Bahas Cinta dan Kagum kepada Nabi, UIY Paparkan Pentingnya Ittiba’

 Bahas Cinta dan Kagum kepada Nabi, UIY Paparkan Pentingnya Ittiba’

Mediaumat.info – Kembali membahas tentang cinta dan kagum kepada Nabi Muhammad SAW, Cendekiawan Muslim Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) mengatakan penting bagi Muslim memegang kata kunci ittiba’.

“Kalau kita bicara tentang cinta kepada Nabi, itu ya ittiba’ itu,” ujarnya dalam Dialog Maulid: Meneladani Nabi SAW dan Kepemimpinan Nabi SAW, sekaligus Launching Buku Khilafah Memahami Sistem Politik & Pemerintahan Islam, Jumat (27/10/2024) di kanal YouTube One Ummah TV.

Menurutnya, ittiba’ yang berarti berupaya mengikuti ajaran, perkataan, dan tindakan Rasulullah Muhammad SAW dalam kehidupan sehari-hari, termasuk ciri paling utama cinta kepada Nabi SAW.

Perkara ini ia sandarkan pada QS Ali Imran: 31, yang artinya: “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Mengutip pernyataan Imam Ibnu Katsir, kata UIY menerangkan, orang yang mengaku cinta kepada Allah, tetapi tidak ittiba’ kepada Nabi dengan ittiba’ yang benar (haqqul ittiba’), dengan kata lain tidak mengikuti perintah dan larangan-Nya, maka orang itu disebut sebagai al-kadzib atau pendusta.

Karenanya, seorang Muslim yang mengaku betul-betul ittiba’, cara berpikirnya pun harus mengikuti ajaran yang telah disampaikan oleh Nabi SAW.

Tetapi, alih-alih demikian, justru masih sangat banyak di tengah masyarakat yang berpikir sekuler. Sehingga terhadap peninggalan atau warisan Nabi SAW seputar kepemimpinan dan sistemnya, terkesan tak memiliki harga di hadapan seorang Muslim.

Tengoklah betapa Semaun yang merupakan ketua umum pertama Partai Komunis Indonesia (PKI), sebelumnya adalah anggota Sarekat Islam (SI). “Dalam sejarahnya, kalau kita perhatikan Aidit kemudian Musso dan lain-lainnya itu Muslim juga semuanya. Tapi cara berpikirnya bahkan ideologinya bukan Islam,” tambah UIY.

Padahal, sangat penting bagi seorang Muslim untuk memandang, menempatkan, terlebih bersikap untuk kemudian mencurahkan rasa cinta dan kekaguman terhadap Nabi SAW, melebihi kepada makhluk yang lain, dengan haqqul ittiba’. “Ini soal cinta (kepada Nabi) ini sekali lagi ini penting sekali,” tandasnya.

Paling Berpengaruh

Adalah Michael H. Hart (28 April 1932) seorang astrofisikawan Yahudi-Amerika, separatis kulit putih, dan seorang pengarang yang dikenal menulis buku The 100: A Ranking of the Most Influential Persons in History (100 Tokoh Paling Berpengaruh: Dalam Sejarah), menempatkan nama Muhammad SAW di nomor satu.

Di dalam buku yang diterbitkan pertama kali tahun 1978 ini, Michael H. Hart mengaku, secara objektif melakukan itu setelah melalui riset selama 18 tahun.

“Kata dia, subjektivitas saya sebagai seorang Nasrani ingin meletakkan Yesus itu nomor satu. Tetapi objektivitas saya mengatakan Nabi Muhammad nomor satu,” kutip UIY.

Ditambahkan, dasar pertimbangan bagi Michael H. Hart yang lantas tak ragu menempatkan nama Muhammad, bukan Yesus, di nomor satu, di antaranya adalah selain menikah dan memimpin keluarga, Nabi Muhammad juga memimpin sebuah negara hingga peperangan.

“Nabi Muhammad bahkan memimpin sebuah masyarakat, memimpin sebuah negara, mengatur masyarakat, menyelesaikan berbagai persoalan masyarakat, bahkan juga memimpin perang, Yesus tidak,” kata UIY, masih dari buku fenomenal tersebut.

Buku Khilafah

Makanya, merespons sikap rezim yang salah satunya tega menggusur warisan Nabi yang termaktub di mata pelajaran fikih madrasah aliyah kelas 12 berkenaan dengan sistem pemerintahan Islam Khilafah, dimunculkanlah sebuah buku berjudul Khilafah: Memahami Sistem Politik & Pemerintahan Islam.

Kata UIY, langkah ini ditempuh untuk menata kembali pengetahuan masyarakat terutama terkait kepemimpinan dan sistem warisan Rasulullah SAW. “Kalau itu tidak ditata, maka sehebat apa pun kita bicara tentang sistem dan kepemimpinan, dia tidak akan pernah bisa sebagaimana impresi atau kesan yang diungkapkan oleh Michael H. Hart,” lugasnya.

Artinya, kalau tidak memiliki kekaguman kepada Nabi SAW maka seorang Muslim akan kalah dengan Michael H. Hart yang notabene Kristen keturunan Yahudi. Lalu kalau pun kagum saja, tanpa haqqul ittiba’, maka derajatnya akan sama dengan orang kafir tersebut.

“Kalau hanya kagum saja, lalu kita tidak ittiba’ dan menjaga dan melaksanakan warisan Nabi itu maka kita sama dengan Michael H. Hart yang notabene non-Muslim, Kristen keturunan Yahudi,” pungkas.[] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *