Barat Sekuler Kebakaran Jenggot Setelah Kembalinya Hagia Sophia Sebagai Masjid

 Barat Sekuler Kebakaran Jenggot Setelah Kembalinya Hagia Sophia Sebagai Masjid

Presiden Recep Tayyip Erdogan mengeluarkan dekrit pada hari Jum’at yang memerintahkan Hagia Sophia dibuka untuk kaum Muslim agar mereka bisa mendirikan shalat di dalamnya. Tindakan Erdogan tak ayal lagi akan memicu kemarahan internasional seputar situs warisan dunia yang sama-sama dihargai oleh umat Kristen dan kaum Muslim karena kepentingan agamanya, serta strukturnya yang menakjubkan sebagai simbol dari penaklukan.

Dekret presiden itu dikeluarkan beberapa menit setelah pengadilan Turki mengumumkan bahwa mereka telah mencabut status Hagia Sophia sebagai museum, yang selama 80 tahun terakhir menjadikannya monumen kerukunan relatif, dan simbol sekularisme yang merupakan bagian dari fondasi negara Turki modern.

Hagia Sophia dibangun pada abad keenam sebagai katedral. Hagia Sophia berdiri sebagai contoh terbesar arsitektur Kristen Bizantium di dunia. Namun ia telah menjadi sumber persaingan Kristen-Muslim, setelah berdiri di pusat dunia Kristen selama hampir seribu tahun. Kemudian, setelah ditaklukkan oleh imperium Islam Utsmani, Hagia Shopia digunakan sebagai masjid.

Sungguh dekret seperti ini sudah sejak lama diusahakan oleh kaum Muslim konservatif di dalam dan di luar Turki. Akan tetapi menurut para penentangnya, bahwa dekret seperti ini hanya bermaksud untuk menggerakkan basis nasionalis dan agamanya, seiring dengan popularitasnya yang meningkat setelah 18 tahun di atas puncak politik Turki.

Hagia Sophia, yang terkenal karena kemegahan kubahnya yang besar dan ikonis, diubah menjadi masjid setelah Mehmed II sang Penakluk mendirikan shalat Jum’at pertama di sana pada tahun 1453, tiga hari setelah merebut kendali atas apa yang kemudian menjadi kota Konstantinopel.

Kemudian Hagia Shopia berubah menjadi museum pada tahun 1934, di bawah kekuasaan republik sekuler Turki modern, dan dinobatkan sebagai mahakarya salah satu situs warisan dunia di Istanbul. Hagia Shopia telah menjadi objek wisata yang paling menarik dan populer di Turki, sehingga mampu menarik 3,7 juta pengunjung tahun lalu (The New York Times, 10/7/2020).

**** **** ****

Dalam menggambarkan kembalinya Hagia Sophia ke masjid sebagai “suatu tindakan yang tak ayal lagi akan memicu kemarahan internasional”,  tentu maksud dari surat kabar New York Times ini adalah, bahwa hal itu akan memprovokasi kaum kafir Barat sekuler, yang telah terbiasa menganggap dirinya sebagai “komunitas internasional” yang memiliki hak untuk memutuskan semua urusan dunia.

Kaum kafir Barat sekuler menuduh agama diskriminatif dan menindas orang lain, sebaliknya menggambarkan diri mereka netral dan adil terhadap semua agama. Tentunya, ini sejalan dengan pemikiran sekuler, bahwa Hagia Sophia tidak perlu digunakan sebagai gereja atau masjid, tetapi sebaiknya diubah menjadi “museum”, sehingga umat Kristen dan kaum Muslim sama-sama dapat menerimannya, serta mencerminkan sikap netral di antara keduanya. Sedang sekularisme itu adalah cara hidup yang sebenarnya asing bagi umat Kristen dan kaum Muslim. Sebaliknya, dalam realita bahwa Islam telah menunjukkan dan mencapai perdamaian dan keharmonisan antar agama. Sehingga ia menjadi sebuah praktik yang mulai diadopsi bahkan di Eropa pada akhir era Kristen mereka, namun semua itu jauh sebelum sekularisme mengakar.

Islam telah menetapkan dasar untuk melindungi dan menjamin keamanan semua agama dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Allah subhānahu wa ta’āla berfirman: “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: ‘Tuhan kami hanyalah Allah’. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (TQS al-Hajj [22] : 39-40).

Diriwayatkan dari Urwah bin Zuber, bahwa ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallama mengirim surat kepada penduduk Yaman: “Sesungguhnya siapa saja yang masih tetap dengan agama Yahudinya, atau Nasrani (Kristen)-nya, maka ia tidak akan diganggu (dipaksa keluar) dari agamanya. Namun ia wajib membayar jizyah.” (Abu Ubaid al-Qasim, Kitāb al-Amwāl).

Dalil-dalil ini telah dijadikan sandaran oleh umat Islam tidak hanya sebagai pedoman akhlak (moral), tetapi sebagai teks (dalil) bagi konstitusi untuk secara praktis dipatuhi dan ditegakkan. Di mana karakter umum masyarakat Muslim adalah tidak adanya pententangan (konflik). Sebab, pada saat yang bersamaan komunitas non-Muslim sepenuhnya dibebaskan untuk mempraktikkan agama mereka sendiri. Sebaliknya, sekularisme mendorong semua agama ke dalam wilayah pribadi, dan menciptakan agama materialisme baru bagi publik, yang memandang kesuksesan sebagai upaya di balik kesenangan duniawi dan kemakmuran materi, yaitu suatu kemakmuran yang gagal mereka berikan pada mayoritas rakyatnya.

Barat memisahkan agama dari kehidupan. Sedangkan Islam menjadikan agama sebagai dasar kehidupan. Dengan menanamkan kehidupan publik dengan nilai-nilai akhlak (moral), kemanusiaan dan spiritual, di samping materi, Islam mengembangkan peradaban yang kaya dan canggih yang tidak hanya membangun perdamaian dan keharmonisan yang sebenarnya, tetapi juga memberikan keadilan dan kemakmuran bagi semua. Sehingga non-Muslim sepenuhnya menikmati buah-buah dari peradaban Islam. Bahkan di bawah naungan Islam, non-Muslim tetap bisa menjalankan agamanya yang justru jauh lebih baik daripada saat ini, di bawah sekularisme Barat, di mana gereja-gereja dan sinagoge ditutup, sehingga  semakin banyak jumlah mereka yang mengaku bahwa dirinya adalah “ateis” atau “agnostik”. Memang dalam kenyataannya, Barat sekuler ingin agar semua tempat ibadah menjadi seperti Hagia Sophia, yaitu sebagai museum yang hanya memiliki kepentingan sejarah tanpa hubungan praktis apa pun dengan kehidupan kontemporer.

Tanpa agama, keharmonisan masyarakat Barat terpecah-pecah, keluarga dan komunitas terpecah, bahkan semakin banyak individu-individu yang menjalani kehidupan dengan terisolasi. Hanya dengan tunduk pada agama saja, manusia dapat mengetahui kepuasan sejati. Dan di antara agama-agama saat ini, hanya Islam yang mencerminkan kebenaran, dan yang dapat melindungi semua umat manusia dengan benar dan tulus. Umat ​​Muslim tengah mengalami kebangkitan yang dramatis. Inilah yang ditanggapi Erdogan untuk ambisi politik pribadinya sendiri, tetapi kebangkitan ini akan bergerak jauh meninggalkan Erdogan. Dengan izin Allah, tidak lama lagi, dunia akan segera menyaksikan fajar peradaban baru yang dibangun oleh negara Khilafah Rasyidah ‘ala minhājin nubuwah, yang akan menyatukan semua negeri-negeri Islam, menerapkan Islam, dan mengemban cahayanya ke seluruh penjuru dunia. [Faiq Najah]

Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 15/7/2020.

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *