Oleh: Dede Wahyudin (Tabayyun Center)
Dalam Islam, negara memiliki kewajiban menanggung nafkah atas Baitul Mal jika tidak ada orang yang wajib menanggung nafkah mereka. Rasulullah SAW bersabda :
« اَلْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
“Seorang imam (khalifah) adalah bagaikan penggembala dan ia bertanggungjawab atas gembalaannya (rakyatnya).”
«مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِوَرَثَتِهِ وَمَنْ تَرَكَ كَلاًّ فَإِلَيْنَا»
“Siapa saja yang mati meninggalkan harta maka untuk ahli warisnya, dan siapa saja yang mati meninggalkan orang yang tak punya ayah atau anak, maka tanggungjawabnya kepada kami.”
« وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَلْيَرِثُهُ عَصَبَتُهُ مَنْ كَانُوْا، وَمَنْ تَرَكَ دَيْناً أَوْ ضِيَاعاً فَلْيَأْتِنِيْ فَأَنَا مَوْلاَهُ »
“Siapa saja yang mati meninggalkan harta maka ashabahnya yang akan mewarisinya siapa pun mereka. Siapa saja yang mati meninggalkan utang atau orang yang terlantar maka silahkan datang kepadaku dan aku penanggungjawab atasnya.”
Dengan semua ini, Islam telah memberikan jaminan kepada tiap individu secara per individu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang harus terpenuhi bagi manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Yaitu kebutuhan pangan, papan dan sandang. Kemudian Islam mendorong individu itu untuk menikmati berbagai rezeki yang baik dan mengambil perhiasan kehidupan dunia menurut kemampuannya. Allah SWT berfirman:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?” (QS. al-A’raf [7]: 32).
Allah SWT juga berfirman :
وَكُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلَالًا طَيِّبًا
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezkikan kepadamu.” (QS. al-Ma’idah [5]: 88)
Ayat ini dan ayat-ayat semisalnya menunjukkan secara jelas bahwa hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan ekonomi ditujukan untuk memperoleh harta dan menikmati rezki yang baik sesuai hukum-hukum syara’. Jadi Islam mendorong individu untuk bekerja dan menyuruhnya untuk menikmati kekayaan yang mereka peroleh itu. Hal itu untuk merealisasikan kemajuan ekonomi di negeri tersebut dan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok bagi tiap-tiap individu serta memberi peluang individu itu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pelengkapnya.
Karena memperhatikan bagaimana seorang muslim memperoleh harta, kita dapati Islam mensyariatkan hukum-hukum yang berkaitan dengan cara penguasaan harta, dengan tidak memperumit cara yang digunakan manusia untuk mendapatkan harta itu. Islam menetapkannya dengan sangat sederhana, yakni dengan membatasi sebab-sebab kepemilikan dan membatasi akad-akad dalam pertukaran kepemilikan. Islam membiarkan manusia untuk berkreasi dalam hal cara dan sarana yang digunakan untuk memperoleh harta. Yaitu ketika Islam tidak ikut campur dalam teknik produksi harta. Dengan demikian akan tersedia bagi tiap-tiap individu apa yang bisa memuaskan kebutuhan-kebutuhannya yang menuntut pemuasan. Islam tidak mencukupkan diri hanya dengan mendorong idividu saja. Islam juga tidak hanya menjadikan pemuasan itu terbatas pada usaha individu saja. Tetapi Islam telah menjadikan Baitul Mal sebagai milik seluruh rakyat dan hartanya dapat dibelanjakan bagi mereka. Islam menetapkan tanggungjawab nafkah orang yang tidak mampu sebagai kewajiban bagi negara. Islam juga menetapkan penyediaan kebutuhan-kebutuhan umat sebagai bagian dari kewajiban negara. Hal itu karena negara memiliki kewajiban melakukan pemeliharan urusan rakyat (ri’ayah) yang menjadi hak umat. Imam Bukhari meriwayatkan dari Ibn Umar RA, ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda :
« اَلْإِمَامُ الَّذِيْ عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ »
“Seorang imam yang berkuasa atas masyarakat bagaikan penggembala dan dia bertanggung jawab atas gembalaannya (rakyatnya).”
« مَنْ وَلاَّهُ اللهُ شَيْئاً مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِيْنَ فَاِحْتَجَبَ دُوْنَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ اِحْتَجَبَ اللهُ عَنْهُ دُوْنَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وفَقْرِهِ »
“Siapa saja yang dijadikan Allah mengurusi suatu urusan kaum muslimin lalu ia tidak peduli akan kebutuhan, keperluan, dan kemiskinan mereka, maka Allah tidak peduli akan kebutuhan, keperluan, dan kemiskinannya.”
Pesan Imam Ali bin Abi Thalib kepada Malik bin al-Harits al-Asytar ketika beliau mengangkatnya menjadi wali (gubernur) di Mesir, dapat dianggap sebagai contoh peran negara. Ketika itu Imam Ali meminta Malik untuk memungut kharaj (pajak tanah) di Mesir, berjihad melawan musuhnya, memperbaiki kondisi penduduknya, dan memakmurkan negerinya. Imam Ali berpesan begini,”Hendaknya perhatianmu untuk memakmurkan negeri lebih besar dari pada perhatianmu untuk memungut kharaj. Siapa saja yang memungut kharaj tanpa memakmurkan, berarti dia telah membinasakan negeri itu dan memiskinkan masyarakatnya. Kedudukanya tidak akan berlangsung kecuali hanya sekejap saja.”
Di atas semua itu, Islam telah mendorong umat untuk bekerja sama di antara mereka dalam kebajikan dan ketakwaan. Allah SWT berfirman :
وَالَّذِينَ فِي أَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَعْلُومٌ، لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُوم
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian.” (QS. adz-Dzariyat [51]: 19).
Sedangkan dalam as-Sunnah, Rasulullah SAW telah bersabda :
«أَيُّمَا أَهْلُ عَرْصَةٍ أَصْبَحَ فِيْهِمْ اِمْرُؤٌ جَائِعٌ فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُمْ ذِمَّةُ اللهِ وَرَسُوْلِهِ»
“Siapapun penduduk negeri yang bangun pagi sementara di tengah mereka terdapat orang yang kelaparan maka jaminan Allah dan Rasul-Nya telah terlepas dari mereka.”
Rasulullah SAW juga telah bersabda :
« لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِيْ يَبِيْتُ وَجَارُهُ إِلَى جَنْبِهِ جَائِعٌ»
“Bukan orang yang beriman, orang yang tidur sementara tetangganya kelaparan.”
Rasulullah SAW telah memuji aktivitas sekelompok dari kaum muslim yang saling berbagi apa yang mereka miliki pada kondisi kekurangan bahan pangan. Rasulullah SAW bersabda :
« إِنَّ الْأَشْعَرِيِيْنَ إِذَا أَرْمَلُوْا فِيْ الْغَزْوِ، أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِيْنَةِ جَمَعُوْا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِيْ ثَوْبٍ وَاحِدٍ ثُمَّ اِقْتَسَمُوْهُ بَيْنَهُمْ فِيْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّة، فَهُمْ مِنِّيْ وَأَنَا مِنْهُمْ »
“Sesungguhnya orang-orang golongan Asy’ari jika mereka kehabisan bekal di peperangan atau makanan keluarga mereka menipis di Madinah, mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki di satu baju, kemudian mereka berbagi di antara mereka di dalam satu wadah secara sama. Maka mereka adalah bagian dariku dan aku adalah bagian dari mereka.”[]