Begini Cara Islam Memangkas Korupsi!

Mediaumat.news – Di tengah maraknya korupsi yang semakin menggurita di negara demokrasi, Ustaz Rokhmat S Labib mengulas tata cara Islam memangkas perbuatan nista tersebut.

“Dalam Islam ada sistem yang mencegah orang untuk melakukan korupsi,” bebernya dalam Diskusi Media Umat: di Balik Gurita Korupsi Negara Demokrasi, Kamis, (30/1/2020) di Aula DHN Gedung Joeang 45, Menteng, Jakarta Pusat.

Secara pribadi, orang dibangun akidahnya. “Agar dengan akidah itu dia meyakini setiap tindakan dirinya termasuk korupsi itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT dan pada saat yang sama sistemnya itu ada (ditegakkannya sistem pemerintahan Islam/khilafah),” ujarnya.

Menurutnya, sistem tersebut mencegah terjadinya korupsi. Sedangkan demokrasi justru mendorong para pejabat untuk korupsi.

“Dalam demokrasi, pemilu itu mulai dari presiden, gubernur, bupati sampai kades. Semua butuh uang. Semua itu mengharuskan orang untuk korupsi. DPR tidak jauh berbeda. Hukum dibuat oleh DPR, berarti sebenarnya Indonesia bukan negara hukum tetapi negara politik. Tetapi jangan salah para politisi ini bisa duduk di DPR maupun jadi pejabat karena dibiayai oleh para cukong atau pemodal. Jadi hakikatnya demokrasi itu adalah negara kapitalisme. Para kapitalis inilah yang sejatinya mengatur negara,” ungkapnya.

Pembuat Hukum Dipangkas

Dalam Islam, lanjut Labib, aspek-aspek seperti ini dipangkas semua. Yang pertama kali dipangkas oleh Islam adalah pembuatan hukum. Jadi tidak ada manusia pembuat hukum. Karena kalau manusia membuat hukum bisa diutak-atik. Suatu yang tadinya kejahatan bisa dikatakan bukan kejahatan, ya tinggal dilegalkan saja oleh DPR. Dia yang membuat aturan, jadi terserah dia.

Contoh misalnya pembuktian terbalik. Dalam sistem khilafah pembuktian terbalik adalah cara yang efektif untuk menjerat pejabat korup. Salah satu kisah yang populer terkait pembuktian terbalik adalah ketika Khalifah Umar bin Khaththab ra melakukan pembuktian terbalik kepada para gubernur.

Pembuktian terbalik itu sebenarnya sederhana. Kalau ada bupati, gubernur bahkan presiden, sebelum menjabat dia laporkan kekayaannya sekian. “Misal, kekayaannya saya 10 miliar. Setelah menjabat lima tahun laporan lagi. Kekayaan saya bertambah sekian miliar.”

Ya, tinggal dihitung saja tingkat kewajarannya. Dia dapat gaji berapa dan seterusnya. Kalau kelebihannya dia tidak bisa menunjukkannya dapat dari mana secara legal, maka itu disebut korupsi. Itu kan sederhana.

Tapi pasal pembuktian terbalik dalam RUU Tipikor tersebut ketika beberapa tahun lalu diusulkan, langsung ditolak DPR. Mengapa? Karena kalau itu disahkan berarti akan menangkap dirinya sendiri, akan menjerat dirinya sendiri. Mana mungkin dia membuat hukum yang akan menjerat dirinya sendiri. Maka dibuatlah hukum, meskipun bernama pemberantasan korupsi, yang sifatnya hanyalah pinggiran-pinggiran saja. Jadi tidak menyentuh substansinya.

“Ini menunjukkan bahwa yang bermasalah adalah sistemnya tadi!” tegasnya di hadapan sekira 250 peserta yang hadir.

Kalau dalam Islam, hukum dari Allah SWT. Tidak boleh diutak-atik. Wajib tunduk, taat. Dan ketaatan itu berhubungan dengan akhirat. “Kalau sudah berhubungan dengan akhirat itu insya Allah taat,” ungkapnya.

Hemat Biaya

Yang kedua, soal pemilu. Dalam Islam juga ada pemilu. Tapi pemilunya cukup sekali. Pemilu memilih seorang khalifah saja. Sedangkan jabatan gubernur, wali kota dan lainnya ditunjuk khalifah jadi tak perlu pemilu. Sehingga hanya butuh biaya untuk pemilu khalifah saja.

“Dan itu tidak menghabiskan dana besar. Karena pemilihan khalifah itu waktunya cuma tiga hari setelah khalifah sebelumnya wafat atau berhenti dan seterusnya. Jadi kalaupun ada waktu kampanye, cuman tiga hari,” kata Labib.

Itu pun tidak setiap lima tahun pemilu khalifah. “Begitu dia diangkat, sampai mati tidak ada pelanggaran terhadap syariat, ya tidak diganti-ganti. Berapa coba hematnya?” ungkapnya.

Dalam demokrasi, untuk mendapatkan seorang presiden yang sama, berapa triliun dihabiskan? Itu yang resmi. Belum yang tidak resmi. “Betapa borosnya!” tegasnya.

Tidak Diktator

Labib juga menjelaskan meski kekuasaan ada di satu tangan, khalifah tidak diktator. Karena diktator itu ditentukan oleh sistemnya, hukumnya itu. Khalifah pun walau dia kepala negara, dia tidak boleh melanggar syariah. Maka tidak akan terjadi diktatorisme. Karena diktator itu ada di kewenangan membuat hukum tadi, sedangkan khalifah tidak mempunyai kewenangan membuat hukum.

“Maka sebenarnya ketika Islam diterapkan, insya Allah, korupsi bisa dikurangi bahkan dimusnahkan sama sekali,” pungkasnya.

Dalam acara tersebut hadir pula pembicara lainnya yakni Mantan Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Muhammad Said Didu dan Ketua LBH Pelita Umat Ahmad Khozinudin.[] Abintoro/Joy

Share artikel ini: