Mediaumat.id – Terkait dengan ditiadakannya Pilkada 2022 dan akan dilakukannya pilkada serentak tahun 2024 serta diperlukannya 270 penjabat (Pj) kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dalam kurun waktu 2022-2024, Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky memberikan tanggapannya.
“Rencana pilkada serentak tahun 2024 membawa konsekuensi diperlukannya penunjukan 270 Pj kepala daerah karena habisnya masa jabatan mereka di tahun 2022 dan 2023,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Jumat (21/1/2021).
Ia mengungkap, pada 2022, ada 101 kepala daerah, yang akan mengakhiri masa jabatan. Pada tahun 2023, ada 169 kepala daerah akan memasuki akhir masa jabatan. “Maka total diperlukan 270 Pj kepala daerah,” tegasnya.
Menurutnya, penunjukan Pj. kepala daerah yang terlalu lama akan mengganggu pelayanan pemerintahan dan percepatan pembangunan daerah. “Apalagi seorang Pj kepala daerah dia harus merangkap jabatannya itu. Selain jabatan Eselon 1 (dirjen, seksej, irjen, dll) ia juga harus melaksanakan tugasnya sebagai Pj gubernur. Demikian juga sebagai Pj wali kota dan Pj bupati, sang Penjabat itu tetap harus menjalankan tugasnya sebagai pejabat eselon II (selevel kepala dinas, kelapa biro, kepala badan, dll.),” bebernya.
“Dengan rangkap jabatan dalam waktu yang lama itu tentu akan mengurangi konsentrasinya dalam melayani pemerintahan dan percepatan pembangunan di daerah tersebut. Atau bisa jadi juga mengganggu konsentrasinya dalam menjalankan tugas rutinnya sebagai pejabat eselon I bagi Pj gubernur maupun pejabat eselon II bagi Pj wali kota atau Pj bupati,” tambahnya.
Selain itu, Wahyudi menilai, risiko lainnya adalah masuknya kepentingan politik dari partai dalam penunjukan Pj kepala daerah. “Jika itu terjadi maka partai penguasa seperti PDIP, Golkar, dll, tentu akan memanfaatkan dengan maksimal. Akibatnya Pj kepala daerah akan terbebani untuk melayani juga kepentingan partai politik. Apalagi menjelang pemilu, tentu intensitas kepentingan politik akan meningkat dan justru bisa lebih sibuk melayani kepentingan politik parpol daripada melayani kepentingan rakyat,” ujarnya.
Ia menyarankan, agar tidak terganggu konsentrasinya dalam menjalankan tugas rutin dalam jabatan eselon maupun tugas sebagai Pj kepala daerah, maka dapat dipertimbangkan agar penunjukan PJ Kepala daerah tidak boleh terlalu lama. “Bila ingin ditunjuk Pj dalam waktu yang lama maka dapat dipertimbangkan agar tidak merangkap jabatan,” tegasnya.
Selain itu, lanjutnya, bila ingin efisien dan tidak mengganggu kinerja pejabat eselon yang harus merangkap jabatan maka bisa dipertimbangkan agar kepala daerah yang ada saat ini diperpanjang saja masa jabatannya sampai waktu pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2024.
“Bila ingin lebih efisien lagi maka sebaiknya kepala daerah ditunjuk saja oleh presiden dengan mendapat usulan dari DPRD setempat. Penunjukan kepala daerah ini sudah dipraktikkan oleh Provinsi DKI, yakni para wali kota di DKI tidak dipilih melalui pesta demokrasi yang mahal namun cukup ditunjuk saja. Jadi sudah ada preseden maupun yurisprudensinya. Termasuk Gubernur DIY tidak dipilih melalui proses pesta demokrasi yang mahal dalam pilkada. Ini bisa menjadi pertimbangan tersendiri di masa depan karena ternyata kepala daerah yang ditunjuk juga daerahnya bisa jauh lebih baik pelayanan pemerintahan maupun pembangunannya,” jelasnya.
Wahyudi menilai, para politisi dan partai yang berkuasa akan memanfaatkan dengan maksimal kebijakan Penunjukan Pj kepala daerah ini. “Hal yang wajar pula jika mereka menolak kepala daerah ditunjuk atas dasar rekomendasi dari wakil rakyat (DPRD) dan tidak dipilih melalui pesta demokrasi yang mahal dalam pilkada,” katanya.
“Di balik penunjukan Pj kepala daerah yang begitu banyak dan waktu yang lama maka ada potensi besar dapat dimanfaatkan oleh partai besar yang sedang berkuasa untuk menunggangi dengan kepentingan politiknya,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it