Begini Tanggapan LBH Pelita Umat Terkait Pasal Penghinaan Presiden

Mediaumat.id – Menanggapi pro kontra pasal penghinaan terhadap presiden dalam RKUHP yang akan disahkan, Sekjen LBH Pelita Umat Panca P. Kurniawan S.H., M.Si menyampaikan pandangan hukumnya.

“Yang namanya kritik, suka bias. Artinya siapa saja bisa kena. Kenapa? Karena kata-kata penghinaan, penyerangan kehormatan itu bagaimana mendefinisikannya. Undang-undang pidana, kalau kita bicara teori hukum, itu disebut ultimum remidium. Artinya, tahap terakhir, sanksi terakhir,” tuturnya dalam acara Islamic Lawyers Forum: RKUHP Masalah atau Solusi Bagi Rakyat? melalui kanal YouTube PelitaUmatTV, Jumat (29/7/2022).

Menurutnya, tidak semua rakyat Indonesia mendapat kesempatan bersekolah atau mendapat pendidikan di tempat terbaik, guru terbaik, dosen terbaik serta fasilitas terbaik. Dengan demikian, menurutnya, taraf berpikir rakyat Indonesia berbeda-beda. Ia pun melanjutkan, seseorang akan menyampaikan kritik sesuai dengan taraf berpikirnya.

“Mungkin bagi kita, bahasanya vulgar, bahasanya kasar, tapi maksudnya mengkritik. Misalnya, kebijakan minyak goreng yang menurutnya tidak pantas, terus mengeluarkan kata-kata yang menurutnya hal biasa. Tapi ini dianggap sebagai penghinaan. Kenapa? Karena bisa jadi bagi sebagian kelompok dianggap menghina presiden,” jelasnya.

Padahal, menurut Panca, semua pihak harus menyadari kondisi rakyat Indonesia. Justru yang menarik untuk dikritik, menurutnya, tanggung jawab dari para pejabat dan penguasa untuk memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyatnya.

“Dalam RKUHP ini kan pejabat-pejabat bisa kena, diancam. Lembaga-lembaga juga bisa kena. Yang menjadi pertanyaan kemudian, bagaimana kalau presiden tidak bekerja dengan baik, pejabat tidak bekerja dengan baik, banyak yang kena korupsi, anggota dewan, gubernur, bupati, wali kota, menteri, kena korupsi, bagaimana bertanggung jawab kepada rakyat?” tanyanya.

Sementara pertanggungjawaban itu, menurutnya, hanya ada di dewan. Panca pun kembali mempertanyakan terkait kepuasan dan keadilan rakyat.

“Nah, ini kan perlu menjadi catatan. Kritikan tidak boleh langsung diancam pasal penghinaan. Tapi harus dipahami adanya ultimum remidium. Karena ini sebagai cara atau upaya terakhir untuk mengembalikan kondisi,” pungkasnya. [] Ikhty

Share artikel ini: