Bambang Widjojanto: KPK Dipecundangi Secara Sempurna

 Bambang Widjojanto: KPK Dipecundangi Secara Sempurna

Mediaumat.news – Karena telah Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Bupati Sidoarjo dan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) di awal tahun 2020, penyelidik dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai nyaris mencetak hattrick.

“KPK nyaris mencetak hattrick, sayangnya, sedari awal, komisioner KPK menolak menangani kasus Jiwasraya yang dikualifikasi sebagai skandal mega korupsi yang triliunan rupiah,” ujar mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto kepada Mediaumat.news, Sabtu (18/1/2020).

Padahal, lanjut Bambang, bau amis dan anyir kasus korupsi Jiwasraya ini, disinyalir merasuk hingga ke istana hingga potensial mencengkram kehormatan Presiden Jokowi, karena diduga, bukan tak mungkin, berkelindan dengan proses demokrasi yang baru saja usai.

Selain itu, “keberhasilan” OTT tak sepenuhnya dipuji. Dewan Pengawas justru dituding, penindakan korupsi semakin berbelit karena harus menunggu izin Dewan Pengawas atau Dewas sehingga KPK dianggap terbukti mengalami kegagalan dalam melakukan penggeledahan di kantor DPP PDIP pada Kamis, 9 Januari 2020.

“Akibatnya fatal, pengumpulan barang bukti tidak bisa terlaksana dan orang-orang ‘penting’ yang potensial menjadi pesakitan karena dapat dituduh dan sangat mungkin menjadi master mind atau intellectual dader justru terlindungi; atau bahkan memang sedang dilindungi secara sengaja dan sistematis,” tudingnya.

Bambang mengiyakan pernyataan ICW yang menilai kegagalan penyidik KPK menggeledah kantor DPP PDIP merupakan salah satu dampak negatif Revisi UU KPK.

Bahkan menurut Bambang, bukan hanya KPK gagal tapi KPK telah dipecundangi secara “sempurna” karena tak sanggup menegakkan kehormatannya dihadapan sekuriti kantor partai saja. Bahkan, diduga, penyidik KPK dihina secara “telanjang” karena harus diperiksa urin pada waktu hendak melakukan penindakan yang berkaitan dengan OTT di tempat lainnya.

Anehnya, semua tindakan yang bisa dikualifikasi sebagai “obstruction of justice” karena menghalangi tindakan penyidik KPK, tapi justru tak pernah secara terbuka mendapat pembelaan secara paripurna dari pimpinan KPK dan Dewan Pengawas KPK.

“Tak ayal, penyidik KPK seolah bertarung sendiri menegakkan kehormatan pro-yustianya tanpa dukungan yang nyata dari komisioner dan Dewas KPK,” bebernya.

Ia pun mempertanyakan apakah ini terjadi karena pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi yang potensial disebut sebagai master mind adalah bagian dari the ruling party sehingga pimpinan KPK dan Dewas menjadi mendadak gugup dan gagap?

Belum lagi ada problem fundamental, apakah Komisioner dan Dewas KPK yang bukan penegak hukum itu punya otoritas yang sah untuk memberikan rekomendasi kepada penyidik KPK yang mempunyai otoritas melakukan tindakan pro-yustisia. “Lalu, siapa yang mengawasi pekerjaan Dewas?” tanya Bambang retoris.

Bambang juga menyebut, ada logika yang sekarang sedang dipertanyakan akal sehat publik, apakah karena Komisoner dan Dewas KPK adalah produk dari Revisi UU KPK, salah satunya, dimotori oleh PDIP sehingga hal itu yang menyebabkan Komisioner dan Dewas KPK tidak “membela” penyidik KPK dan membiarkan “obstruction of justice” mencoreng kehormatan lembaga KPK? [] Joko Prasetyo

 

 

 

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *