Mediaumat.id – Kehadiran Batavia sebagai pusat kolonialisme, menggantikan nama Jayakarta, yang sebelumnya ditaklukkan Belanda tahun 1619, langsung disadari sebagai duri dalam daging bila dikaitkan dengan keinginan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram.
“Kehadiran Batavia langsung disadari sebagai duri dalam daging bagi Sultan Mataram yang berkehendak menjadi penguasa tunggal di tanah Jawa, Sultan Agung Hanyokrokusumo,” beber Narator Ahkmad Adiasta di film dokumenter sejarah Islam Jejak Khilafah di Nusantara (JKDN 2) yang premier pada Rabu (20/10/2021).
Bahkan menurut Sejarawan Drs. Moeflich Hasbullah, M.A., munculnya kesadaran tersebut dikarenakan Mataram ketika itu merupakan kesultanan paling besar dan berpengaruh di Jawa. Malah, Mataram telah menunjukkan keinginan mengembangkan kekuasaannya dan berhasil menaklukkan kesultanan-kesultanan lain di Pulau Jawa dengan menyisakan Banten dan Cirebon.
Sehingga, dengan kehadiran VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pun, yang nantinya mendominasi monopoli perniagaan di seluruh Nusantara, tak mampu mengurungkan niat Sultan Agung melakukan serangan ke Batavia hingga dua kali berturut-turut pada Agustus 1628 dan Mei 1629.
Sekali lagi Moeflich menegaskan, serangan tersebut digencarkan karena kekuatan asing dan ekonomi yang dimiliki Batavia dengan VOC-nya dianggap berbahaya terkait dengan keinginan Mataram mengembangkan kekuasaan. Apalagi VOC telah menguasai perniagaan dari Batavia hingga Cirebon dan Banten yang kala itu memang belum ditaklukkan Mataram.
“(Namun) semuanya berujung kegagalan. Walau Gubernur Jenderal VOC di Batavia, Jan Pieterzoon Coen, berhasil tewas setelah pengepungan Mataram yang kedua,” sahut narator Adiasta.
Yang juga patut disayangkan, tambahnya, dari kegagalan upaya Mataram menaklukkan Batavia, mulai memunculkan persepsi bahwa Belanda tak terkalahkan. “Bagi Belanda, hal ini membuatnya makin congkak untuk melabrak kekuasaan sultan-sultan lain di Nusantara,” pungkasnya.[] Zainul Krian