Belajar dari Krisis Energi Eropa, Dunia Islam Harus Miliki Kedaulatan Energi

Mediaumat.id – Mengambil pelajaran dari krisis energi yang terjadi di negara-negara Eropa, Pengamat Energi Prof. Dr.-Ing. H. Fahmi Amhar mengatakan dunia Islam harus memiliki kedaulatan energi.

“Jadi kita harus belajar bahwa secara teknis dunia Muslim itu harus menyiapkan diri agar benar-benar memiliki kedaulatan energi,” paparnya di acara Kabar Petang: Kapitalisme Membuat Rakyat Eropa Menderita, Rabu (5/10/2022) melalui kanal YouTube Khilafah News.

Fahmi mengatakan, tidak boleh suatu hari nanti terjadi, ketika dunia Islam ada masalah dengan negara-negara kafir adidaya kemudian mereka memboikot sesuatu, kaum Muslim kalang kabut karena enggak punya energi. “Enggak boleh seperti itu,” tegasnya.

Pada saat yang sama, tambahnya, dunia Muslim tidak boleh punya ketergantungan yang tinggi kepada negara asing dalam bentuk apa pun, apakah dalam teknologi, dalam ekonomi apalagi dalam politik dan militer, sama sekali tidak boleh. “Jadi harus punya kemandirian yang yang maksimal,” tandasnya.

Penyebab

Buruknya perekonomian di Eropa, dinilai Fahmi penyebabnya berantai. Pertama, banyak industri yang bangkrut karena mahalnya harga energi. Kedua, banyak orang kehilangan pekerjaan karena perusahaan bangkrut. Ketiga, karena kehilangan pekerjaan otomatis penghasilan lenyap.

“Pangkalnya karena Eropa kekurangan energi,” tegasnya.

Fahmi mengatakan, kekurangan energi ini akibat negara-negara Eropa mengembargo Rusia sejak Rusia menyerang Ukraina. Mereka lupa kalau mereka tergantung dengan energi dari Rusia. Jadi mereka rugi sendiri. “Mereka sebenarnya punya sumber energi nuklir, tetapi sudah beberapa tahun ini tidak memperpanjang pakai PLTN,” imbuhnya.

Ia mencontohkan Jerman yang menggunakan PLTN, tapi sejak 15 tahun terakhir banyak sekali Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang tutup. Penyebabnya, kata Fahmi, ada kampanye dari aktivis lingkungan yang meminta penggunaan energi nuklir dialihkan ke sumber energi terbarukan seperti energi surya atau angin.

“Padahal surya atau angin itu kan tidak stabil tidak bisa disimpan di malam hari atau di saat tidak ada angin. Jadi ini ternyata merupakan satu hal yang tidak mereka sangka, gas berkurang bahkan sudah tidak ada,” ungkapnya.

Tidak langsung

Fahmi menilai, krisis ekonomi Eropa ini tidak memiliki pengaruh secara langsung terhadap perekonomian Indonesia karena Indonesia tidak ikut memboikot Rusia. “Perdagangan kita banyak dengan Cina, Jepang dan Amerika, tidak banyak yang langsung ke Uni Eropa,” bebernya.

Namun, tambah Fahmi, secara tidak langsung Indonesia akan kena imbasnya karena impor gandum dari Ukraina menjadi mahal.

“Beberapa industri di Eropa ada yang selama ini mengimpor bahan mentah dari Indonesia dalam bentuk apa pun. Nah ini akan berdampak pada eksportirnya, pada industri di Indonesia yang mengekspor ke Uni Eropa, karena banyak yang menunda pesanan atau bahkan membatalkannya karena krisis ini,” jelasnya.

Tidak Berkaitan

Fahmi mengatakan, kapitalisme dan demokrasi tidak selalu berkaitan dengan lonjakan kenaikan harga energi. “Bukan karena pakai demokrasi dan kapitalisme kemudian pasti ada lonjakan gas. Tidak seperti itu. Namun kapitalisme yang menyerahkan persoalan energi ini sepenuhnya pada mekanisme pasar tanpa intervensi negara itu memang dapat menimbulkan krisis energi,” bebernya.

Perusahaan-perusahaan di Eropa itu, kata Fahmi, dibiarkan saja oleh negara. “Negara di sana itu tidak proaktif. Demikian juga proses demokrasi itu rentan menghasilkan pemimpin yang asal populer namun minim kapasitas,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini: