Oleh: Umar Syarifudin
Kita menyoroti dunia Islam dengan sejumlah besar masalah seperti perang, tirani, penindasan, liberalisasi SDA, kemiskinan, kelemahan dan eksploitasi oleh kekuatan asing. Kita juga masih menyoroti kaum minoritas muslim dimanapun mereka tinggal di dunia mengalami kesulitan yang berhubungan langsung dengan identitas Islam mereka. Mereka menderita serangan langsung terhadap kehidupan mereka seperti seperti Myanmar atau mereka menghadapi serangan yang ditujukan pada cara hidup mereka seperti yang kita lihat di Barat, dimana konsep dan simbol Islam yang mulia terus-menerus diawasi.
Ketika muslim di Rohingya melihat keluarga mereka dibunuh secara brutal dan pada saat yang sama merasakan bahwa para pemimpin Muslim tidak beranjak membebaskan keadaan sempit mereka, bagaimana mereka bisa tersenyum gembira? Demikian pula bagaimana Muslim di Barat yang ditertawakan karena cara mereka berpakaian atau berpikir, bisa berpegang pada agama mereka.
Pada saat yang sama, umat Islam adalah sebuah umat dengan kekayaan besar dan kekuatan bersenjata yang luar biasa yang melampaui kekuatan utama dunia, Amerika Serikat. Hari ini umat tidak berdaya sampai pada titik dimana umat Islam dibantai bahkan oleh negara kecil dan lemah, seperti Myanmar, tanpa tanggapan yang tepat. Penguasa negeri muslim bahkan tidak bergerak untuk menutup kedutaan Myanmar dan mengakhiri kedutaan besar mereka di Yangon (Rangoon), sebagai sikap ringan untuk membela saudara mereka yang ditindas.
Berikutnya, stempel ekstrimis maupun ekstrimisme adalah salah satu istilah yang digunakan untuk mencap beberapa gagasan sebagai hal yang berbahaya dan menakut-nakuti publik. Istilah ‘ekstremisme’ digunakan oleh para politisi Barat untuk mempertahankan pendapat sekuler dan kontrol mereka, meskipun mereka meyakini multikulturalisme dan kebebasan berbicara. Kebebasan berekspresi adalah, dalam praktiknya, tidak lain adalah alat politisi yang mereka gunakan untuk menjaga pandangan yang hanya sesuai dengan perspektif mereka. Kebencian terhadap Islam ini hanya bisa dilihat sebagai ketidakmampuan dan kemiskinan intelektual dari budaya Barat untuk menghadirkan argumen melawan Islam.
Di saat dunia muslim sebenarnya memiliki sumber daya pertanian yang kaya seperti biji-bijian, buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, kopi, kapas; produk susu, ternak (domba, kambing, sapi), unggas; dan ikan. Juga memiliki produksi minyak mentah yang besar dan penyulingan minyak bumi; produksi berskala kecil tekstil katun, barang dari kulit; pengolahan makanan; kerajinan tangan; produk aluminium; semen; perbaikan kapal komersial; uranium dan produksi gas alam.
Pertanyaan sebenarnya yang perlu ditanyakan adalah bagaimana mungkin negeri yang kaya dan begitu banyak sumber daya, menjadi sangat miskin? Hanya ada satu alasan adalah penguasa di atas negeri-negeri muslim tidak pernah memiliki niat untuk memanfaatkan kekayaan begitu besar bagi bangsanya. Negeri muslim dikendalikan oleh para tirani kapitalis yang ditempatkan oleh kekuatan kolonial.
Di samping penguasa yang khianat dan ketidakstabilan politik yang masih ada sebagai alasan mendasar mengapa kemiskinan ada di dunia Muslim adalah karena pelaksanaan keseluruhan gagasan kapitalis yang sangat membatasi distribusi kekayaan milik umat tidak sampai pada rakyat.
Tentu menyedihkan melihat dunia muslim terpesona oleh kegagalan demokrasi dan juga politisi serakah yang selalu merindukan keuntungan individualistis dengan mengorbankan rakyat jelata. Kegagalan demokrasi yang begitu gamblang harusnya harus menjadikan sadar bagi kaum pemikir membangkitkan masyarakat untuk memperjuangkan ideologi Islam alternatif, adil dan komprehensif; yang mencakup solusi politik dan sosio-ekonomi ke seluruh umat manusia.
Demokrasi tuli terhadap teriakan orang-orang tertindas karena tidak peduli dengan Islam atau Muslim. Hanya hukum Islam saja akan menjaga nyawa, harta benda, kesucian dan tanah kita di seluruh dunia. Bahkan dalam periode paling lemah dalam sejarah pemerintahan Islam, kaum Muslim kuat dan menang atas penindas mereka.
Sekaranglah saatnya untuk bangun, bangkit dan melakukan tugas yang telah disyariatkan Allah SWT. Bagaimana bisa dikatakan bersabar tanpa aktif terlibat dalam mengubah krisis akut ini? Tidak ada jumlah tugas duniawi yang cukup untuk menunda pekerjaan menegakkan Islam. Tidak ada alasan untuk membenarkan kelalaian tersebut. Fokus pada tugas dan pengerahan potensi terbaik kita adalah untuk menyongsong pertolongan Allah. InsyaAllah.[]