Beda Percakapan Jokowi ke Zelensky dan Putin, Pengamat: Bukan Misi Perdamaian yang Dominan

Mediaumat.id – Topik percakapan yang berbeda saat Jokowi menemui Presiden Ukraina Volodymyr Zelenzky dan Presiden Rusia Vladimir Putin beberapa waktu lalu, membuktikan, misinya bukanlah perdamaian yang dominan.

“Terbukti bukan misi perdamaian yang dominan,” ujar Pengamat Politik Islam dan Militer Dr. Riyan M.Ag. kepada Mediaumat.id, Senin (4/7/2022).

“Tetapi lebih kepada kepentingan nasional Indonesia yang terkait dengan keamanan pasokan pangan (gandum) dari Ukraina dan permintaan jaminan keamanan Rusia untuk tidak memblokade Ukraina,” sambungnya menjelaskan.

Maknanya, meski lawatan itu diklaim sebagai bagian dari misi perdamaian oleh Jokowi, tetapi dari dua percakapan tersebut mencerminkan perbedaan kepentingan nasional dan pragmatis di kedua belah pihak.

Terlebih sikap pragmatis tersebut tampak ketika Jokowi menghargai Putin yang mengatakan bahwa Rusia menjamin keamanan pasokan makanan dan pupuk tidak hanya dari Rusia tetapi juga dari Ukraina.

Diberitakan, Jokowi melakukan kunjungan ke luar negeri, dan bertemu Zelensky di Kyiv, Ukraina pada Rabu (29/6), dan keesokannya bertemu Putin di Istana Kremlin, Moskwa, Rusia.

Tak hanya itu, lanjut Riyan, di mata David Engel, pengamat dari Australia, malah menyebut kunjungan itu sebagai upaya diplomasi mi instan (noodle diplomacy). “Mi instan berbahan tepung terigu, dan tepung terigu berasal dari biji gandum,” ucap Riyan.

Sebagaimana diketahui pula, Ukraina terkenal dengan julukan ‘Keranjang Roti Eropa’ karena berlimpahnya produksi gandum dan produk makanan lainnya. Bahkan menurut CIA World Factbook, Ukraina menghasilkan 25 persen dari semua hasil pertanian di negara bekas Uni Soviet tersebut.

Sementara dari data yang dirilis Euromonitor yang menyebut nilai penjualan ritel mi instan di seluruh dunia mencapai USD3,15 miliar pada 2020, meningkat 7,8 persen dari USD2,92 miliar pada 2019, konsumsi mi instan di Indonesia menempati urutan teratas global, yakni sebanyak 12,6 miliar porsi pada 2020.

Tetapi bila merujuk data World Instant Noodles Association (WINA), pada tahun 2020, Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara dengan konsumsi mi instan terbanyak di dunia.

Kendati demikian, Indonesia berada di bawah gabungan konsumsi Cina dan Hong Kong, yakni 46,35 miliar bungkus. Sedangkan Indonesia cetak konsumsi 12,64 miliar bungkus di tahun 2020.

Oleh karena itu, ia pun menduga kepentingan nasional Indonesia yang diklaim atas nama pangan tersebut sangat kuat nuansa kepentingan oligarki di bidang pangan dalam negeri.

“Indonesia adalah importir terbesar gandum Ukraina sebesar 25 persen di 2021. Padahal mayoritas penduduk negeri ini lebih mengonsumsi pangan nasi (beras),” terangnya, seraya mengatakan hal itu sebagai hal yang ironis.

Sebutlah Indofood Sukses Makmur Tbk, yang menjadi penguasa pasar di Indonesia. Dan secara global, perusahaan itu berada di rangking ke-7 sebagai produsen mi instan terbesar dunia.

Lantaran itu, meski menyatakan dukungan untuk kerja sama bilateral dengan Indonesia, dan tentunya ingin menarik Indonesia mendukung Rusia, bahkan menawarkan teknologi nuklirnya, sikap Negara Beruang Merah tersebut pun tersirat tidak peduli dengan klaim perdamaian Indonesia.

Apalagi secara konflik, faktanya Rusia lebih mendominasi dibanding Ukraina. Terbukti, setelah Jokowi pulang dari Moskow, Putin kembali membombardir Ukraina. “Ini adalah gambaran kepentingan nasional Rusia yang tidak ingin dicampuri oleh negara lain, termasuk Indonesia,” ujarnya.

Kepentingan Ideologis

Lantas menjawab mengapa Jokowi tak datang untuk membawa misi perdamaian, misalnya terkait penjajahan Israel atas Palestina, India kepada Khasmir, dan negeri-negeri Muslim lainnya yang menjadi korban kafir penjajah, lagi-lagi Riyan menegaskan, bahwa sikap tersebut dianggap urusan dalam negeri masing-masing dan negara lain tidak berhak mencampurinya.

Artinya, hal itu terjadi karena kepentingan nasional yang memang diutamakan. Bukan lagi didorong oleh kepentingan ideologis, dalam hal ini Islam.

Tengoklah bagaimana konflik di India berikut pembantaian Muslim Khasmir, Burma dengan pembantaian Muslim Rohingya, ataupun di Timur Tengah tepatnya di Suriah dan Palestina.

“Khusus Palestina, ironisnya Indonesia malah menawarkan solusi dua negara, two state solution, untuk Israel penjajah dan Palestina yang dijajah,” ungkapnya.

Oleh karena itu secara Indonesia, negeri dengan mayoritas Muslim, jelas Riyan, semestinya mengambil Islam sebagai asas politik luar negerinya. “Bukan bebas aktif atau non-blok,” katanya, sembari menyinggung istilah politik luar negeri dakwah dan jihad.

Maksudnya, selain misi kemanusiaan yang sejalan dengan politik dakwah, seperti ketika dahulu Khilafah Islam membantu rakyat Amerika, Prancis, dan Irlandia, serangan atas umat Islam di satu negeri, apalagi pelakunya kafir, akan menjadi objek pembelaan dan jihad fisabilillah bagi umat Islam di negeri Muslim lainnya.

“Sehingga masalah kaum Muslim di mana pun, akan masuk dalam kepedulian kita,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: