Oleh: Dr. Fahmi Amhar
Gas elpiji 3 kg kini berangsur-angsur dicabut subsidinya. Tabung warna hijau itu akan berganti warna pink. Isinya sama, tetapi harganya berbeda.
Elpiji, pelafalan Indonesia dari akronim bahasa Inggris; LPG (liquified petroleum gas, “gas dari minyak bumi yang dicairkan”). Dengan menambah tekanan dan menurunkan suhunya, gas berubah menjadi cair. Komponennya didominasi propana (C3H8) dan butana (C4H10), dan sedikit etana (C2H6) dan pentana (C5H12).
Dalam kondisi atmosfer, elpiji berbentuk gas. Volume elpiji dalam bentuk cair lebih kecil dibandingkan dalam bentuk gas untuk berat sama. Karena itu elpiji dipasarkan dalam bentuk cair pada tabung-tabung logam bertekanan. Untuk memungkinkan terjadinya ekspansi panas dari cairan yang dikandungnya, tabung elpiji tidak diisi penuh, hanya sekitar 80-85% dari kapasitasnya. Rasio antara volume gas bila menguap dengan gas cair bervariasi tergantung komposisi, tekanan dan temperatur, tetapi biasanya sekitar 250:1.
Meski memiliki sumber minyak bumi, Indonesia saat ini kekurangan bahan bakar minyak siap pakai, termasuk elpiji, sehingga sebagian besar elpiji saat ini diimpor. Sementara itu Indonesia masih memiliki cadangan gas alam. Banyak orang bertanya-tanya, mengapa tidak gunakan saja gas alam untuk menggantikan impor elpiji?
Gas alam atau Liquefied Natural Gas (LNG) adalah gas alam yang telah diproses untuk menghilangkan pengotor dan hidrokarbon fraksi berat dan lalu dikondensasi jadi cairan dengan mendinginkannya sekitar -160° Celcius. LNG didominasi metana CH4 dan etana C2H6. LNG ditransportasi menggunakan pipa atau kendaraan khusus dan ditaruh dalam tangki khusus. LNG memiliki isi sekitar 1/640 dari gas alam pada suhu dan tekanan standar.
Pembangunan pabrik LNG memerlukan biaya $ 1-3 miliar, terminal penerimaan $ 0,5-1 miliar, dan pengangkut LNG $ 0,2-0,3 miliar. Pengembangan komersial LNG memerlukan “value chain”, yang berarti penyuplai LNG memastikan pembeli (terutama industri besar atau kota modern yang memiliki jaringan pipa gas) dan kemudian membuat kontrak 20-25 tahun dengan isi perjanjian yang ketat dan struktur penghargaan gas. Indonesia telah meneken kontrak seperti ini di zaman Presiden Megawati (proyek gas di lapangan Tangguh, Papua).
Mengingat elpiji menjadi mahal, dan LNG telah dikontrak jangka panjang dengan asing, sedang listrik murah dari PLTN juga belum tersedia, maka kita bisa menengok bahan bakar biomassa. Banyak biomassa seperti sisa-sisa kayu, dedaunan kering, limbah sawit, batok kelapa dll yang tidak termanfaatkan. Hanya di desa, bahan bakar ini masih termanfaatkan. Di perkotaan, adanya asap menjadi kendala, sehingga biomassa tidak dilirik.
Namun kondisi ini justru menjadi tantangan bagi seorang inventor seperti Profesor Muhammad Nurhuda, guru besar fisika Universitas Brawijaya. Ia mengembangkan kompor biomass yang praktis dan bersih. Kompornya ini telah meraih banyak penghargaan, seperti dari Kementerian Ristek. Namun justru di beberapa negara di Eropa dan Afrika kompornya lebih populer.
Apa yang dilakukan Prof. Nurhuda ini, yaitu menantang kesulitan menjadi peluang, adalah semangat para ilmuwan Muslim di era keemasan peradaban Islam.
Para pendahulu kita dulu juga mengalami krisis energi meski dalam bentuk yang berbeda. Ketika tenaga hewan tidak cukup lagi untuk menggerakkan roda industri, mereka melirik tenaga air. Lahirlah mesin-mesin bertenaga air dari tangan para muslim inventor mesin seperti Al-Jazari (1136 – 1206 M).
Selain penemuan aneka mesin, dunia kimia juga meraih kemajuan yang pesat sejak misteri materi dipecahkan dengan metode ilmiah, bukan dengan filsafat spekulatif ataupun sihir mistis. Ini adalah jasa orang-orang seperti Jabir Al-Hayan (721-815 M) hingga Muhammad ibn Zakarīya ar-Rāzi (854–925 M) yang menemukan cara menghasilkan kerosene (minyak tanah) dari minyak mentah.
Kontribusi umat Islam untuk dunia (“rahmatan lil ‘alamin”) di bidang energi tetap ditunggu, seperti yang telah terjadi di masa lalu. Kita ingin tetap memberikan energi atau “bahan bakar” untuk dunia, dan mendistribusikannya sesuai syari’at Islam, agar tidak justru menjadikan diri kita bahan bakar untuk neraka (karena dosa-dosa kita).[]
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 210