Bagian dari al-Quran yang Menjadi Hujjah adalah Apa yang Dinukilkan Kepada Kita dengan Tawatur

 Bagian dari al-Quran yang Menjadi Hujjah adalah Apa yang Dinukilkan Kepada Kita dengan Tawatur

Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu.

Syaikhiy al-fadhil. Semoga Allah melanggengkan kesehatan, kebugaran, kekuatan dan ketakwaan kaum Muslim dan melangsungkan pertolongan melalui kedua tangan Anda, amin ya Rabb al-‘alamin.

Syaikhy al-fadhil, saat saya membaca di kitab-kitab para ulama, saya melewati nas-nas yang diriwayatkan oleh sebagian shahabat semisal Abdullah bin Mas’ud atau Ummul Mukminin Aisyah radhiyallâh ‘anhum dengan penilaian bahwa nas-nas ini merupakan ayat al-Quran, tetapi tidak diambil dan tidak dinilai sebagai bagian dari al-Quran sebab dinyatakan dalam khabar ahad, dan sudah diketahui bahwa al-Quran tidak ditetapkan dengan khabar ahad sebab adalah zhanniy ats-tsubut.

Tetapi bagaimana kita berinteraksi dengan nas-nas ini yang keberadaannya shahih dinyatakan melalui lisan orang yang tsiqah, adil dan dhabith. Nas-nas itu meski tidak ditetapkan dengan tawatur, tetapi ditetapkan dengan dugaan kuat (ghalabah azh-zhann). Lalu apakah nas-nas ini muktabar pada para fukaha dan mujtahid dalam menggunakannya sebagai nas syar’iy yang darinya diistinbath hukum-hukum syara’, ataukah nas-nas itu tidak muktabar dan seolah-olah tidak dinyatakan …??

Semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda, dan mohon maaf atas panjangnya pertanyaan.[Thariq Mahmud]

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Semoga Allah melimpahkan keberkahan kepada Anda atas doa Anda yang baik untuk kami, dan kami mendoakan kebaikan untuk Anda.

Adapun berkaitan dengan pertanyaan Anda tentang al-Quran al-Karim, maka sebelum menjawab maka saya kutipkan untuk Anda dari kitab-kitab kami sebagai berikut:

1- Dinyatakan di kitab asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz iii bab “mâ yu’tabaru hujjatan min al-Qur’ân -Bagian dari al-Quran yang dinilai sebagai hujjah-“, sebagai berikut:

[Bagian dari al-Quran yang dinukilkan dengan penukilan secara mutawatir, dan kita mengetahui bahwa itu bagian dari al-Quran, hanya itu saja yang menjadi hujjah. Adapun apa darinya yang dinukilkan kepada kita secara ahad, seperti mushaf Ibnu Mas’ud dan yang lainnya, maka tidak menjadi hujjah. Hal itu karena Nabi saw dibebani menyampaikan al-Quran yang diturunkan kepada kita kepada sekelompok orang yang menjadi hujjah yang pasti dengan ucapan mereka. Dan orang yang tegak hujjah qath’iy dengan ucapan mereka, maka tidak terbayang atas mereka bersepakat untuk tidak menukilkan apa yang mereka dengarkan. Maka jika dari al-Quran, ada sesuatu yang tidak dinukilkan oleh orang yang tegak hujjah dengan ucapan mereka, melainkan dinukilkan secara ahad, maka itu tidak dinilai (tidak muktabar). Sebab itu datang secara menyalahi apa yang dibebankan kepada Rasul saw dalam hal menyendirinya satu orang yang menukilkannya, dan menyalahi apa yang terjadi berupa disampaikannya al-Quran dari Rasul kepada sejumlah kaum Muslim yang mereka menghafalkannya, dan mereka menjadi orang yang tegak hujjah dengan ucapan mereka, di samping perintah beliau untuk menuliskannya. Maka bersama dengan keadaan ini, tidak datang menyendirinya satu orang atau sejumlah orang yang tidak tegak hujjah yang qath’iy dengan ucapan mereka menukilkan sesuatu dari al-Quran. Oleh karena itu, bagian dari al-Quran yang dinukilkan secara ahad maka tidak menjadi hujjah sama sekali].

– Dinyatakan di asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz iii bab “Mâ Yu’tabaru Hujjatan min al-Qur’ân – al-Quran yang dinilai sebagai hujjah-“, sebagai berikut:

[ … Adapun perbedaan mushaf, maka mushaf yang berasal dari ahad, maka bukan bagian dari al-Quran dan tidak menjadi hujjah. Dan apa yang mutawatir maka merupakan bagian dari al-Quran dan menjadi hujjah. Jadi masalahnya bukan berkaitan dengan mushaf, melainkan berkaitan dengan ayat-ayat yang dikandung oleh mushaf itu. Jika ayat tersebut dinukilkan dari Rasul saw dengan penukilan mutawatir, yakni diterima dari Rasul saw oleh sejumlah orang yang mencapai batas at-tawatur, yakni tegak hujjah yang qath’iy dengan ucapan mereka, maka itu dinilai bagian dari al-Quran dan menjadi hujjah. Dan apa yang tidak demikian maka tidak dinilai bagian dari al-Quran. Karena itu maka mushaf Utsman semuanya adalah al-Quran. Sebab semua ayat-ayat yang dikandungnya dinukilkan dengan penukilan yang mutawatir, dinukilkan oleh orang yang tegak hujjah dengan ucapan mereka. Tetapi, mushaf Ibnu Mas’ud dilihat dulu, apa yang dikandungnya berupa ayat-ayat yang dinukilkan dengan penukilan mutawatir maka dinilai bagian dari al-Quran. Sedangkan apa yang dikandungnya berupa ayat-ayat yang dinukilkan secara ahad semisal ayat: “«فصيام ثلاثة أيام متتابعات» -maka puasa tiga hari berturut-turut-“ tidak dinilai bagian dari al-Quran dan tidak menjadi hujjah.

Atas dasar ini, maka tertolak lah keberatan yang dinyatakan mengenai para penghafal al-Quran dan mushaf-mushaf shahabat. Dan terbukti bahwa al-Quran adalah apa yang dinukilkan dengan penukilan secara mutawatir. Sedangkan apa yang dinukilkan secara ahad maka bukanlah bagian dari al-Quran. Dan perkara yang harus diperhatikan bahwa al-Quran telah dinukilkan dengan kesaksian dari Rasul saw berasal dari wahyu ketika diturunkan dan dicatat dalam bentuk tulisan, di samping dihafalkan. Jadi para shahabat ridhwanullâh ‘alayhim tidak meriwayatkan al-Quran secara riwayat dari Rasul saw, melainkan mereka menukilkannya secara penukilan. Yakni mereka menukilkannya sama persis dengan apa yang diturunkan oleh wahyu dan apa yang Rasul saw memerintahkan penulisannya. Berbeda dengan hadis. Sebab hadis diriwayatkan dari Rasul saw secara riwayat dan tidak dicatat ketika beliau mengucapkannya dan tidak pula ketika beliau meriwayatkannya, melainkan penulisan dan pencatatannya berlangsung pada masa tabi’u at-tabi’in. Adapun al-Quran maka ditulis dan dicatat ketika diturunkan oleh wahyu dan para shahabat menukilkan sama persis dengan apa yang diturunkan oleh wahyu itu. Karena itu dikatakan: bahwa para shahabat telah menukilkan kepada kita al-Quran secara penukilan].

2- Dinyatakan di kitab asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz iii bab “an-Nâsikh wa al-Mansûkh”:

[Yang kedua, bahwa yang dimaksudkan adalah nasakh hukum ayat bukan nasakh tilawahnya. Ucapan ini adalah yang terpilih untuk jumhur dan menjadi pegangan kuat. Hal itu dikuatkan oleh bahwa semua ayat al-Quran ditetapkan dengan dalil yang qath’iy. Dan selama tidak ditetapkan dengan dalil qath’iy maka tidak dinilai bagian dari al-Quran. Nasakh tilawah ayat dari ayat-ayat al-Quran tidak ditetapkan dengan dalil qath’iy. Dalil zhanniy yang dinyatakan atas adanya nasakh tilawah tidak ada nilainya dalam dinilainya adanya nasakh itu. Sebab yang qath’iy tidak dinasakh dengan zhanniy. Qath’iy tidak dinasakh kecuali dengan qath’iy, yang semisal atau yang lebih tinggi. Dan tidak ada dalil qath’iy atas nasakh tilawah. Ini diperkuat bahwa yang diinginkan adalah nasakh hukum, bukan nasakh tilawah].

– Dinyatakan di sumber yang sama (asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz iii bab “an-Nâsikh wa al-Mansûkh”) sebagai berikut:

[Dan adapun nasakh al-Quran secara tilawah maka itu terhalang, tidak boleh, dan tidak terbukti terjadinya dengan dalil qath’iy. Dan dalil atas ketidakbolehannya adalah ayat yang dengannya ditetapkan bolehnya nasakh, ayat itu mengatakan:

﴿نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا

“Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya” (TQS al-Baqarah [2]: 106).

Dan al-Quran semuanya adalah baik tanpa ada perbedaan di dalamnya. Seandainya yang dimaksudkan dari nasakh ayat itu adalah penghilangannya dari al-Lauh al-Mahfuzh dan penulisan yang lainnya sebagai gantinya, niscaya tidak tercapai sifat al-khayriyah (lebih baik). Jadi maknanya bukanlah (nasakh) ayat-ayatnya melainkan (nasakh) hukumnya. Dan juga al-Quran itu telah ditetapkan turunnya, penghafalannya dan penulisanya dengan jalan tawatur. Dan iman terhadapnya dalam bentuk ini adalah akidah, dan itu tidak diambil kecuali dari dalil qath’iy ats-tsubût qath’iy ad-dalâlah. Dan ini tidak terjadi sebab tidak datang dalil qath’iy yang menunjukkan bolehnya nasakh al-Quran secara tilawah, sehingga tidak boleh penasakhannya secara tilawah. Adapun tidak terjadinya penasakhan al-Quran secara tilawah maka dalilnya bahwa tidak ada dalil qath’iy yang menetapkan bahwa ada satu ayat dari ayat-ayat al-Quran yang telah ditetapkan dengan dalil qath’iy telah dinasakh. Adapun apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit, ia berkata: “aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

«الشَّيْخُ وَالشَّيْخَةُ إِذَا زَنَيَا فَارْجُمُوهُمَا الْبَتَّةَ. فَقَالَ عُمَرُ: لَمَّا أُنْزِلَتْ هَذِهِ أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ فَقُلْتُ: أَكْتِبْنِيهَا» أخرجه أحمد

“Orang lanjut usia laki-laki dan wanita jika berzina maka rajamlah keduanya”. Lalu Umar berkata: “ketika diturunkan ayat ini aku datang kepada Rasulullah saw dan aku katakan: “tuliskan saya hal ini” (HR Ahmad).

Dan apa yang diriwayatkan oleh Aisyah ra., ia berkata:

«كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ، ثمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ» أخرجه مسلم

“Dahulu dalam apa yang diturunkan dari al-Quran ada sepuluh persusuan yang jelas yang mengharamkan kemudian dinasakh dengan lima persusuan yang jelas” (HR Muslim).

Dan apa yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud ra. bahwa keduanya membaca: “«فَصِيَامُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مُتَتَابِعَاتٍ» -maka puasa tiga hari berturut-turut-“, dan apa yang diriwayatkan bahwa surat al-Ahzab dahulu sebanding dengan al-Baqarah, dan yang lainnya, maka semuanya adalah khabar ahad yang tidak tegak hujjah di dalamnya atas penasakhan (ayat yang) qath’iy, sebab itu merupakan informasi zhanniy, dan yang qath’iy tidak dinasakh dengan zhanniy, dan qath’iy tidak dinasakah kecuali oleh qath’iy. Maka harus terbukti dengan dalil qath’iy bahwa ayat ini telah diturunkan sehingga dapat diyakini bahwa itu bagian dari al-Quran, kemudian juga terbukti dengan dalil qath’iy bahwa itu dinasakh. Dan ini tidak terjadi sama sekali. Atas dasar itu maka penasakhan al-Quran secara tilawah tidak terjadi].

3- Berdasarkan hal itu maka jawaban pertanyaan Anda adalah:

a- Al-Quran al-Karim didefinisikan sebagai berikut: “adalah kalamullah yang diturunkan kepada rasul-Nya Muhammad saw melalui wahyu “Jibril” as. secara lafal dan makna, yang merupakan mukjizat, yang beribadah dengan tilawahnya (membacanya) dan dinukilkan untuk kita secara mutawatir”. Itulah al-Quran yang diturunkan kepada sayidina Muhammad saw dan itu yang dinukilkan kepada kita di antara dua lembar mushaf dengan penukilan secara mutawatir. Pendefinisian ini berlaku persis terhadap mushaf Utsman ra., yakni terhadap mushaf yang ditulis pada zaman khalifah rasyid Utsman bin Affan dalam sejumlah copy dari lembaran-lembaran yang dihimpun oleh Abu Bakar ra. dari apa yang ditulis di hadapan Rasul saw. Apa yang dicetak (copy) oleh Utsman ra. itu dikirimkan ke berbagai kota kaum Muslim, dan para shahabat Rasul saw berijmak atasnya sebagaimana yang dijelaskan dengan rinci di kitab-kitab kami …

b- Ini berarti bahwa apa yang dinukilkan kepada kita dari al-Quran berupa ahad seperti mushaf Ibnu Mas’ud dan lainnya maka itu bukan al-Quran dan tidak menjadi hujjah. Demikian juga, itu bukan bagian dari as-Sunnah sebab diriwayatkan bahwa itu adalah al-Quran dan tidak diriwayatkan bahwa itu bagian dari hadis Nabi saw. Dan selama itu bukan as-sunnah, maka tidak boleh beristidlal dengannya dalam hukum-hukum syara’ dan semua perkara yang harus diistinbath dari dalil-dalil syara’.

c- Qira’ah al-Quran dengan riwayat-riwayat semisal itu dan dengan riwayat-riwayat syadz adalah tidak boleh. Kami telah menyebutkan apa yang mengisyaratkan kepada hal itu dalam Jawab Soal tertanggal 18 Dzul Qa’dah 1434 H-24 September 2013, di situ dinyatakan:

[Adapun qira’ah al-Quran dengan qira’at yang tidak mutawatir, baik sesuai dengan mushaf Utsmani atau tidak sesuai, maka tidak boleh qira’ah dengannya, sebab itu bukan al-Quran. Tetapi al-Quran adalah apa yang dinukilkan secara mutawatir dari Rasulullah saw].

d- Dan selama nas-nas yang diriwayatkan secara ahad bagian dari al-Quran, maka tidak tidak terbukti bahwa itu adalah bagian dari al-Quran. Demikian juga, itu tidak dihitung as-sunnah dari Nabi saw sebab tidak diriwayatkan bahwa itu adalah as-sunnah. Jadi maksimalnya yang mungkin ditunjukkan atasnya adalah bahwa itu dinilai termasuk dari bab tafsir dan penjelasan shahabat untuk al-Quran. Artinya, dihitung sebagai ucapan shahabat yang meriwayatkan dalam hal penjelasan makna ayat yang berhubungan dengan tambahan atau qiraah ini. Yakni shahabat itu membaca ayat kemudian menafsirkannya tanpa memisahkan antara ayat dan tafsirnya lalu dinukilkan dibelakang sebagiannya sehingga orang yang mendengar menduga hal itu bagian dari al-Quran, padahal itu bukan bagian dari al-Quran tetapi itu merupakan tafsir dari shahabat menurut pandangannya. Ini yang mungkin dicapai dengannya. Tidak mungkin melebihi hal itu sama sekali. Maka qiraah Ibnu Mas’ud misalnya “«فَصِيَامُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مُتَتَابِعَاتٍ» -maka puasa tiga hari berturut-turut-“ dengan tambahan «مُتَتَابِعَاتٍ» -berturut-turut- merupakan ucapan Ibnu Mas’ud yang di dalamnya ia menjelaskan wajibnya at-tatabu’ (berturut-turut) dalam puasa kafarah sumpah. Artinya itu menjadi tambahan sebagai penjelasan untuk hukum berturut-turut sesuai pandangan Ibnu Mas’ud ra. dan ini tidak melampui keberadaannya sebagai ijtihad dan pemahaman shahabat dan tidak mengambil hukum dalil syar’iy bagian dari as-Sunnah.

e- Atas dasar itu, semua nas ahad dari al-Quran al-Karim yang menyalahi nas yang qath’iy, maka dilihat:

– Jika sanadnya dhaif maka ditolak karena kedhaifannya.

– Jika sanadnya shahih maka ditolak secara dirayah karena menyalahi yang qath’iy.

4- Saya sebutkan apa yang dinyatakan di beberapa kitab fukaha kaum Muslim tentang semisal perkara ini, hal itu untuk pengetahuan:

a- Dinyatakan di al-Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah (hal: 11908) sebagai berikut:

[- Al-Quran adalah apa yang dinukilkan kepada kita di antara dua lembar mushaf dengan penukilan mutawatir, dan dibatasi dengan mushaf-mushaf (al-mashâhif), sebab para shahabat radhiyallâh ‘anhum berlebihan dalam penukilannya dan menyendirikannya dari yang selainnya, sampai mereka tidak menyukai at-ta’âsyîr dan titik supaya tidak bercampur dengan yang lainnya. Maka kita mengetahui bahwa yang tertulis di dalam mushaf yang telah disepakati adalah al-Quran, dan bahwa apa yang di luar darinya adalah bukan bagian dari al-Quran, sebab mustahil di dalam ‘urf dan adat kebiasaan seraya tersedianya alasan atas menghafal (menjaga) al-Quran untuk mengabaikan sebagiannya sehingga tidak dinukilkan atau dicampur dengan apa yang bukan bagian darinya].

Al-Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah melanjutkan: [ Tidak ada perbedaan pendapat bahwa semua yang meruakan bagian dari al-Quran maka wajib mutawatir pada pokok dan bagian-bagiannya. Adapun dalam tempatnya, posisinya dan susunannya maka menurut para pentahqiq dari kalangan ulama ahlu as-sunnah juga demikian, yakni wajib berupa mutawatir. Dinyatakan di dalam Musallam ats-Tsubût dan syarahnya Fawâtihu ar-Rahamût: apa yang dinukilkan secara ahad maka bukan al-Quran secara pasti. Tidak diketahui adanya satu orang pun dari ahlu al-madzâhib yang berbeda. Dan dalilnya bahwa al-Quran termasuk apa yang tersedia alasan untuk menukilkannya dikarenakan dia mengandung tantangan dan karena asal hukum-hukum adalah dengan mempertimbangkan makna dan susunan secara semuanya sampai banyak hukum berkaitan dengan susunannya, dan karena dalam setiap masa dibiarkan dengan qiraah dan tulisan. Karenanya, diketahui adanya upaya sungguh-sungguh para shahabat dalam menghafalkannya dengan tawatur yang qath’iy. Dan semua yang tersedia alasan penukilannya yang biasanya dinukilkan secara mutawatir, dan keberadaannya biasanya diperlukan untuk tawatur, maka jika yang lazim yaitu yang tawatur itu, tidak ada maka secara pasti apa yang diperlukan juga tidak ada, dan yang dinukilkan secara ahad, bukan mutawatir maka bukan al-Quran …] selesai.

b- Dinyatakan di kitab al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân (1/279) karya imam as-Suyuthi sebagai berikut: [Abu ‘Ubaid mengatakan di Fadhâ`il al-Qur`ân: maksud dari al-qira`ah asy-syadzah adalah tafsir al-qira`ah yang masyhur dan menjelaskan makna-maknanya seperti qiraah Aisyah dan Hafshah “والصلاة الوسطى صَلَاةِ الْعَصْرِ -dan shalat al-wushthâ shalat ‘Ashr “, dan qiraah Ibnu Mas’ud: “فَاقْطَعُوا أَيْمَانَهُمَا -maka potonglah sumpah keduanya-“ dan qiraah Jabir: “فَإِنَّ اللَّهَ مِنْ بَعْدِ إِكْرَاهِهِنَّ لَهُنَّ غَفُورٌ رَحِيمٌ -maka sesungguhnya Allah setelah dipaksanya mereka adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang untuk mereka-“. Ia berkata: “huruf-huruf ini dan yang semacamnya telah menjadi yang menjelaskan al-Quran dan telah diriwayatkan semisal ini dari tabi’in tentang tafsir dan dianggap baik, lalu bagaimana jika diriwayatkan dari shahabat senior …].

Saya berharap jawaban ini mencukupi, wallâh a’lam wa ahkam.

 

Saudaramu Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

22 Dzul Hijjah 1443 H

21 Juli 2022 M

 

https://www.hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/83299.html

https://www.facebook.com/HT.AtaabuAlrashtah/posts/596521192035254

 

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *