Oleh: Abu Zaidan (Arroya Center)
Dalam kitab Mafahim Siyasiyah li Hizb at-Tahrir (2005) dijelaskan, demokrasi itu kufur bukan karena konsepnya bahwa rakyat menjadi sumber kekuasaan, melainkan karena konsepnya bahwa manusia berhak membuat hukum (kedaulatan di tangan rakyat). Kekufuran demokrasi dari segi konsep kedaulatan tersebut sangat jelas. Sebab, menurut ‘Aqidah Islam, yang berhak membuat hukum hanya Allah SWT, bukan manusia (QS al-An’am [6]: 57). Itulah titik kritis dalam demokrasi yang sungguh bertentangan secara frontal dengan Islam. Memberi hak kepada manusia untuk membuat hukum adalah suatu kekufuran (QS al-Ma’idah [5]: 44).
Abdul Qadim Zallum (1990: 4) menjelaskan adanya kontradiksi-kontradiksi lain antara demokrasi dan Islam, antara lain:
- Dari segi sumber: Demokrasi berasal dari manusia dan merupakan produk akal manusia. Sebaliknya, Islam berasal dari Allah SWT melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya Muhammad saw.
- Dari segi asas: Demokrasi asasnya adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Islam asasnya ‘Aqidah Islamiyah yang mewajibkan penerapan syariah Islam dalam segala bidang kehidupan (QS 2: 208).
- Dari segi standar pengambilan pendapat: Demokrasi menggunakan standar mayoritas. Dalam Islam, standar yang dipakai tergantung materi yang dibahas. Rinciannya: (1) jika materinya menyangkut status hukum syariah, standarnya adalah dalil syariah terkuat, bukan suara mayoritas; (2) jika materinya menyangkut aspek-aspek teknis dari suatu aktivitas, standarnya suara mayoritas; (3) jika materinya menyangkut aspek-aspek yang memerlukan keahlian, standarnya adalah pendapat yang paling tepat, bukan suara mayoritas.
- Dari segi ide kebebasan: Demokrasi menyerukan 4 jenis kebebasan (al-hurriyat). Kebebasan adalah tidak adanya keterikatan dengan apa pun pada saat melakukan aktivitas. Sebaliknya, Islam tidak mengakui kebebasan dalam pengertian Barat. Islam justru mewajibkan keterikatan manusia dengan syariah Islam.
Anggapan bahwa syura (musyawarah) sama dengan demokrasi telah masyhur didengar meski anggapan ini sesungguhnya tidak benar. Anggapan itu muncul karena kafir penjajah sukses menyembunyikan kebusukan demokrasi. Demokrasi dijadikan oleh kafir Barat sebagai salah satu penjajahan atas negeri-negeri kaum Muslim, selain itu juga digunakan untuk memalingkan Islam dari umatnya.
Menurut syariah, syura adalah mengambil pendapat (akhdh ar-ra’yi) (An-Nabhani 1994: 246). Jelasnya, syura adalah mencari pendapat dari orang yang diajak bermusyawarah (Zallum, 2002:216). Istilah lain syura adalah masyura atau at-tasyawwur.
Hukum syura adalah mandub/sunnah, bukan wajib. Hal ini sesuai dengan perintah Allah dalam QS Ali Imran [3]: 159. Pendapat itu sejalan dengan para ahli tafsir seperti Ibn Jarir ath-Thabari (Jami’ Al-Bayan, IV/153), Al-Alusi (Ruh al-Ma’ani, IV/106-107), Az-Zamakhsyari (Al-Kasysyaf, I/474), Imam al-Qurtubhi (Al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, IV/249-252) dan Ibnul ‘Arabi (Ahkam al-Qur’an, I/298). Syura adalah hak kaum Muslim semata. Pihak pemegang kewenangan seperti khalifah, ketika hendak meminta atau mengambil pendapat, ia hanya mengambilnya dari kaum Muslim. Tegasnya, syura adalah proses pengambilan pendapat yang khusus di kalangan internal sesama orang Islam. Tidak boleh dalam syura mengambil pendapat dari orang kafir meskipun boleh orang kafir menyampaikan pendapat kepada orang Islam dan boleh kaum Muslim mendengarkan pendapat dari orang kafir tersebut (An-Nabhani, 2001: 111). Kekhususan ini sebagaimana dalam QS Al-Imran [3]: 159.
Memang dalam demokrasi suara mayoritaslah yang menjadi penentu dalam setiap bidang permasalahan. Adapun dalam syura kriteria pendapat yang diambil bergantung pada permasalahan yang dimusyawarahkan. Rinciannya ada tiga. Pertama: dalam penentuan hukum syariah (at-tasyri’). Kriterianya tidak bergantung pada pendapat mayoritas atau minoritas, melainkan pada nash al-Quran dan as-Sunnah. Sebab yang menjadi Pembuat hukum (Musyarri’) hanyalah Allah SWT. bukan umat atau rakyat. Sebagai contoh, tidak perlu meminta pendapat kepada umat apakah khamr haram atau tidak walaupun di situ ada kemanfaatan dan pendapatan sebagaimana dalam sistem kapitalis-sekular. Jelas, Islam mengharamkannya.
Kedua: dalam masalah yang berhubungan dengan aspek-aspek profesi dan ide yang membutuhkan keahlian, pemikiran dan pertimbangan yang mendalam. Dalam hal ini, yang dijadikan kriteria adalah ketepatan dan kebenarannya, bukan berdasarkan suara mayoritas atau minoritas. Jadi, masalah yang ada harus dikembalikan pada para ahli yang berkompeten. Merekalah yang memahami permasalahan yang ada secara tepat. Masalah kemiliteran, misalnya, dikembalikan kepada pakar militer. Masalah fikih dikembalikan kepada para fukaha dan mujtahid. Dalil untuk ketentuan ini adalah peristiwa ketika Rasulullah saw. mengikuti pendapat Hubab bin Al-Mundzir pada Perang Badar—yang saat itu merupakan pakar dalam hal tempat-tempat strategis—yang mengusulkan kepada Nabi saw. agar meninggalkan tempat yang dipilih beliau sekiranya tempat itu bukan dari wahyu (Sirah Ibnu Hisyam, II/272).
Ketiga: masalah yang langsung menuju pada amal/tindakan (bersifat praktis), yang tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan mendalam. Dalam hal ini, yang menjadi patokan adalah suara mayoritas karena mayoritas orang dapat memahaminya dan dapat memberikan pendapatnya degan mudah menurut pertimbangan kemaslahatan yang ada. Sebagai contoh, apakah kita akan memilih si A atau si B (sebagai kepala negara atau ketua organisasi), apakah kita akan keluar kota atau tidak. Masalah seperti ini dapat dijangkau oleh setiap orang. Mereka dapat memberikan pendapatnya. Dalil untuk ketentuan ini ketika ada dua pendapat dari para sahabat dalam Perang Uhud. Nabi saw. mengikuti pendapat sahabat muda yang menyarankan untuk keluar dari Kota Madinah dan mengabaikan pendapat sahabat senior yang meminta tetap di Kota Madinah. dengan demikian, jelas bahwa syura berbeda dengan demokrasi.[]