13 persen dikuasai konglomerat, sisanya tujuh dibagi untuk 250 juta jiwa. Dewan Pakar Pusat Studi Energi (PSE) UGM menyebutkan pengelolaan ladang minyak 90 persen dikuasai asing, 10 persen dikuasai BUMN dan BUMD.
Ketiga, tidak berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi juga bukan karena paham Islam konservatif, faktor paling dominan karena kapitalisme bercokol di tanah air.

Kapitalisme bertanggung jawab atas terpuruknya pendidikan di tanah air, dengan menciptakan jurang sosial yang dalam sehingga terjadi akumulasi kekayaan di segelintir orang dan jutaan orang menjadi miskin. Akibat kemiskinan angka putus sekolah di Indonesia masih tinggi. Masih ada 4,6 juta anak usia 7-18 tahun yang putus sekolah.

Arah pendidikan yang tidak jelas juga menyebabkan hampir 8% dari total 7 juta lebih sarjana di Indonesia menganggur. Bahkan sampai ada sarjana magister (S2) yang menjadi supir ojek online karena tidak mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai pendidikannya.

Tidak berkembangnya teknologi juga diakibatkan negeri-negeri muslim terus tunduk pada penjajahan teknologi dan industri yang dilakukan negara-negara adidaya. Ketika India dan Cina sudah mengembangkan berbagai sektor industri berat, Indonesia masih terus mengimpor atau hanya merakit mesin dan otomotif merk negara lain. Mobil merk Esemka yang digadang-gadang sebagai mobil nasional sampai sekarang tak jelas rimbanya bahkan diragukan keberadaannya.

Terakhir, bila Indonesia ingin maju maka penguasanya harus mau melepaskan diri dari jerat neoimperalisme dan ideologi kapitalisme-neoliberalisme, bukan malah menyalahkan Islam. Semenjak kemerdekaan Islam justru dipersalahkan dan dikungkung agar tidak berkembang. Bila kini Wapres menyalahkan Islam konservatif itu adalah sikap buruk muka cermin dibelah. Menyembunyikan ketidakmampuan dan kegagalan pemerintah dengan menyalahkan Islam. Terlalu.[]IwanJanuar/LS

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *