Oleh: dr. M. Amin (Direktur Poverty Care)
Rentetan musibah bencana banjir melanda sejumlah wilayah di tanah air. Sampai hari ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan data terakhir korban jiwa yang meninggal dunia akibat banjir. Hingga pukul 09.00 WIB, total ada 43 orang meninggal dunia. Kapusdatinkom BNPB Agus Wibowo mengatakan jumlah tersebut bukan hanya korban banjir di Jabodetabek saja. Sebanyak 8 orang diantaranya merupakan korban banjir bandang yang terjadi di wilayah Lebak, Banten. Banjir juga melanda daerah di luar Pulau Jawa seperti di sejumlah daerah.
Catatan Awal Tahun
Musibah adalah bagian dari ketetapan (qadha’) Allah SWT., termasuk banjir. Ini harus diimani.
قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Katakanlah: ‘Sekali-kali tidak akan menimpa Kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah pelindung Kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (TQS. at-Tawbah [9]: 51).
Lebih dari itu, melalui bencana, Allah ingin menunjukkan kekuasaan-Nya kepada manusia. Dengannya Allah juga mengingatkan bahwa manusia itu lemah, akalnya terbatas dan membutuhkan bantuan Allah. Sehingga tidak sepantasnya sombong di hadapan kekuasaan Allah, atau menyangka telah sanggup menguasai dan mengatur dunia seraya meninggalkan petunjuk dari Allah yang Maha Bijaksana.
Ikhtiar Manusia
Meski musibah merupakan qadha’ Allah, namun proses terjadinya bencana dan besarnya dampak bencana banyak dipengaruhi atau akibat ulah manusia.
Banjir terjadi ketika neraca air permukaan positif. Neraca air ditentukan empat faktor: curah hujan; air limpahan dari wilayah sekitar; air yang diserap tanah dan ditampung oleh penampung air; dan air yang dapat dibuang atau dilimpahkan keluar. Dari semua itu, hanya curah hujan yang tidak bisa kendalikan oleh manusia.
Jumlah air yang terserap tanah tergantung jenis tanah dan keberadaan tumbuhan di atasnya. Limpahan air dari wilayah sekitar sangat dipengaruhi oleh jumlah air yang terserap tanah wilayah sekitar itu. Makin banyak vegetasi, makin tinggi daya serapnya. Makin luas wilayah resapan dan terbuka hijau, dan makin banyak wilayah penampung air, akan makin besar jumlah air yang tertampung dan terserap tanah. Penggundulan hutan, pengeringan dan penimbunan rawa dan situ atau mengubah fungsinya secara drastis, dan makin luasnya permukaan tanah yang tertutup bangunan dan aspal, semua itu akan memicu bencana banjir. Itulah yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya.
Pembangunan selama ini dilakukan serampangan, mengabaikan kelestarian lingkungan dan tidak harmonis dengan alam. Semakin banyaknya daerah resapan air yang hilang.
Kerusakan ini menunjukkan buruknya ri’ayah atau pengelolaan urusan masyarakat oleh negara. Negara lebih mengedepankan unsur bisnis ketimbang melayani hajat rakyat. Sudah lazim diketahui bahwa pemerintah daerah maupun pusat kerap tunduk pada kepentingan para pengusaha kuat. Termasuk mengalihfungsikan lahan yang semestinya menjadi kawasan resapan air dan pencegah longsor menjadi kawasan bisnis atau pertambangan.
Buruknya Ri’ayah
Di sisi lain tidak bisa dipungkiri, banyak warga berperilaku buruk, seperti kebiasaan membuang sampah di sungai atau membangun pemukiman di bantaran kali, yang kebanyakan dilakukan oleh rakyat kecil. Namun harus diingat, itu hanya sebagian dari faktor penyebab banjir. Ada faktor lain, yang mungkin lebih besar, yaitu faktor kerakusan pemilik modal dan orang kaya serta pejabat. Penimbunan situ; hilangnya daerah resapan oleh pembangunan mall, gedung, pemukiman; pembangunan vila sembarangan, penambangan, dsb, hanyalah sebagian kecil dari wujud kerakusan itu.
Semua itu, bisa terjadi juga diakibatkan kelalaian penguasa dalam menegakkan aturan dan melayani kepentingan masyarakat, dan buruknya ri’ayah atau pengaturan masyarakat. Itu bisa jadi merupakan faktor paling signifikan terjadinya bencana banjir, banjir bandang dan tanah longsor, dan lainnya.
Semua itu masih diperparah dengan buruknya ri’ayah dalam menangani dan mengatasi bencana.
Banjir, banjir bandang dan tanah longsor sebenarnya bisa dicegah. Potensi bencana yang mengancam bisa dikurangi. Namun data bencana yang ada belum dimanfaatkan optimal. Peta kerawanan bencana, data curah hujan, peringatan pergerakan tanah, peringatan cuaca ekstrem, dan pengalaman bencana sebelumnya tidak dijadikan pembelajaran untuk mengantisipasi bencana. Saat bencana melanda, politisi dan penguasa mencari kambing hitam, menyalahkan penguasa sebelumnya, bahkan menyalahkan hujan, lempar tanggung jawab dan manajemen penanganan bencana tidak terpadu. Kepemimpinan pun tidak tampak dalam mengantisipasi, menangani dan mengatasi bencana. Lemahnya koordinasi antar lembaga dan antar daerah menjadi bukti. Pemerintahlah yang bisa memobilisasi, mengkoordinasi dan memenej semua sumberdaya termasuk swasta dan masyarakat untuk mencegah, mengantisipasi, menangani dan mengatasi bencana, sayangnya hal itu belum terlihat. Masyarakat yang jadi korban bencana harus menjadi korban lagi atas lemah dan tidak efektifnya penanganan bencana.
Saat bencana usai, masyarakat dan pemerintah khususnya, mengalami amnesia bencana; lupa melakukan perbaikan, tidak bertindak sigap dan cepat meluruskan yang salah, gagap melakukan apa yang semestinya dilakukan dan terus mengulangi kesalahan-kesalahan sebelumnya.[]