Oleh : Nindira Aryudhani, SPi, MSi (Koordinator LENTERA)
Kalimantan Selatan (Kalsel) diketahui menjadi salah satu provinsi di Indonesia yang jadi penyumbang produksi minyak sawit atau CPO yang cukup dominan di Indonesia. Data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat, produktivitas kebun kelapa sawit Kalsel mencapai 3,92 ton per hektare, atau berada di urutan kedua tertinggi di Indonesia setelah Kalimantan Tengah yang produktivitasnya berkisar di angka 4,09 ton per hektare (kompas.com, 19/01/2021).
Sementara itu berdasarkan luasannya, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2015, lahan sawit di Kalsel masih seluas 409.838 hektare. Kemudian pada 2017, seluas 423.414 hektare. Berikutnya, pada 2018 sudah mencapai 424.932 hektare. Dan pada 2020, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat lahan sawit di Kalsel mencapai 620.000 hektare. Luasan ini (620.000 hektare), setara dengan 17 persen dari luas wilayah Kalsel, yang itu berupa hak guna usaha perkebunan kelapa sawit berskala besar (kompas.com, 24/01/2021).
Terkait hal ini, Kepala Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh di LAPAN, Rokhis Khomarudin, juga menunjukkan data total area perkebunan di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito yang kini mencapai 650.000 hektare. Area perkebunan meluas “cukup signifikan”, yakni mencapai 219.000 hektare. Angka tersebut, jika dibandingkan dengan luasan hutan di sekitar DAS yang mencapai 4,5 juta hektare, maka perkebunan telah menghabiskan 12 hingga 14% dari keseluruhan area (kompas.com,19/01/2021).
Konglomerasi Sawit
Jumlah luasan lahan perkebunan sawit di Kalsel saat ini bisa jadi sudah jauh meningkat. Luasan lahan sawit di provinsi yang juga kaya batu bara itu memang terus melonjak dari tahun ke tahun.
Sebagian besar perkebunan sawit di Kalsel dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar swasta. Terdapat 5 korporasi penguasa perkebunan kelapa sawit terbesar di Kalsel (kompas.com, 19/01/2021), yakni :
- PT Agro Astra Lestari Tbk
PT Agro Astra Lestari Tbk merupakan anak perusahaan Grup Astra yang merupakan hasil merger dari beberapa perusahaan perkebunan. Dikutip dari laman resminya per Oktober 2020, perusahaan mencatatkan produksi sawit sebesar 3,81 juta ton dari seluruh kebun sawitnya di Indonesia. Masih di periode yang sama, perusahaan mencatatkan produksi CPO sebesar 1,17 juta ton.
- PT Smart Tbk
PT Smart Tbk merupakan bagian dari konglomerasi bisnis Grup Sinar Mas. Mengutip Laporan Tahunan 2019, secara keseluruhan, perusahaan memiliki perkebunan sawit seluas 138.000 hektare yang tersebar di berbagai daerah. Sebanyak 46 persen atau 63.832 hektare berada di Kalimantan.
Khusus di Kalsel, masih menurut Annual Report 2019, perusahaan memiliki fasilitas pabrik biodiesel yang mengolah minyak kelapa sawit di Tarjun, Kabupaten Kotabaru, Kalsel.
- PTPN XIII
PT Perkebunan Nusantara XIII atau biasa disebut PTPN XIII merupakan BUMN yang fokus pada lini bisnis perkebunan kelapa sawit. Di Kalimantan Selatan, PTPN XIII adalah salah satu pemain besar. Sebagai salah satu perusahaan sawit terbesar di Kalsel, PTPN XIII juga diketahui mengoperasikan beberapa pabrik pengolahan kelapa sawit.
- Golden Agri Resources
Selain lewat PT Smart Tbk, Grup Sinar Mas juga memiliki perkebunan dan pabrik kelapa sawit lewat kepemilikan saham di perusahaan lainnya yakni Golden Agri-Resources. Selain menjadi pemain besar dalam memproduksi minyak sawit, perusahaan ini juga dikenal sebagai salah satu penghasil minyak biodiesel terbesar di Indonesia. Di Kalsel, mengutip Annual Report 2019, Golden Agri Resources berencana memperluas kapasitas produksi biodiesel hingga 450.000 ton per tahun yang direncanakan bakal rampung di tahun 2021.
- Hasnur Group
PT Hasnur Citra Terpadu berdiri pada tahun 1992 berkedudukan di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dengan izin usaha perkebunan tahun 2013 seluas 11.900 hektare. Pada tahun 2013, perusahaan juga meresmikan pabrik crude palm oil (CPO) pertama di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan.
Kalsel dan Bencana yang “Direncanakan”
Mencermati hal ini, sungguh boleh dikata bahwa alih fungsi lahan di Kalsel tergolong ugal-ugalan. Padahal, sebagian besar wilayah Kalsel berada di DAS Barito. Yang jika hutan di kawasan tersebut digunduli, maka bisa dipastikan bahwa banjir adalah bencana yang tak bisa dihindari. Karena, saat curah hujan sedang tinggi , tentunya air hujan menyajikan debit air yang juga tinggi, sehingga membutuhkan tempat aliran yang lebih banyak dan luas.
Bayangkan akibat dari hutan yang sudah gundul itu. Jelaslah bahwa banjir ini bukan semata bencana alam biasa, melainkan bencana yang “direncanakan”.
Pasalnya, sudah lazim diketahui bahwa hutan Kalsel dan Kalimantan pada umumnya, adalah hutan gambut. Masalahnya, selama ini gambut dianggap sebagai lahan yang tidak berguna. Tak ayal, ini kemudian menyebabkan adanya upaya degradasi hutan dan lahan gambut, terutama dalam perubahan tata guna lahan untuk pertanian dan perkebunan.
Gambut yang dikeringkan dan dialihfungsikan, berdampak pada terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut. Yang tentu saja, hal ini berakibat pada kehidupan ekosistem gambut lainnya.
Perusakan terhadap gambut tropis di Indonesia dimulai sejak abad ke-20. Yang saat itu tahun 1920, lahan gambut dibuka pertama kalinya di Kecamatan Gambut, Kalimantan Selatan. Seiring dengan maraknya transmigrasi di periode Orde Baru, lahan gambut menjadi sasaran proyek lahan 1 juta hektar untuk mega rice project di Kalimantan Tengah.
Setelah berakhirnya masa kepemimpinan Orde Baru, fungsi lahan gambut marak diubah menjadi kebun sawit dan akasia. Di antara bulan Juni-September 2014, 4.000 hektar gambut hilang akibat banyaknya perizinan yang dikeluarkan untuk kebun kelapa sawit.
Dampak Buruk Penanaman Sawit
Dilematisnya, penanaman sawit ternyata mendatangkan efek samping terhadap lahan. Adanya perkebunan kelapa sawit, sebenarnya tidak begitu menguntungkan alias merugikan. Menurut data tahun 2015, berikut ini adalah 6 dampak buruk yang disebabkan adanya perkebunan kelapa sawit (liputan6.com, 08/10/2015).
- Kerusakan ekosistem hayati
Kelapa sawit bukan merupakan ekosistem hayati sebagaimana hutan. Hewan-hewan yang bisa hidup di perkebunan kelapa sawit pun rata-rata hanya hewan perusak tanaman, seperti babi, ular, dan tikus. Dibanding, kelapa sawit, hutan jauh lebih penting keberadaannya.
- Pembukaan lahan dengan cara dibakar
Meskipun sudah dilarang, faktanya pembukaan lahan seringkali dilakukan dengan cara tebang habis atau (land clearing). Seperti yang terjadi di Jambi sekarang ini, kabut asap yang menyelimuti kota, akibat pembakaran hutan untuk alih fungsi lahan kelapa sawit.
- Kerusakan unsur hara dan air dalam tanah
Peneliti lingkungan dari Universitas Riau, Ariful Amri Msc, pernah meneliti kerusakan tanah karena perkebunan kelapa sawit. Penelitian itu menyimpulkan bahwa, dalam satu hari satu batang pohon sawit bisa menyerap 12 liter unsur hara dan air dalam tanah.
- Munculnya hama migran baru yang sangat ganas
Hama migran ini, muncul karena ekosistem yang terganggu. Jenis hama baru ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. Ini disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi.
- Terjadinya konflik horizontal dan vertikal antarwarga
Medio 2014 silam, beberapa warga di Kalimantan bentrok dengan aparat lantaran tanah mereka akan dialihfungsikan menjadi perkebunan sawit. Selain itu ada pula konflik antarwarga yang menolak dan yang menerima masuknya perkebunan sawit.
- Bencana banjir dan kekeringan
Selanjutnya, praktek konversi hutan alam untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit seringkali menjadi penyebab utama bencana alam seperti banjir dan tanah longsor. Bahkan di musim kemarau tak ayal wilayah itu akan mengalami kekeringan, karena sifat dari pohon sawit yang menyerap banyak unsur hara dan air dalam tanah, hingga merusak kawasan resapan air.
Kembali Kepada Aturan Sang Pencipta
Demikian banyaknya dampak buruk dengan adanya kelapa sawit bagi Indonesia. Tapi, berhubung ada lingkaran oligarki dan konglomerasi di sektor perkebunan sawit, maka pemerintah tampaknya masih merasa tenang-tenang saja kendati begitu marak konversi hutan menjadi perkebunan sawit secara besar-besaran. Dan yang terjadi, malah saling lempar tanggung jawab birokrasi di antara kementerian terkait, perihal izin alih fungsi lahan yang terbongkar setelah terjadi banjir bandang di Kalsel ini.
Benarlah jika dikatakan bahwa banjir di Kalsel selain akibat deforestasi untuk dijadikan tambang batu bara, lokasi ini juga ibarat tumbal konglomerasi sawit. Tak heran, alam pun murka. Mereka dizalimi akibat aturan yang bukan berasal dari Yang Menciptakan mereka. Alam dikeruk menurut keserakahan manusia. Bahkan, bumi Allah di Kalsel itu bagai lenyap keberkahannya karena dijauhkan dari tata kelola menurut aturan-Nya.
Na’udzubillaahi min dzaalik.
Allah SWT berfirman : “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (TQS Al-A’raf [07]: 96).
Jika konversi hutan menjadi sawit ini tak digawangi konglomerasi, maka lahan akan dikelola oleh negara dan disesuaikan dengan kebutuhan. Agar tidak terjadi eksploitasi sampai besar-besaran bahkan overload seperti ini.
Karena itu, hendaklah kita perhitungkan sejak sekarang, akan separah apa dampaknya jika bumi ini kian digerogoti nafsu buas kapitalisme tanpa memperhatikan aspek ekologisnya? Pasalnya, selama ini suara kapitalisme untuk memperhatikan ekologi toh selalu kalah nyaring dengan kepentingan ekonomi. Hingga mengabaikan bahwa alam juga butuh diatur oleh aturan dari Allah SWT, agar keberkahan alam tersebut dapat menjadi rahmat bagi manusia.[]