Belanda Minta Maaf Atas Perbudakan Selama 250 Tahun, Sejarawan: Ini Sikap Ksatria

Mediaumat.id – Permintaan maaf Perdana Menteri Belanda Mark Rutte atas keterlibatan Belanda selama 250 tahun dalam perbudakan khususnya di Indonesia dinilai sebagai sikap ksatria.

“Belanda melalui perdana menterinya meminta maaf. Saya kira ini sikap satria. Bagus sekali dialamatkan terutama pada masyarakat Indonesia,” tutur Sejarawan Moeflich Hasbullah kepada Mediaumat.id, Rabu (21/12/2022).

Menurutnya, permintaan maaf itu positif sekali. “Bagus ada kemauan untuk meminta maaf. Itu bukan hal yang mudah dan mereka telah secara ksatria meminta maaf secara terbuka. Itu pengakuan yang bagus bahwa dulu pernah melakukan perbudakan dan kekejaman yang di luar peri kemanusiaan yang diakui oleh Mark Rutte sendiri,” ungkapnya.

Moeflich mengatakan, meminta maaf itu susah buat beberapa negara tertentu seperti misalnya Macron, Presiden Prancis yang tidak mau minta maaf kepada Aljazair yang telah melakukan banyak kekejaman dan menghilangkan nyawa jutaan warga Aljazair pada masa-masa kolonialisme.

“Kolonialisme Eropa itu kan banyak, ada Belanda, Spanyol, Italia, kemudian Inggris, Prancis. Itu semuanya pernah melakukan penjajahan kepada negara-negara di Asia. Termasuk negara-negara Muslim,” katanya.

Menurut Moeflich, bagusnya sikap pemerintah Belanda itu diikuti oleh negara-negara lain yang sama-sama negara kolonial asing yang menjajah negara-negara Asia termasuk negara Muslim.

“Negara-negara Eropa yang pernah menorehkan kejahatannya, menuliskan tinta hitam dalam sejarah dunia, bagus kalau menyatakan secara terbuka, meminta maaf kepada negara-negara yang pernah dijajah, dizalimi, disakiti, dan yang pernah dibantai. Sebab itu bagian dari kesadaran manusia modern. Jadi, bagus sekali,” tandasnya.

Kejam

Moeflich mengatakan, perbudakan yang dilakukan oleh Belanda bukan hanya masa revolusi kemerdekaan namun kekejaman Belanda sebetulnya sudah terjadi saat sebelum merdeka.

“Sebetulnya kalau kita lihat ke belakang kekejaman Belanda itu bukan hanya masa revolusi, tapi juga masa Tanam Paksa (Cultuurstelsel). Itu luar biasa kekejaman itu. Pemerintah Belanda membuat aturan menanam pohon-pohon yang prospektif dijual yang laku dan mahal seperti kopi, cengkeh, lada dan sebagainya. Kemudian hasilnya dijual ke Eropa dan dari hasil tanam paksa itu kemudian hampir bisa menutup kerugian pemerintah Belanda akibat dari Perang Diponegoro. Perang yang hampir menguras dana Belanda dan kerugian Belanda jutaan gulden itu terbayar kembali oleh hasil tanam paksa yang diperlakukan secara kejam terhadap masyarakat Indonesia saat itu,” bebernya.

Menurutnya, perbudakan pada masa tanam paksa itu bukan hanya sekali disuruh menanam pohon-pohon yang mahal dan laku dijual ke Eropa, tetapi juga ada penyiksaan fisik yang luar biasa. Belanda mengakui bahwa ekonominya bangkit kembali tapi negeri jajahannya -Nusantara- sangat menderita, kelaparan, miskin yang berkepanjangan, dan sebagainya.

Belanda, lanjut Moeflich, akhirnya tidak tega kemudian mengubah kebijakannya dari yang sangat merugikan penduduk negeri ini, yang telah sanggup membayar kerugian negeri Belanda akibat Perang Diponegoro itu, dengan kebijakan Politik Etis.

Politik Etis, ungkap Moeflich, yaitu sebuah kebijakan yang menyadari bahwa penduduk pribumi sangat menderita padahal sudah menyumbangkan ekonomi yang sangat besar terhadap kemajuan dan pemulihan ekonomi Belanda sehingga mereka harus dibayar kerugiannya, penderitaannya, dan perjuangannya dengan lebih baik melalui irigasi. Kemudian pendidikan kepada kaum pribumi dan sebagainya. Itu dasar dari kekejaman Belanda yang sangat luar biasa ketika melakukan kolonialisasi pada penduduk pribumi.

Perbudakan Pemikiran

Moeflich mengatakan, perbudakan sekarang sudah berganti wujud bukan lagi perbudakan fisik, tapi perbudakan pemikiran, politik, dan ekonomi. “Secara tidak langsung kita sudah merdeka pada saat ini, namun kita tidak merdeka. Kita seolah-olah bebas padahal kita tidak bebas. Hal ini dirasakan oleh semua unsur kewarganegaraan, termasuk pemerintahan, para menteri dan sudah banyak tokoh-tokoh yang menyuarakan itu bahwa kita sudah hilang kemandirian. Sekarang ada penjualan pulau-pulau yang kosong yang dulunya itu dipertahankan sebagai kado kedaulatan negara Indonesia oleh pemerintah Belanda. Tentukan mengerikan. Itu membuka peluang untuk intervensi asing masuk lebih kuat lagi di Indonesia. Tidak tahu itu gimana cara berpikir pemerintah itu. Alasannya karena daripada volumenya kosong, tidak berfungsi, ya kan bukan hanya itu masalahnya,” ujarnya.

Ia berharap kedaulatan itu dijaga oleh seluruh warga termasuk sebagian TNI yang punya kesadaran untuk mempertahankan. “Kita tunggu saja perkembangannya. Di pihak TNI masih ada unsur-unsur yang mempertahankan NKRI, meskipun pemerintah menjual pulau-pulau itu dengan bebas,” sesalnya.

Sekali lagi, Moeflich menegaskan bahwa perbudakan sekarang sudah berubah lebih smooth (halus), lebih tidak disadari, dan lebih berbahaya. “Sebetulnya karena ini lebih pada pengendalian cara berpikir, cara berekonomi, cara berhukum, cara berbudaya dan sebagainya. Semuanya kita sudah kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia dan sebagai bangsa terbesar di dunia,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini: