Mediaumat.id – Menjawab seputar kemampuan Indonesia membangun negeri ini tanpa utang, Pakar Ekonomi Syariah Dr. Arim Nasim menegaskan bisa.
“Bisa, asalkan sumber daya alam yang masuk kategori umum seperti tambang batu bara, nikel, emas dan perak, dikelola oleh negara sebagai wakil umat,” paparnya kepada Mediaumat.id, Jumat (6/10/2023).
Dengan kata lain, tidak diserahkan kepada swasta baik lokal apalagi asing. Sebab, menurutnya, dari jumlah hasil pertambangan nikel dan batu bara saja misalnya, pendapatan negeri ini bisa mencapai Rp9.000 triliun.
Tetapi dengan catatan, terkait pengelolaannya, kembali Arim menekankan, harta milik umum termasuk pertambangan, wajib dikelola oleh negara berikut penerapan sistem ekonomi Islam secara kaffah yang tak mungkin terwujud kecuali di bawah naungan khilafah.
“Sistem ekonomi Islam bisa diterapkan secara kaffah membutuhkan penerapan sistem politik Islam yang disebut khilafah,” tandasnya.
Merespons Luhut
Hal ini Arim paparkan untuk merespons pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah utang terkecil di dunia.
“Kalau anda lihat utang kita salah satu negara terkecil utangnya di dunia, ini bukan menurut kita tapi sumbernya dari Bloomberg Source,” kata Luhut dalam acara tahunan IdeaFest di JCC Senayan (1/10).
Tetapi untuk diketahui sebelumnya, angka rasio utang yang muncul selalu dikaitkan dengan pendapatan domestik bruto (PDB). Tak ayal muncul angka rasio utang Indonesia sebagaimana pernyataan Luhut, termasuk terkecil di dunia.
Kalau memang demikian, sanggah Arim, sebenarnya masih ada negara dengan rasio utang di bawah Indonesia. Di antaranya Arab Saudi dan Rusia. Sehingga Luhut disebutnya telah melakukan kebohongan.
“Bohong, ada yang masih lebih rendah dari Indonesia yaitu Arab Saudi 24,5 persen dan Rusia sekitar 16 persen (dari PDB),” ungkap Arim.
Karenanya, yang lebih tepat untuk menggambarkan kemampuan negara dalam membayar utang adalah mengaitkannya dengan pendapatan negara baik dari pajak maupun sumber daya alam (SDA), bukan PDB.
Pasalnya, PDB menggambarkan pendapatan negara dan juga swasta. Sehingga mengaitkan indikator kesehatan utang suatu negara dengan PDB, tidaklah tepat.
“PDB tidak menggambarkan pendapatan negara saja, PDB merupakan pendapatan domestik suatu negara yang terdiri dari pendapatan negara dan pendapatan swasta baik lokal maupun asing,” jelasnya.
Alat Penjajahan
“Utang secara ekonomi sebagai alat penjajah ekonomi,” tandasnya.
Artinya, utang sangatlah berbahaya. Melalui utang, negara bakal dipaksa membuat kebijakan yang pro kepada para kapitalis.
Sebutlah dengan instrumen undang-undang seperti omnibus law, para investor kapitalis memperoleh karpet merah untuk menjarah SDA milik rakyat, bahkan dengan harga yang murah.
Pun rakyat bisa digusur dengan paksa di bawah tekanan kepentingan para kapitalis asing. “Utang juga membebani APBN yang akhirnya negara yang banyak utang harus menghilangkan subsidi,” imbuhnya.
Di sisi lain, sebut Arim, rakyat bakalan ‘dipalak’ dengan berbagai pungutan pajak dari berbagai macam objek pajak.
Lebih jauh, apabila utang dimaksud terdapat unsur riba, para pihak yang berada di dalamnya terancam dengan azab yang sangat pedih. “Di akhirat, penguasa yang mengambil utang yang diharamkan karena ada bunga atau riba diancam dengan ancaman yang sangat pedih,” pungkasnya.[] Zainul Krian