Mediaumat.news – Kabar Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto berencana membawa pulang teknologi kapal perang canggih jenis fregat tipe Arrowhead 140 dari Inggris yang disebut akan membuat Cina gemetar, dinilai hanya menjadikan Indonesia sebagai bidak kecil kepentingan Pakta Aukus (Australia, Inggris dan Amerika Serikat).
“Walhasil langkah ini sebenarnya tidak bisa dipandang sebagai upaya yang istimewa, selain hanya menjadikan Indonesia sebagai bidak kecil dari kepentingan Aukus,” ujar Direktur Institut Muslimah Negarawan (IMuNe) kepada Mediaumat.news, Senin (20/9/2021).
Fika mengatakan, ironis, jika hanya dengan kapal perang jenis fregat sebenarnya Cina tidak akan terlalu gemetar. Menurutnya, yang akan diperhitungkan Cina adalah kekuatan Inggris yang berada di belakang teknologi kapal ini, selain itu juga baru saja terbentuk aliansi militer trilateral antara 3 kekuatan Barat yakni Pakta Aukus, pada pertengahan September kemarin.
Fika memandang, konsekuensi Aukus ini yang sebenarnya lebih ditakuti Cina, yakni Australia akan memiliki kapal selam bertenaga nuklir. Kapal selam nuklir telah menjadi simbol dalam persaingan militer di dunia maritim karena kemampuan siluman dan kecepatannya.
“Saat ini hanya Amerika Serikat, Cina, Inggris, Prancis, Rusia, dan India yang sudah memiliki armada kapal selam nuklir. Dengan Pakta Aukus, Australia akan menjadi negara ketujuh yang membangun kapal selam bertenaga nuklir,” ucapnya.
Fika mengungkapkan, kapal perang jenis fregat jelas tidak bisa dibandingkan dengan teknologi kapal selam nuklir yang akan dimiliki Australia. Justru langkah Prabowo ini menurut Fika, hanya menegaskan merapatnya Indonesia ke aliansi Barat tersebut untuk menghadang Cina di Laut Cina Selatan.
Potensi Bahaya
Fika menyebut ada dua potensi bahaya dengan langkah Prabowo tersebut. Pertama, bahaya ideologis. Indonesia sebagai negeri Muslim justru merapat pada kekuatan penjajah yang dikenal prestasinya dalam menduduki tanah kaum Muslim.
Menurut Fika, dalam Islam, hubungan dengan negara muhariban fi’lan (yang memerangi secara perbuatan/militer) adalah hubungan perang. Karena itu, tidak boleh melakukan hubungan diplomatik dan perdamaian apa pun dengan negara itu sampai negara itu menghentikan pembunuhannya terhadap umat Islam. “Allah SWT dengan tegas telah melarang kaum Muslim mengambil musuh Allah dan musuh umat sebagai teman dekat,” tegasnya.
Kedua, bahaya di level politik dan militer, Indonesia ketika merapat pada salah satu negara Pakta Aukus, maka akan menjadi bidak dalam proyeksi strategis mereka dalam konfrontasi militer dengan Cina di Laut Cina Selatan. Sehingga Indonesia berada dalam posisi terjepit (sandwiched position) di antara dua kubu kekuatan raksasa yang siap tergencet dengan berbagai manuver militer mereka.
Fika menilai, posisi terjepit yang dimiliki Indonesia ini seharusnya membawa pada perenungan, bahwa negeri Muslim seharusnya tidak berpihak ke Barat maupun Timur, tidak merapat ke Cina apalagi mendekat ke negara Pakta Aukus.
Untuk membangun kekuatan maritim, Fika menyarankan agar menyelesaikan persoalan yang sangat mendasar, yakni soal menemukan jati diri bangsa dulu sebagai bangsa Muslim, sebelum berbicara pertahanan maritim.
“Kembalilah pada jati diri Islam dan terapkanlah visi politik yang berbasis risalah Islam dalam mengelola kekayaan maritim di Nusantara ini. Insya Allah diplomasi pertahanan maritim kita akan semakin punya gigi menghadapi kekuatan super power di Laut China Selatan,” pungkas Fika.[] Agung Sumartono