Mediaumat.news – Mengomentari anak perusahaan semen Cina PT Conch South Kalimantan Cement (CONCH), yang dihukum Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) karena terbukti telah menjual produk di bawah harga pasar dengan tujuan akhir untuk melakukan monopoli pasar, peneliti dari Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menengarai banyak produk Cina dijual secara predatory dumping.
“Apa yang dilakukan perusahaan Cina tersebut disebut predatory pricing. Untuk mematikan pesaing, mereka menekan harga di bawah biaya produksi sehingga konsumen meningggalkan pasar pesaing. Ketika pesaing tersingkir maka mereka akan menjadi penguasa pasar. Selain itu, ditengarai banyak produk-produk Cina yang dijual di negara ini dengan cara seperti itu, atau yang dikenal dengan istilah predatory dumping,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Senin (18/01/2021).
Terkait itu, Ishak mengingatkan pemerintah harus proaktif untuk melakukan penyelidikan setiap produsen yang dicurigai merusak pasar. “Semestinya negara proaktif untuk melakukan penyelidikan setiap produsen yang dicurigai merusak pasar,” bebernya.
Hanya saja menurut Ishak, tindakan regulator, seperti KPPU hanya menunggu bola atau laporan dari pelaku usaha yang merasa dicurangi. Tapi banyak juga yang kesulitan untuk menuntut, sebab tidak memiliki cukup informasi. Akibatnya banyak produsen domestik yang gulung tikar, dan merumahkan karyawan mereka.
Ishak menilai, semen merupakan salah satu komoditas tambang. Yang di dalam Islam seharusnya dikelola oleh negara, sebab merupakan milik publik. Barangnya terlebih dahulu harus diolah dan sangat dibutuhkan untuk melakukan pembangunan perumahan ataupun infrastruktur.
Ia menyatakan, banyak negara telah menuduh Cina melakukan dumping pada produk yang mereka ekspor. Salah satunya adalah India. Asosiasi perdagangan di India pernah melakukan survei dan menemukan bahwa dua pertiga UMKM mengalami kerugian, seperti industri makanan olahan, tekstil, material bangunan, sebab kalah bersaing dengan produk Cina yang harganya 10-70 persen lebih murah, dan sangat tidak masuk akal.
“Ini juga berpotensi terjadi di Indonesia jika pemerintah mau serius melakukan penelusuran, tapi masalahnya, pemerintah kurang serius untuk melindungi para produsen domestik. Jadilah kita semakin tergantung pada produk asing,” pungkasnya.[] Agung Sumartono