Oleh: Ainun Dawaun Nufus (pengamat Sospol)
Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mohamad Sohibul Iman menyatakan, PKS menolak Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) karena tidak ada kegentingan yang memaksa untuk dikeluarkannya regulasi itu. “Kenapa kami menolak Perppu karena tidak ada kegentingan yang memaksa dan tidak terjadinya kevakuman hukum,” kata Mohamad Sohibul Iman dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin (31/8). (http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/17/07/31/oty3vt377-presiden-pks-penilaian-ormas-radikal-subjektif-pemerintah)
Kegentingan Memaksa Itu…
Selalu secara eksplisit atau implisit dalam retorika kebijakan pemerintah bertujuan untuk mempromosikan prinsip-prinsip demokrasi, toleransi, hak asasi manusia dan pemerataan pembangunan. Namun, sebenarnya dengan keluarnya Perppu ini adalah secara sistematis bertabrakan dengan prinsip-prinsip yang mereka yakini. Setelah kita mempelajari isi dari Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), terdapat pasal-pasal yang menyentil hak-hak berserikat warga dan sangat berpotensi tampilnya rezim lebih represif lagi di masa-masa mendatang.
Masyarakat lebih membutuhkan peraturan yang tidak didirikan atas pemberangusan hak-hak untuk menyuarakan pendapat, kritik ataupun protes. Selama harapan rakyat masih tegak mendambakan pemerintah yang jujur dan adil, malah yang tergambar ke depan justru pemerintah mengklaim bahwa keluarnya Perppu yang dikatakan mampu menyelesaikan satu gangguan di NKRI ini, dengan menyasar gerakan-gerakan Islam yang distempel ‘anti Pancasila’. HTI dan simpatisannya sebagai target pertamanya. Alih-alih meredakan, yang terjadi gelombang kekecewaan dan protes masyarakat atas kebijakan yang dirasa tidak ‘bijaksana’ ini.
Pada saat yang Sama
Pada saat yang sama, rakyat sedang mengeluhkan soal utang negara, pengelolaan dana Haji, kenaikkan harga listrik, perlakuan liberalisasi sektor migas dan probblem freeport. Dengan tindakan ekonomi bunuh diri dengan menggunakan corak kebijakan liberalistik, ekonomi Indonesia tidak akan pernah bisa berkembang menjadi kuat. Pola ‘bubble economy’ kapitalisme global sewaktu-waktu mampu untuk menghancurkan apa pun yang tersisa dari ekonomi Indonesia untuk runtuh, negara-negara kolonialis ini menggunakan demokrasi untuk meningkatkan harga utilitas dasar seperti listrik dan migas. Selanjutnya, dalam anggaran sekarang, pajak menjadi pemasukan primer APBN yng dibebnkn kepada seluruh rakyat saat SDA kita yang melimpah ruah ‘dikelola’ swasta dengan payung Undang-Undang.
Cara pemerintah demokratis saat ini memberlakukan kebijakan IMF membuktikan bahwa apakah ada demokrasi atau ketundukan pada asing, anggaran Indonesia sedang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip kapitalis. Apakah krisis demi krisis ekonomi global tidak cukup bagi kita untuk menyadari bahwa model ekonomi Kapitalis yang ditawarkan Barat telah gagal? Bagaimana sistem bisa mengatasi kesenjangan ekonomi Indonesia saat negara tersebut gagal menjadi negara sejahtera, bahkan menjadi negara adidaya yang mampu melawan hegemoni AS? Lihatlah, Kapitalisme gagal total untuk menghilangkan kemiskinan dan pengangguran serta hanya menyediakan pendistribusian sumber daya atau bahkan memenuhi kebutuhan dasar jutaan orang Amerika.
Masalah ekonomi Indonesia hanya bisa diatasi dengan menerapkan sistem ekonomi Islam. Tidak seperti sistem saat ini, kebijakan ekonomi Islam diambil dari Al Quran dan Sunnah dan tidak disiapkan oleh orang-orang yang bekerja di bawah pengawasan langsung IMF. Oleh karena itu Syari’ah menetapkan orang-orang miskin dn kaya adalah tanggung jawab negara. Minyak, gas listrik dan sumber daya alam sebagai milik umum dan negara harus menyediakannya bagi masyarakat dengan harga pokok harganya. Karena jika SDA dikelola negara: listrik murah, minyak, gas dan bahan baku maka biaya produksi barang-barang ini akan berkurang, sehingga harga murah dan terjangkau.[]