Oleh: Ilham Efendy | Resist Invasion Center – RIC
Masih didera krisis, jutaan orang kelaparan di Sudan Selatan karena konflik dan hiperinflasi mendorong malnutrisi ke tingkat kritis yang dapat membuat banyak orang hidup dalam penuh risiko. Lebih dari 1,1 juta anak balita diperkirakan kekurangan gizi pada 2018, termasuk hampir 300 ribu pada risiko kematian yang meningkat, menurut laporan Klasifikasi Fase Keamanan Pangan terbaru (IPC).
Angka gizi buruk akut di hampir satu dari lima kabupaten di Sudan Selatan jauh di atas ambang batas darurat Organisasi Kesehatan Dunia sebesar 15 persen, kata IPC, yang anggotanya termasuk lembaga bantuan dan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) serta Program Pangan Dunia.
Realitas krisis Sudan hakikatnya adalah pertarungan pengaruh antara Eropa dan Amerika di kawasan itu. Contoh krisis Darfur dahulu, Masalah ini awalnya adalah pergolakan biasa antara tuan tanah dan petani penggarap. Hal itu telah berlangsung selama puluhan tahun. Masalah itu juga merupakan warisan imperialis. Dengan pandangan bahwa seandainya kekayaan Darfur dikelola dengan baik, maka tidak akan muncul masalah itu. Sebab, Darfur memiliki kekayaan, memiliki air, tanah, dan kekayaan lainnya yang mencukupi untuk membiayai seluruh Afrika dan bukan hanya Darfur saja. Akan tetapi, pengelolaan yang buruk oleh penguasa sejak masa penjajahan sampai sekarang menyebabkan terjadinya masalah dan perpecahan antara pemilik tanah dan penggarap. Masalah ini lalu dimanfaatkan oleh Barat.
Masalah Sudan Selatan dimanfaatkan oleh Amerika guna memuluskan rencana bagi berdirinya negara di Sudan Selatan. Sebagian putra Darfur merasa diperlakukan tidak adil; mereka merasa bahwa penduduk selatan telah mengambil bagian lebih dari yang seharusnya. Hal itu mendorong mereka untuk angkat senjata. Yang memprovokasi mereka untuk angkat senjata adalah Eropa. Semua dari kita tahu bagaimana Prancis, Inggris dan Jerman membesar-besarkan masalah Darfur di media massa. Lalu ketiganya mendukung pemberontak dengan men-suplay harta, senjata dan sebagainya. Amerika ingin memaksakan pakta antara Darfur (Sudan Utara) dan Sudan Selatan. Eropa tidak menyetujuinya, karena dengan begitu Sudan akan sepenuhnya berada di bawah pengaruh Amerika. Inggris pun merasa risau. Inggris menganggap Sudan merupakan kawasan yang dulunya berada di bawah pengaruh Inggris, karena Sudan dulu adalah jajahan Inggris. Di pihak lain, Prancis mengkhawatirkan pengaruh Amerika akan menyebar di seluruh Afrika.
Prancis memiliki pengaruh di wilayah barat Afrika, khususnya di Chad yang berbatasan dengan Darfur. Lalu masalah Darfur pun dikobarkan dengan jalan itu. Eropa ingin agar Amerika tidak tenang dengan apa yang dilakukannya terhadap Sudan Selatan. Eropa menjadikan problem Darfur sebagai masalah supaya jangan sampai Amerika menancapkan pengaruhnya di seluruh Sudan. Inilah yang terjadi di Darfur, yaitu pertarungan Amerika dengan Eropa. Semua yang terjadi, semua yang diberitakan di media massa merupakan hasil dari pertarungan ini. Pemerintah Sudan yang loyal kepada Amerika dan pemberontak yang loyal kepada Eropa, inilah yang menerapkan permusuhan itu. Yang dijadikan kayu bakar bagi pertarungan itu adalah penduduk Darfur.
Kita simpulkan, kemunduran dan kemiskinan di Afrika bukanlah masalah yang hakiki, melainkan sesuatu yang direkayasa. Baratlah yang merekayasa kemiskinan itu. Para penguasa kaum Muslimlah yang menjaganya. Mereka pula yang mengimplementasikan arahan-arahan Barat di negeri-negeri kaum Muslim. Afrika dan Timur Tengah sesungguhnya sarat dengan kekayaan alam. Penyebutan masalah kemiskinan sebenarnya merupakan masalah politik (yakni pengaturan berbagai urusan masyarakat) karena kekayaan mereka tidak dimiliki oleh umat. Seandainya umat benar-benar memiliki kekayaan itu maka tidak akan ada masalah kemiskinan di sana.
Masalah kemunduran dan kebodohan di Afrika direkayasa Barat, hingga dijadikan oleh mereka sebagai konveyor untuk mengalirkan kekayaan milik umat dan kekayaan alam mereka ke Barat. Umat harus mengetahui bahwa semua kekayaan mereka itu telah dirampas. Mereka harus mengetahui bahwa berbagai masalah yang menimpa mereka bukanlah takdir dari Allah Swt. Semua itu terjadi karena mereka diam terhadapnya. Umat yang ingin bangkit tidak mungkin rela dengan realitas mereka yang buruk itu. Sekarang kami melihat bahwa kebangkitan mulai menjalar di dalam tubuh umat.[]