Oleh: Iwan Januar, Peneliti Siyasah Institute
Sepanjang agresi militer Israel terhadap warga Palestina, khususnya kaum Muslim yang berdiam di sana, berbagai solusi ditawarkan. Mulai dari solusi dua negara yakni mengakui kemerdekaan Palestina dan hidup berdampingan dengan Israel, lalu ada solusi internasionalisasi al-Aqsa, hingga solusi yang belakangan muncul dan cukup sering diserukan adalah kewajiban Muslim Palestina berhijrah meninggalkan negeri mereka agar aman dan leluasa menjalankan ibadah.
Sebelum kami membahas soal seruan hijrah bagi Muslim Palestina, ada beberapa hal yang mesti diluruskan dalam persoalan Israel-Palestina ini. Pertama, Palestina adalah tanah air kaum Muslim dan berstatus tanah kharajiyah yang ditaklukkan di masa Khalifah Umar bin Khattab ra. Sehingga status Palestina hingga hari kiamat adalah tanah air kaum Muslim sebagaimana Irak, Suriah, Libanon, Mesir, dsb. yang masuk ke dalam wilayah kaum Muslim dengan cara futuhat. Yang dimaksudkan Palestina bukan saja Tepi Barat dan Jalur Gaza, tapi semua wilayah termasuk yang dijajah Israel. Pandangan ini wajib dipahami mengingat terus menerus beredar opini Palestina adalah tanah tak bertuan, sehingga eksistensi negara Zionis di sana adalah sah.
Demikian wajib diluruskan menguatnya pandangan bahwa masalah Palestina adalah masalah kemanusiaan, bukan lagi masalah keagamaan. Bagi kalangan di luar Islam, silakan saja melihatnya sebagai problem kemanusiaan, tapi bagi kita, umat Muslim, persoalan Palestina adalah masalah menyangkut akidah dan syariah. Cukuplah sabda Nabi SAW:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ ، لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ
“Muslim adalah saudara bagi Muslim, tidak boleh menzaliminya dan membiarkannya (dianiaya musuh).” (HR Bukhari)
Kedua, Israel adalah agresor dan imperialis. Kehadirannya adalah batil sehingga haram mengakui kehadiran Israel walau hanya sejengkal tanah. Karenanya, kaum Muslim mesti berhati-hati terhadap pandangan yang kelihatannya benar tapi batil, yakni gagasan kemerdekaan Palestina, namun yang dimaksud hanyalah Tepi Barat dan Jalur Gaza, sembari tetap mengakui eksistensi Israel. Opini ini belakangan terus dikampanyekan termasuk oleh sebagian ormas, pergerakan dan tokoh-tokoh Islam. Tanpa mengurangi rasa hormat, pandangan ini cacat dan batil secara fakta dan syariat.
Kebatilan pandangan ini berdasarkan firman Allah SWT. yang memerintahkan kaum Muslim untuk memerangi dan mengusir orang-orang yang telah memerangi dan mengusir kaum Muslim. Firman-Nya:
وَٱقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ ۚ وَٱلْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ ٱلْقَتْلِ
“Dan perangilah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah/kekufuran lebih berbahaya dari peperangan.” (TQS al-Baqarah: 191)
Selain itu, kaum Muslim terikat dengan Perjanjian Umar bersama Sofronius, Pimpinan Nasrani Yerusalem yang disepakati oleh Khalifah Umar bin Khattab ra. Ketika pasukan Islam berhasil masuk ke Yerusalem, Sofronius meminta perjanjian pada Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra. yang dikenal dengan al-‘Ahda Umariyyah. Di antara isi perjanjiannya sebagai tercantum dalam riwayat ath-Thabari:
Umar memberikan jaminan terhadap jiwa mereka, harta mereka, gereja-gereja mereka, salib-salib mereka, orang-orang yang lemah di antara mereka.
Mereka juga tidak dipaksa meninggalkan agama mereka. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang merasa terancam dan diusir dari Yerusalem.
Adapun orang-orang Yahudi, tidak diperkenankan tinggal bersama mereka (orang-orang Kristen) di Yerusalem. Ini adalah permintaan sendiri penduduk Yerusalem, karena penduduk Yerusalem sangat membenci orang-orang Yahudi.
Ada kewajiban bagi kaum Muslim memberikan perlindungan pada Palestina dan warga Nasrani serta gereja-gereja mereka, dan salib-salib mereka. Termasuk tidak mengizinkan orang-orang Yahudi tinggal di Yerusalem.
Memberikan kemerdekaan pada Palestina – hanya berupa Tepi Barat dan Jalur Gaza – dan hidup berdampingan dengan Israel adalah tindakan melanggar syariat Allah SWT.
Harus Hijrah?
Kaum Muslim Palestina memang tertindas di tanah air mereka sendiri, namun apakah kemudian mereka harus berhijrah meninggalkan negerinya?
Muncul pandangan dengan mengutip firman Allah SWT:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?” Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah).” Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (TQS an-Nisa: 97)
Perlu dipahami, ayat ini turun untuk mengingatkan sebagian orang-orang beriman yang di Mekah yang tidak melaksanakan perintah Allah untuk berhijrah menuju Yatsrib/Madinah. Padahal di Mekah mereka mengalami penganiayaan, maka Allah SWT menegur mereka dengan ancaman keras.
Pengertian hijrah zhâhirah yang diterangkan oleh Ibnu Hajar adalah lari menyelamatkan agama dari fitnah (al-firâr bi ad-dîn min al-fitan). Hal ini senada dengan penjelasan al-Jurjani dalam At-Ta’rifât. Menurut al-Jurjani, hijrah adalah meninggalkan negeri yang berada di tengah kaum kafir dan berpindah ke Dâr al-Islâm.
Hijrah secara mutlak dalam as-Sunnah ditransformasikan ke makna: meninggalkan negeri syirik (kufur) menuju Dâr al-Islâm. Jika demikian maka asal hijrah adalah meninggalkan apa saja yang telah Allah larang berupa kemaksiatan, termasuk di dalamnya meninggalkan negeri syirik, untuk tinggal di Dâr al-Islâm.
Darul Islam adalah suatu wilayah (negara) yang menerapkan syariah Islam secara total dalam segala aspek kehidupan dan keamanannya secara penuh berada di tangan kaum Muslim. Sebaliknya, darul kufur adalah wilayah (negara) yang tidak menerapkan syariah Islam dan keamanannya tidak di tangan kaum Muslim, sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Definisi hijrah semacam ini diambil dari fakta hijrah Nabi SAW sendiri dari Mekah (yang saat itu merupakan darul kufur) ke Madinah (yang kemudian menjadi Darul Islam).
Tapi faktanya hari ini tidak ada satu pun negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah. Bukan itu saja, tidak ada jaminan bahwa di negeri-negeri Muslim sekalipun, kaum Muslim tidak mengalami penindasan dari para penguasanya. Rezim yang berkuasa misalnya di Saudi Arabia, Mesir, Irak, Libanon, Suriah, melakukan penindasan keji terhadap kaum Muslim khususnya para dai dan ulama yang lantang dalam amar makruf nahi mungkar.
Lagipula, konteks persoalan yang dihadapi Muslim Palestina bukanlah tekanan dan penindasan sebagaimana yang terjadi dahulu di Mekah. Negeri Palestina tengah dijajah dan dirampok oleh agresor Zionis Israel. Karenanya, kewajiban yang mesti dilakukan adalah melakukan pembelaan terhadap hak milik dan tanah air.
Imam Muslim meriwayatkan hadits tentang perintah Nabi SAW untuk melakukan perlawanan jika ada orang yang hendak merampas harta mereka. Sabdanya:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ جَاءَ رَجُلٌ يُرِيدُ أَخْذَ مَالِى قَالَ « فَلاَ تُعْطِهِ مَالَكَ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قَاتَلَنِى قَالَ « قَاتِلْهُ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلَنِى قَالَ « فَأَنْتَ شَهِيدٌ ». قَالَ أَرَأَيْتَ إِنْ قَتَلْتُهُ قَالَ « هُوَ فِى النَّارِ »
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada seseorang yang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika ada seseorang yang mendatangiku dan ingin merampas hartaku?”
Beliau bersabda, “Jangan kau beri padanya.”
Ia bertanya lagi, “Bagaimana pendapatmu jika ia ingin membunuhku?”
Beliau bersabda, “Bunuhlah dia.”
“Bagaimana jika ia malah membunuhku?”, ia balik bertanya.
“Engkau syahid!” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Bagaimana jika aku yang membunuhnya?” ia bertanya kembali.
“Ia yang di neraka!” jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR Muslim)
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW. menerangkan kedudukan orang yang mati ketika mempertahankan hartanya. Sabda Beliau SAW:
عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ : « مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ أَوْ دُونَ دَمِهِ أَوْ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ »
Dari Sa’id bin Zaid, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Siapa yang dibunuh karena membela hartanya maka ia syahid. Siapa yang dibunuh karena membela keluarganya maka ia syahid. Siapa yang dibunuh karena membela darahnya atau karena membela agamanya, ia syahid.” (HR Abu Daud no. 4772 dan An Nasa’i no. 4099. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Ini berkaitan dengan hukum membela diri dari pihak yang akan merampas dan merusak harta, keluarga serta kehormatan pribadi. Adapun terkait dengan serangan/agresi militer yang dilakukan pihak asing terhadap negeri kaum Muslim, maka berlaku hukum jihad mempertahankan diri (al-jihad ad-difa’iy). Hukum jihad mempertahankan negeri dari serangan musuh adalah fardhu ‘ain, bukan fardhu kifayah. Firman Allah SWT:
وَٱقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ ۚ وَٱلْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ ٱلْقَتْلِ
“Dan perangilah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu. Dan fitnah/kekufuran lebih berbahaya dari peperangan.” (TQS al-Baqarah: 191)
Juga firman-Nya:
فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (TQS al-Baqarah: 194)
Hukum berjihad bagi warga yang negeri mereka diserang adalah fardlu ‘ain, yang harus dilakukan oleh kaum lelaki Muslim dan dewasa. Status bagi muslim Palestina adalah wajib mempertahankan tanah air mereka dari agresi militer Israel, bukan berhijrah.
Muncul pertanyaan bagaimana jika kaum Muslim tidak sanggup mempertahankan tanah air mereka dari serangan musuh? Hukum jihad ini tidak hanya berlaku bagi kaum Muslim yang tengah mengalami serangan musuh, tapi juga bagi kaum Muslim di sekitar negeri mereka. Bagi kaum Muslim di Yordania, Libanon, Mesir, dan sekitarnya mereka terkena taklif jihad sebagai fardhu kifayah. Yakni, manakala kaum Muslim di Palestina kesulitan mengusir musuh, maka wajib hukumnya bagi umat Muslim di sekitar Palestina untuk mengirim pasukan mengusir Israel.
Profesor Dr. Wahbah Zuhaili dalam Fiqh Islam wa Adillatuhu menyatakan: “Jika mereka (warga penduduk negeri) lemah menghadapi perlawanan orang-orang kafir, maka wajib bagi siapa saja yang bertetangga (negerinya) dengan mereka dari kalangan kaum Muslim, yang terdekat, dan yang paling dekat, berperang bersama mereka dan mengerahkan persenjataan juga harta untuk mereka.” (Fiqh Islam wa Adillatuhu, juz 6, hal. 416)
Kewajiban Berjihad
Jadi mengherankan bila ada sebagian orang yang justru malah menyeru kaum Muslim Palestina untuk berhijrah dengan alasan mereka teraniaya dan tidak sanggup mengusir zionis Israel. Seharusnya kaum Muslim menyeru para pemimpin dunia Islam – bahkan mengecam mereka – karena hanya jadi penonton terhadap tragedi Palestina, dan hanya berpuas diri dengan memberi kecaman. Padahal mereka terkena kewajiban berjihad atau mengirimkan pasukan dan persenjataan ke Palestina untuk mengenyahkan zionis Israel.
Padahal jelas ada kewajiban untuk menolong sesama Muslim yang teraniaya. Allah telah berfirman:
وَاِنِ اسْتَنْصَرُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ
“Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan.” (TQS al-Anfal: 72)
Demikian pula Nabi SAW bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ،
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya, dia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya disakiti.” (HR Bukhari)
Juga sabda Nabi SAW:
انْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُومًا
“Tolonglah saudaramu yang berbuat zalim dan yang dizalimi.” (HR Bukhari)
Hari ini seruan keras harusnya diarahkan pada para penguasa Muslim. Mereka memiliki kekuasaan dan kekuatan militer. Tidak patut mereka membiarkan saudara seiman dizalimi, ditumpahkan darahnya, dan diusir. Mereka juga tidak patut membiarkan tanah air kaum Muslim, Palestina dan Masjidilaqsa dinodai oleh agresi militer Israel. Padahal mereka bisa memberikan bantuan logistik dan pasukan untuk mengusir Israel dari tanah Palestina. Karenanya, membiarkan para penguasa Muslim berdiam diri di atas kursi kekuasaannya adalah kemungkaran.
Demikian pula merasa puas dengan kecaman para penguasa Muslim, atau merasa senang dengan bantuan makanan dan obat-obatan yang mereka kirimkan juga suatu kekeliruan besar. Karena di tangan para penguasa ada kekuatan yang harusnya digunakan untuk membela saudara seiman dan tanah Palestina, serta mempertahankan Perjanjian Umar bin Khattab.
Mendiamkan kezaliman yang dilakukan para penguasa Muslim, sama artinya melanggengkan kekejaman Israel terhadap umat Muslim Palestina dan penjajahan atas negeri mulia tersebut. Apalagi sudah ada beberapa penguasa Muslim yang berkhianat dengan menjalin kerja sama dengan pemerintah zionis Israel yakni Mesir, UEA, Bahrain, Maroko dan Turki. Karenanya, kecaman mereka pada Israel adalah tipu daya belaka, sebab di belakang panggung mereka justru bergandengan tangan dengan penjajah Israel.
Wahai kaum Muslim, serukan pada para pemimpin kaum Muslim, bahwa tangan mereka turut berlumur darah rakyat Palestina karena membiarkan Israel terus menerus membunuhi warga Palestina termasuk lansia, wanita dan anak-anak.[]