Belum Qadha Puasa Tapi Ramadhan Datang Lagi, Begini Hukumnya

Mediaumat.news – Pakar Fiqih Muamalah KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menuturkan orang yang menunda qadha sehingga masuk Ramadhan hanya berkewajiban qadha dan tidak wajib membayar fidyah.

“Orang yang menunda qadha sehingga masuk Ramadhan, hanya berkewajiban qadha, tidak wajib untuk membayar fidyah. Sementara dalam hal waktu mengqadha, qadha wajib dilaksanakan selewat-lewatnya pada bulan Sya’ban dan berdosa jika seseorang menunda qadha sehingga masuk Ramadhan berikutnya,” tuturnya dalam acara Kajian Fiqih: Belum Qadha Puasa, Ramadhan Datang Lagi, Jumat (9/4/2021) di kanal YouTube Khilafah Channel.

Ia mengatakan, barangsiapa yang belum mengqadha puasa Ramadhan yang lalu, kemudian telah datang lagi Ramadhan berikutnya, maka perlu dilihat terlebih dahulu alasan penundaan qadha tersebut. “Jika penundaan itu karena ada uzur syar’i, seperti sakit, menyusui, atau hamil, maka tidak mengapa. Demikianlah menurut semua mazhab tanpa ada perbedaan pendapat,” ujarnya.

Namun jika penundaan qadha itu tanpa ada uzur, menurutnya, orang tersebut berdosa. “Ia berdosa jika menunda qadha sampai masuk Ramadhan tanpa uzur syar’i,” tegasnya.

Ia menilai, waktu qadha yang kuat adalah pendapat jumhur ulama yakni mengqadha puasa Ramadhan waktunya adalah terbatas, bukan lapang (muwassa’) sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah. “Maka qadha wajib dilakukan sebelum masuknya Ramadhan berikutnya. Jika seseorang menunda qadha tanpa uzur sehingga masuk Ramadhan berikutnya, dia berdosa,” ujarnya.

Ia mengutip dalilnya dari hadis Aisyah RA yang berkata, “Aku tidaklah mengqadha sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadhan, kecuali pada bulan Sya’ban sehingga wafatnya Rasulullah.”

Menurutnya, meskipun hadis ini hadis mauquf yaitu merupakan perbuatan, perkataan, dan diamnya sahabat, yang dalam hal ini adalah perkataan atau perbuatan Aisyah RA, namun dihukumi hadis marfu’, yaitu hadis yang isinya adalah perbuatan, perkataan, dan diamnya Rasulullah SAW.

“Adakalanya secara redaksional sebuah hadis adalah mauquf, tetapi secara hukum adalah hadis marfu’. Hadis ini memang bukan sabda Nabi, tetapi ucapan Aisyah. Hadis ini mengandung qarinah atau isyarat bahwa Aisyah melakukan itu karena sepengetahuan Rasulullah SAW karena Aisyah ini jelas adalah istri Nabi dan Nabi mengetahui itu. Artinya pendapat Aisyah ini mendapat pengesahan dari Nabi karena Nabi mengetahuinya dan mereka hidup satu rumah,” jelasnya.

“Ada dugaan kuat apa yang dilakukan Aisyah ini semata-mata bukan pendapat pribadinya, melainkan sepengetahuan Rasulullah SAW. Jadi, dengan kata lain hadis Aisyah ini secara redaksional sebuah hadis adalah mauquf, tetapi secara hukum adalah hadis marfu’,” ujarnya.

Jadi, menurutnya, hadis Aisyah ini merupakan hujjah atau dalil ketika orang punya utang puasa maka jangka waktunya adalah pada tahun itu. “Jangan sampai Ramadhan berikutnya datang. Selambat-lambatnya Sya’ban itu selesaikan,” pungkasnya. [] Achmad Mu’it

Share artikel ini: