Belanda Lakukan Perbudakan Selama 250 Tahun, Dr. Riyan: Tak Cukup Minta Maaf
Mediaumat.id – Terkait adanya permintaan maaf dari Perdana Menteri Belanda Mark Rutte atas perbudakan selama 250 di masa lalu, Pengamat Politik Islam Dr. Riyan, M.Ag. menilai Belanda seharusnya tidak cukup sekadar meminta maaf.
“Tidak cukup sekadar meminta maaf. Mengapa? Karena penjajahan yang dilakukan Belanda atas Indonesia dan negara-negara lainnya adalah penjajahan multidimensi,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Jumat (23/12/2022).
Menurutnya, di situ ada persoalan kejahatan atas harta, atas jiwa (nyawa), atas kehormatan, atas akal, atas nasab, atas wilayah. “Artinya, sanksi atas seluruh kejahatan tersebut harus komprehensif,” ungkapnya.
Sebagai tindak lanjut dari permintaan maaf tersebut, maka kata Riyan, pertama, pemerintah Indonesia dan Belanda harus melakukan pemetaan dan penghitungan terhadap seluruh kejahatan multidimensi tersebut dalam kurun waktu tertentu, di setiap wilayah Indonesia.
Selain itu, lanjut Riyan, pemerintah Indonesia harus secara resmi mengajukan ganti rugi total atas apa yang telah dilakukan penjajah Belanda. Termasuk bagaimana teknis pelaksanaan kesepakatan yang dilakukan.
“Harus diperhatikan bahwa kesepakatan itu tidak sekadar basa-basi, artinya harus dikawal dan diawasi agar pemenuhan komitmen sanksi tersebut benar-benar berjalan sesuai dengan seharusnya,” bebernya.
Riyan juga meminta perlakuan yang sama kepada negara-negara yang pernah melakukan kejahatan penjajahan kepada Indonesia, dengan menuntut permintaan maaf dan pelaksanaan sanksi tersebut.
Neo Imperalisme
Riyan menilai, perbudakan sekarang terjadi dalam bentuk lain sebagaimana yang dilakukan Eropa dan Amerika Serikat terhadap berbagai negeri Islam.
Pertama, penjajahan dengan semua dimensinya, hari ini tetap berlangsung kejahatan dan perbudakan di berbagai negara yang dilakukan Amerika dan Eropa. “Bentuknya tidak semata-mata militer (fisik), tetapi dalam bentuk ekonomi, sosial budaya, pendidikan, pemikiran, hukum dan pemerintahan,” ungkapnya.
Kedua, bentuk penjajahan inilah yang disebut penjajahan dan perbudakan gaya baru (neo imperialism) yang sebenarnya lebih berbahaya dari sekadar penjajahan fisik (militer). “Penjajahan ini yang seharusnya lebih diwaspadai dan tentu dilakukan perlawanan. Tidak boleh dibiarkan apalagi malah didukung,” ujarnya.
Lawan
Riyan mengatakan yang seharusnya kaum Muslim lakukan dalam menghadapi perbudakan gaya baru ini adalah dengan melawannya. “Satu kata, lawan!” tegasnya.
Untuk melawan penjajahan dan perbudakan gaya baru ini, kata Riyan, dapat ditempuh dengan bebera cara.
Pertama, harus meneladani perjuangan dakwah Rasulullah SAW. “Beliau adalah teladan satu-satunya untuk kaum mukmin sehingga jaminan akan keberhasilan dari perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan akan dapat dilakukan secara tuntas,” tuturnya.
Kedua, teladan kepada Rasul SAW ini meliputi tahapan: pembinaan dan pembentukan kelompok dakwah, perjuangan di tengah masyarakat, dan penerimaan amanah kekuasaan dan pembentukan pemerintahan Islam untuk menjalankan Islam secara kaffah, mengemban dakwah dan jihad ke seluruh penjuru dunia.
Ketiga, karakter perjuangan Rasulullah SAW, ini bersifat pemikiran (fikriyyah), penggalangan dukungan (siyasiyah), dan tanpa kekerasan.
“Ketiga karakter perjuangan kolektif ini akan menjadi jaminan kesuksesan di dunia dan akhirat. Dan akan efektif untuk melawan dan melenyapkan segala bentuk penjajahan dan perbudakan dari muka bumi, dan menggantinya dengan keadaban, keadilan, kesejahteraan, dan keberkahan sebagai wujud Islam rahmatan lil ‘alamin dan negara yang terbentuk adalah penuh dengan kebaikan dan ampunan Allah (baldah thayyibah wa rabbun ghafur),” tutupnya.[] Achmad Mu’it