Bagaimana Seharusnya Kita Menyampaikan Dakwah?
Oleh: Yuana Ryan Tresna
Pada kesempatan yang baik ini, saya hendak berbagi pandangan tentang bagaimana seharusnya kita menyampaikan dakwah. Saya berharap para pembaca berkenan menelaah sampai tuntas, mencermati setiap bagiannya, dan jika ada kekeliruan silahkan untuk memberikan masukan.
Pertama, Din (Agama) Islam Adalah Nasihat
Dalil akan hal ini dapat kita jumpai dalam hadits Nabi SAW,
عَنْ أَبِي رُقَيَّةَ تَمِيْمٍ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِي رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا : لِمَنْ ؟ قَالَ للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus al-Dari ra, ia berkata bahwa Nabi SAW bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.” (HR. Muslim)
Terkait dengan makna nasihat, al-Khatthabi rh menyampaikan,
النَّصِيْحَةُ كَلِمَةٌ يُعَبَّرُ بِهَا عَنْ جُمْلَةٍ هِيَ إِرَادَةُ الخَيرِْ لِلْمَنْصُوْحِ لَهُ
“Nasihat adalah kalimat yang bermakna untuk mewujudkan kebaikan kepada yang ditujukan nasihat.” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, juz 1, hlm. 219)
Nasihat kepada Allah adalah mengimani-Nya, nasihat kepada kitab-Nya adalah meyakini bahwa hukum al-Quran adalah sebaik-baiknya hukum dan tidak ada hukum yang sebaik al-Quran, nasihat kepada Rasul adalah mengikuti dan mencontohnya, nasihat kepada para pemimpin adalah menyampaikan amar makruf nahi munkar dan menyampaikan muhasabah (koreksi) atas kekeliruan kebijakan penguasa. Bahkan dalam banyak hadits disebutkan bahwa amar makruf dan nahi munkar yang utama adalah yang disampaikan kepada penguasa.
Kedua, Allah Telah Memberikan Panduan Bagaimana Kita Menyampaikan Dakwah
Allah SWT berfirman,
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. al-Nahl: 125).
Dari ayat di atas, ada tiga kaidah dalam berdakwah, yaitu: (1) al-hikmah (hikmah); (2) al-mau’izah al-hasanah (pelajaran yang baik), dan (3) al-mujadalah billati hiya ahsan (mendebat dengan suatu yang lebih baik).
Ketiga, Penjelasan Kitab Nuqthah al-Inthilaq terkait Metode Dakwah al-Quran
Syaikh Taqiyuddin al-Nabhani menjelaskan terkait dengan hal ini dalam poin ke-33 kitab Nuqthah al-Inthilaq,
قيام الحزب في مهمته وهي حمل الدعوة الاسلامية تحتم عليه ان يكون سائرا حسب الطريقة الاسلامية. وطريقته في حملها للناس في المجتمع هي دعوتهم له بطريقة الحكمة والموعظة الحسنة والجدال بالتى هي احسن. قال تعالى {ادع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي احسن ان ربك هو اعلم بمن ضل عن سبيله وهو اعلم بالمهتدين} والحكمة هي البرهان العقلي. والموعظة الحسنة هي التذكير الجميل. ويعني اثارة مشاعر الناس حين مخاطبة عقولهم، اواثارة افكارهم حين مخاطبة مشاعرهم، حتى تكون المشاعر مرتبطة مع الافكار فينتج العمل انتاجاً كاملا. واما الجدال بالتي هي احسن فهو النقاش الذي يحصر بالفكرة ولا يتعداها الى الاشخاص، وهذه الاحوال الثلاث في طريقة الدعوة لابد من ملاحظتها لان اكثر من يراجه الدعوة في المجتمع ثلاث فئات.
“Dalam melaksanakan tugasnya, yaitu mengemban dakwah Islam, hizb harus berjalan sesuai dengan metode Islam. Metode Islam dalam mengemban dakwah ke seluruh dunia adalah jihad, sedangkan metode hizb dalam mengemban Islam kepada khalayak di tengah-tengah masyarakat adalah dengan mengajak mereka kepada Islam dengan metode hikmah (argumentasi rasional), mau’izhah hasanah (nasihat yang baik) serta mujadalah bi-lati hiya ahsan (diskusi dengan hujah yang lebih baik). Allah SWT berfirman:
“Serulah (mereka) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah (argumentasi), mau’izhah hasanah (nasihat yang baik) serta debatlah mereka dengan yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu adalah Zat yang Maha Tahu akan orang yang tersesat dari jalan-Nya, dan Dialah Zat yang Maha Tahu orang-orang yang mendapat petunjuk.” (TQS. Al-Nahl: 125).
Hikmah adalah al-burhan al-aqli (argumentasi rasional), sedangkan mau’izhah hasanah adalah memberi peringatan yang baik, yaitu mempengaruhi perasaan khalayak, ketika menyeru akal mereka, serta mempengaruhi pemikiran mereka, ketika menyeru perasaan mereka, sampai perasaan dengan pemikiran mereka terintegrasi sehingga mampu menghasilkan perbuatan dengan kualitas yang sempurna. Adapun jadal (berdiskusi) dengan yang lebih baik adalah diskusi yang terbatas pada ide, dan tidak melewati batas ide, sehingga menyerang pribadi. Inilah tiga konteks metode dakwah yang wajib dicermati. Sebab, kebanyakan orang yang menghalang-halangi dakwah di tengah-tengah masyarakat adalah tiga kelompok.” (Nuqthah al-Inthilaq, No. 33)
Dalam lanjutannya, beliau lalu menyebutkan tiga kelompok yang menghalang-halangi dakwah di tengah masyarakat, yaitu: (1) Kelompok yang ingin memahami Islam. Mereka harus didakwahi dengan hikmah (argumentasi rasional) dan dilibatkan dalam halqah secara intensif; (2) Kelompok khalayak ramai, yaitu orang-orang yang tidak mempunyai cukup waktu, persiapan, situasi dan kondisi yang memungkinkan mereka melanjutkan pembinaan intensif. Mereka harus dibina secara kolektif. Mereka harus didakwahi dan dilibatkan dalam pembinaan masal (kolektif). Tujuannya agar terbentuk opini umum atas dasar kesadaran umum di tengah mereka; (3) Orang-orang yang terpesona dengan pemikiran-pemikiran lain (di luar Islam), atau orang-orang yang dalam posisi kebingungan.
Keempat, Jangan Terlibat Debat Kusir dengan Kelompok Ketiga yang Kebingungan dan Mengemban Pemikiran yang Rusak
Terhadap kelompok ketiga ini, dalam Nuqthah al-Inthilaq, beliau memberikan catatan,
ولذلك لا بد ان يكون حامل الدعوة واسع الصدر معهن ، وان يأخذ دور الهجوم على افكارهم الفاسدة، ومفاهيمهم المغلوطة، وطرقهم المعوجة، وان يتجنب دور الدفاع، وان لا يقبل الاسلام متهما، بل يرفض ذلك كل الرفض ويبادر يشرح الافكار الاسلامية باسلوب البيان والشرح لا باسلوب الدفاع. ويجب ان يكون جدله بالتي هي احسن، أي ان يكون الجدل نقاشا لا جدلا عقيما
“Oleh karena itu, seorang pengemban dakwah harus berlapang dada terhadap mereka, dan berposisi menyerang pemikiran-pemikiran mereka yang rusak, pemahaman-pemahaman mereka yang manipulatif serta metode-metode mereka yang berliku-liku. Dan harus menjauhi posisi defensif, serta jangan sampai menerima Islam sebagai pihak tertuduh, tetapi harus menolak dengan tegas. Sesegera mungkin harus menjelaskan pemikiran-pemikiran Islam dengan pendekatan penjelasan (uslub bayan) dan uraian (syarah), bukan dengan pendekatan defensif. Sedangkan diskusi dengan yang lebih baik, haruslah diskusi yang berbentuk niqasy (perdebatan pemikiran), bukan debat kusir (jadal aqim).” (Nuqthah al-Inthilaq, No. 33)
Kelima, Hendaknya Berhati-hati pada Berbagai Bentuk Pengalihan Masalah dan Saling Mencaci Secara Personal
Masih terhadap kelompok ketiga ini, beliau memberikan peringatan agar waspada dari berbagai upaya pengalihan masalah dan agar pengemban dakwah tidak terprovokasi terhadap hasutan mereka,
وان يحاذر في نقاشه مسألتين يحاول اصحاب الافكار الفاسدة تحويل البحث نحوهما حين يحسون بالهزيمة. اما المسألة الاولى في الانتقال من بحث كاد يصل حلمل الدعوة فيه الى الحقيقة المقنعة، الى بحث آخر قبل ان يتم البحث الاول. وهذا الانتقال يجعل النقاش يدور في حلقة مفرغة ينتقل من بحث الى بحث فيمضي الوقت الطويل دون ان يصل الى الغاية من النقاش. واما المسألة الثانية فهي ان حملة الافكار الفاسدة حين يتهزمون يلجأون الى الشتائم والى الهجوم على شخص المناقش، او اشخاص الدعوة، حتى يحولوا حامل الدعوة الى الشتائم، او اشخاص الدعوة، او عن اشخاص الدعوة. فليحذر ذلك. ولا يجوز الدخول في الدفاع عن شخصه او عن أي شخص في الدعوة. وكذلك ليحذر الاجابة على الشتائم، فان كل ذلك تحويل عن الفكرة، وعن التفكير العميق، وهذا ما يريده اصحاب الفكر الفاسد. ولذلك لا بد من حصر البحث في الافكار فقط، وفي الدعوة فحسب. ويجب ان نكون هناك افكار مسلم بها عند الطرفين حتى يرجع اليها في البحث ، وما لم توجد هذه الافكار اساسا مسلما به بين الطرفين لا يمكن الدخول في نقاش، لأنه حينئذ لا يكون نقاشا.
“Dalam diskusi tersebut, hendaknya berhati-hati terhadap dua perkara, di mana pemilik pemikiran yang rusak itu akan berusaha mengalihkan pembahasan pada dua perkara tadi, ketika mereka sudah menyadari kekalahannya.
Masalah pertama, pengalihan pembahasan -di mana seorang pengemban dakwah hampir sampai pada kebenaran yang meyakinkan- kepada pembahasan lain ketika pembahasan pertama belum diselesaikan. Pengalihan ini mengakibatkan perdebatan tersebut berputar-putar dalam lingkaran kosong, yang beralih dari satu pembahasan ke pembahasan lain, sehingga menghabiskan waktu yang lama, dan tidak pernah sampai pada tujuan perdebatan.
Masalah kedua, para pengemban pemikiran yang rusak tersebut ketika kalah, maka segera mengumpat dan menyerang pribadi lawan diskusinya atau orang-orang yang mendakwahinya, sehingga mengakibatkan pengemban dakwah tersebut mengumpat, atau mempertahankan dirinya atau mempertahankan pengemban dakwah yang lainnya. Karena itu, hendaknya hati-hati terhadap masalah tersebut. Dan tidak dibolehkan memasuki posisi defensif terhadap dirinya atau pengemban dakwah yang lain. Disamping harus berhati-hati dalam membalas umpatan tersebut, sebab ini semua merupakan usaha mengalihkan dari ide dan pemikiran yang mendalam. Inilah yang diinginkan oleh pemilik pemikiran yang rusak. Karena itu, pembahasan tersebut harus dibatasi pada aspek pemikirannya dan dakwahnya saja. Hendaknya ada pemikiran yang diterima oleh kedua belah pihak, sehingga dapat dijadikan sebagai rujukan dalam pembahasan. Selama tidak ada pemikiran yang diterima sebagai asas oleh kedua belah pihak, maka tidak mungkin melibatkan diri perdebatan apapun. Sebab, pada saat itu tidak pernah berlangsung diskusi apapun.” (Nuqthah al-Inthilaq, No. 33)
Keenam, Para Ulama Jarh wa Ta’dil Mengajari Kita Bagaimana Ungkapan Jarh Kalaupun harus Memberikan Celaan Secara Personal
Dalam tradisi ilmu hadits, kita mengenal istilah al-jarh wa al-ta’dil. Jarh artinya penilaian negatif dan ta’dil adalah penilaian positif kepada seorang rawi (periwayat hadits). Esensi dari ilmu ini adalah dalam rangka mendudukkan kebenaran pada tempatnya. Jadi tidak berlebihan. Perhatikanlah imam al-Bukhari, setajam apapun jarh beliau, imam al-Bukhari tetap santun.
Dalil kebolehan melakukan jarh adalah hadits Nabi dari ‘Aisyah ra berikut,
أَنَّ رَجُلًا اسْتَأْذَنَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ائْذَنُوا لَهُ فَلَبِئْسَ ابْنُ الْعَشِيرَةِ أَوْ بِئْسَ رَجُلُ الْعَشِيرَةِ فَلَمَّا دَخَلَ عَلَيْهِ أَلَانَ لَهُ الْقَوْلَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قُلْتَ لَهُ الَّذِي قُلْتَ ثُمَّ أَلَنْتَ لَهُ الْقَوْلَ قَالَ يَا عَائِشَةُ إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْزِلَةً عِنْدَ اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ وَدَعَهُ أَوْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ فُحْشِهِ
“Bahwasanya ada seorang laki-laki meminta izin untuk bertemu dengan Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah berkata: “Izinkanlah ia masuk, sungguh sangat buruk pribadinya, atau orang yang paling buruk di kabilahnya.” Setelah orang tersebut masuk, maka Rasulullah SAW berbicara kepadanya dengan Iunak. Aisyah berkata; ‘Saya bertanya kepada Rasulullah; ‘Ya Rasulullah, tadi sebelum orang tersebut masuk, engkau berkata seperti itu, tapi setelah ia masuk, maka engkau berkata kepadanya dengan lembut.’ Rasulullah SAW menjawab: ‘Hai Aisyah, sesungguhnya manusia yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang dihindari oleh manusia karena takut kejelekannya’.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abdu Daud, Ahmad. Lafazh Muslim)
Hadits ini dengan amat jelas menunjukkan bahwa Rasulullah menjarh (mencela) seseorang yang buruk dari suatu kabilah dengan ungkapan,
فَلَبِئْسَ ابْنُ الْعَشِيرَةِ أَوْ بِئْسَ رَجُلُ الْعَشِيرَةِ
“Sungguh sangat buruk, atau orang yang paling buruk di kabilahnya”
Imam Abu Abdillah al-Hakim menegaskan bahwa ini adalah perkaran yang memiliki bobot agama, bukan termasuk ghibah yang diharamkan. Apalagi jika dalam rangka menyeleksi hadits dari para pendusta.
Dalil lainnya adalah hadits Nabi terkait dengan tiga orang yang melamar Fathimah binti Qais,
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي فَآذَنْتُهُ فَخَطَبَهَا مُعَاوِيَةُ وَأَبُو جَهْمٍ وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَّا مُعَاوِيَةُ فَرَجُلٌ تَرِبٌ لَا مَالَ لَهُ وَأَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَرَجُلٌ ضَرَّابٌ لِلنِّسَاءِ وَلَكِنْ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ
Rasulullah SAW bersabda kepadaku: “Jika kamu telah halal (selesai masa iddah), maka beritahukanlah kepadaku.” Setelah masa iddahku selesai, saya memberitahukan kepada beliau. Tidak lama kemudian Mu’awiyah, Abu Jahm, dan Usamah bin Zaid datang melamarnya, maka Rasulullah SAW bersabda: “Mu’awiyah adalah orang yang miskin harta, sedangkan Abu Jahm suka memukul wanita, sebaiknya kamu memilih Usamah.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad. Lafazh Muslim)
Pada hadits kedua, Rasulullah juga menjarh dua orang (Abu Jahm dan Mu’awiyah) dan menta’dil satu orang yakni Usamah. Untuk menyelamatkan seorang wanita saja boleh melakukan jarh apalagi untuk menyelamatkan agama, seperti dalam menilai rawi hadits.
Berkaitan dengan itu, dalam konteks dakwah yang bersifat fikriyah dan siyasiyah, jika diperlukan, boleh bagi da’i untuk melakukan jarh terhadap para pengkhianat agama, ahli fitnah, atau pemecah belah persatuan umat. Tujuannya dalam rangka melindungi umat dari keburukannya. Namun catatanya adalah harus memilih diksi kata yang tepat menggambarkan kondisi buruknya perilaku atau bahaya yang ditimbulkan darinya. Pilihan diski yang pantas ini akan kembali pada urf. Pada konteks ini kita menempatkan bahwa urf itu menentukan hukum. Ada nilai kepantasan yang harus diperhatikan. Sebagaimana yang dicontohkan al-Quran dan hadits-hadits Nabi. Karena hal ini bukan terkait substansi, tetapi terkait ujaran dan memilih diksi yang tinggi dan berbobot.
Ketujuh, Gaya Bahasa al-Qur’an dan Hadits-hadits Nabi Mengajarkan Kesantunan dan Ketepatan dalam Memilih Diksi Ungkapan
Al-Quran dan al-Hadits mengajarkan kepada kita kesantunan dalam bertutur. Al-Quran adalah contoh terbaik ujaran yang “baligh” (bernilai balghah), dimana keduanya memenuhi dua unsur utama, yaitu makna yang “jalil” dan ungkapan bahasa yang fasih yang sesuai dengan situasi kondisi mutakalllim (pihak yang berbicara) dan mukhathab (pihak yang yang diajak bicara). Dengan mencermati uslub (gaya bahasa) al-Quran, maka kita akan simpulkan bahwa nilai balaghah al-Quran terpenuhi karena merupakan kalam yaang fasih serta sesuai maqam (situasi). Situasi dan kondisi yang dimaksud adalah meliputi respon yang diinginkan oleh mutakallim dari mukhathab, kondisi keduabelah pihak, serta kondisi tempat dan situasi waktu disampaikannya suatu ujaran (kalam).
Dalam ilmu Ma’ani (cabang dari ilmu Balaghah), al-Quran kadang berujar dengan ringkas namun mengandung makna yang dalam (al-ijaz), dan kadang panjang lebar (al-ithnab). Berujar dengan orang yang memiliki pengetahuan, dengan yang tidak berilmu, tentu pendekatannya berbeda. Al-Quran kadang berujar dengan dengan qashr, jika hendak memberikan fokus, penegasan, atau penekanan. Penegasan juga kadang dilakukan dengan melakukan pengulangan (takrar). Sebagai bentuk dinamisasi dalam berujar, dalam al-Quran juga kadang terdapat iltifat (pengalihan perhatian), seperti dari kata ganti kedua menjadi kata ganti ketiga. Kritik kepada orang kedua yang diajak bicara dalam bentuk kritik kepada orang ketiga (ghaib) akan terkesan lebih santun.
Dalam kajian ilmu Bayan, gaya bahasa al-Quran dengan menggunakan berbagai bentuk kiasan akan menunjukkan ketinggian gaya bahasa al-Quran. Uslub Bayan ini mencakup perbandingan, persamaan dan ibarat (tasybih, simile), metafora (isti’arah tashrihiyyah) dan personifikasi (isti’arah makniyyah), majaz mursal (hubungan bukan persamaan), metonimi (kinayah), termasuk sindiran (ta’ridh), dll.. Berikut adalah beberapa contohnya:
(1) Al-Quran mengeritik rapuhnya posisi mereka yang menjadikan pelindung selain dari pada Allah dengan menggunakan tasybih (simile).
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba, kalau mereka mengetahui” (QS. al-Ankabut: 41)
(2) Al-Quran menjelaskankan balasan bagi orang kafir dengan menggunakan tasybih (simile).
مَثَلُ الَّذِينَ كَفَرُوا بِرَبِّهِمْ أَعْمَالُهُمْ كَرَمَادٍ اشْتَدَّتْ بِهِ الرِّيحُ فِي يَوْمٍ عَاصِفٍ لَا يَقْدِرُونَ مِمَّا كَسَبُوا عَلَى شَيْءٍ ذَلِكَ هُوَ الضَّلالُ الْبَعِيدُ
“Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” (QS. Ibrahim: 18)
(3) Al-Quran menjelaskankan buruknya kondisi orang munafik dengan menggunakan tasybih (simile).
مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ ﴿١٧﴾ صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ ﴿١٧﴾
“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu, dan buta; maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Al-Baqarah: 17-18)
(4) Al-Quran menjelaskankan rendahnya kesyirikan dengan menggunakan metafora (isti’arah tashrihiyyah).
فَأَنزَلَ ٱللَّهُ سَكِينَتَهُۥ عَلَيْهِ وَأَيَّدَهُۥ بِجُنُودٍ لَّمْ تَرَوْهَا وَجَعَلَ كَلِمَةَ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ ٱلسُّفْلَىٰ ۗ وَكَلِمَةُ ٱللَّهِ هِىَ ٱلْعُلْيَا ۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Al-Quran menjadikan orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Taubah: 40)
(5) Al-Quran menggiring opini bahwa orang kafir memusuhi manusia dengan menggunakan majaz mursal (hubungan bukan persamaan)
أَمْ لَهُمْ نَصِيبٌ مِنَ الْمُلْكِ فَإِذاً لَا يُؤْتُونَ النَّاسَ نَقِيراً
“Ataukah ada bagi mereka bagian dari kerajaan (kekuasaan)? Kendatipun ada, mereka tidak akan memberikan sedikit pun (kebajikan) kepada manusia (Muhammad).” (QS. Al-Nisa: 53)
(6) Al-Quran mencela orang kafir dengan menggunakan sindiran (ta’ridh).
وَمَا لِيَ لَا أَعْبُدُ الَّذِي فَطَرَنِي وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ ﴿٢٢﴾ أَأَتَّخِذُ مِنْ دُونِهِ آلِهَةً إِنْ يُرِدْنِ الرَّحْمَنُ بِضُرٍّ لَا تُغْنِ عَنِّي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئًا وَلا يُنْقِذُونِ﴿٢٣﴾
“Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakan diriku dan yang hanya kepada-Nya kamu (semua) akan dikembalikan? Mengapa aku akan menyembah tuhan-tuhan selainnya jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudaratan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikit pun bagiku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku?” (QS. Yasin: 22-23)
Tujuan kalam pada ayat 22 ini adalah menyindir, yang juga ditunjukkan dengan adanya iltifat (pengalihan dari dhamir orang pertama menjadi dhamir kedua) “wa ilaihi turja’un”. Sesungguhnya yang dituju adalah “kamu”, namun dengan cerita tentang “aku”. Ayat 23 juga merupakan sindiran kepada mereka yang menyembah kepada selain Allah.
(7) Al-Quran mencela orang yang menyerupai orang munafik dengan menggunakan sindiran (ta’ridh).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ ﴿٢﴾ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ ﴿٣﴾
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS. Al-Shaf: 2-3)
Panggilan “wahai orang yang beriman” pada ayat di atas ditujukan kepada orang yang berkelakuan seperti orang munafik, merupakan sindirin kepada mereka.
Uslub kinayah model ta’ridh (sindiran) dapat dijadikan alat menegur, mengeritik, mencela, dan tujuan kontrol sosial lainnya dengan cara yang lebih dapat diterima dan hasilnya akan lebih efektif, dibandingkan dengan kritikan atau celaan secara langsung.
(8) Rasulullah menegur orang yang menyelisihi syariat dengan bentuk pertanyaan retoris (istifham inkariy). Dari Aisyah ra, beliau berkata,
رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ؟ فقالوا : ومن يجترئُ عليه إلا أسامةُ بنُ زيدٍ ، حِبُّ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ ؟ فأتى بها رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ . فكلَّمه فيها أسامةُ بنُ زيدٍ . فتلوَّنَ وجهُ رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ . فقال ( أتشفعُ في حدٍّ من حدودِ اللهِ ؟ ) فقال له أسامةُ : استغفِرْ لي يا رسولَ اللهِ
Bahwa orang-orang Quraisy pernah digemparkan oleh kasus seorang wanita dari Bani Mahzum yang mencuri di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam tepatnya ketika masa perang Al Fath. Lalu mereka berkata: “siapa yang bisa berbicara dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam? Siapa yang lebih berani selain Usamah bin Zaid, orang yang dicintai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam?”. Maka Usamah bin Zaid pun menyampaikan kasus tersebut kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, hingga berubahlah warna wajah Rasulullah. Lalu beliau bersabda: “Apakah kamu hendak memberi syafa’ah (pertolongan) terhadap seseorang dari hukum Allah?”. Usamah berkata: “mohonkan aku ampunan wahai Rasulullah” (HR. al-Bukhari dan Muslim. Lafazh Muslim)
Kedelapan, Bererapa Ayat al-Quran dan Hadits Melakukan Kritik atau Celaan secara Langsung Namun Tetap Menjaga Nalar Argumentasi dan Sesuai Situasi Kondisinya
Celaan yang keras dan langsung setidaknya terjadi dalama tiga kondisi:
(1) Kepada orang kafir yang ingkar dan lalai. Allah SWT berfirman,
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيراً مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai akal, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka Itulah orang-orang yang lalai.” (QS. Al A’raf: 179).
Orang kafir disebut binatang ternak karena tidak menggunakan akalnya untuk memahami ayat Allah. Demikian juga, mereka tidak menggunakan mata dan telinganya untuk melihat dan mendengar ayat Allah. Binatang ternak juga masih dirasa terhormat dari pada binatang najis atau yang diharamkan.
Dalam ayat lainnya,
تَبَّتْ يَدَآ أَبِى لَهَبٍۢ وَتَبَّ ﴿١﴾ مَآ أَغْنَىٰ عَنْهُ مَالُهُۥ وَمَا كَسَبَ ﴿٢﴾ سَيَصْلَىٰ نَارًۭا ذَاتَ لَهَبٍۢ ﴿٣﴾ وَٱمْرَأَتُهُۥ حَمَّالَةَ ٱلْحَطَبِ ﴿٤﴾ فِى جِيدِهَا حَبْلٌۭ مِّن مَّسَدٍۭ ﴿٥﴾
“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begitu pula) istrinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari sabut.” (QS. Al-Lahab: 1-5)
Ungkapan, “Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa” merupakan balasan atas ucapan abu Lahab yang mengatakan, “Apakah hanya karena itu kamu mengumpulkan kami? Sungguh kecelakanlah bagimu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Allah hendak menegaskan bahwa Abu Lahablah yang sebenarnya akan binasa, bukan nabi Muhammad SAW.
(2) Dalam situasi perang. Di antaranya kisah perjalanan beliau SAW ke Hudaibiyah dan perjanjian Hudaibiyah yang disampaikan Imam al-Bukhari dalam hadits yang sangat panjang, diantara isinya adalah:
فَأَتَاهُ فَجَعَلَ يُكَلِّمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوًا مِنْ قَوْلِهِ لِبُدَيْلٍ فَقَالَ عُرْوَةُ عِنْدَ ذَلِكَ أَيْ مُحَمَّدُ أَرَأَيْتَ إِنْ اسْتَأْصَلْتَ أَمْرَ قَوْمِكَ هَلْ سَمِعْتَ بِأَحَدٍ مِنْ الْعَرَبِ اجْتَاحَ أَهْلَهُ قَبْلَكَ وَإِنْ تَكُنِ الْأُخْرَى فَإِنِّي وَاللَّهِ لَأَرَى وُجُوهًا وَإِنِّي لَأَرَى أَوْشَابًا مِنْ النَّاسِ خَلِيقًا أَنْ يَفِرُّوا وَيَدَعُوكَ فَقَالَ لَهُ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ امْصُصْ بِبَظْرِ اللَّاتِ أَنَحْنُ نَفِرُّ عَنْهُ وَنَدَعُهُ فَقَالَ مَنْ ذَا قَالُوا أَبُو بَكْرٍ قَالَ أَمَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْلَا يَدٌ كَانَتْ لَكَ عِنْدِي لَمْ أَجْزِكَ بِهَا لَأَجَبْتُكَ
Lalu Urwah mendatangi Rasulullah SAW, dan mulailah ia berbicara kepada Nabi SAW, lalu Nabi SAW menjawab seperti yang beliau sampaikan kepada Budail. Maka Urwahpun, ketika itu berkata: “Wahai, Muhammad, bagaimana pendapatmu, bila engkau habiskan perkara kaummu, apakah engkau pernah mendengar seorang dari bangsa Arab menghancurkan seluruh keluarganya sebelummu? Namun bila sebaliknya, sungguh aku tidak melihat orang-orang dan aku yakin orang-orang campuran tersebut, pasti akan lari dan meninggalkanmu”. Maka Abu Bakar berkata kepadanya: Sedot kemaluannya Latta! Apakah mungkin kami akan lari dan meninggalkannya? Maka Urwahpun menyahut: “Siapa itu?” Mereka menjawab: “Abu Bakar,” lalu Urwah berkata,”Seandainya bukan karena jasa baikmu kepadaku dahulu (yang) menghalangiku, tentu aku akan menjawab (pernyataan)mu ini.” (HR. Al-Bukhari)
Lanjutan hadits di atas,
وَجَعَلَ يُكَلِّمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكُلَّمَا تَكَلَّمَ أَخَذَ بِلِحْيَتِهِ وَالْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ قَائِمٌ عَلَى رَأْسِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَعَهُ السَّيْفُ وَعَلَيْهِ الْمِغْفَرُ فَكُلَّمَا أَهْوَى عُرْوَةُ بِيَدِهِ إِلَى لِحْيَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ضَرَبَ يَدَهُ بِنَعْلِ السَّيْفِ وَقَالَ لَهُ أَخِّرْ يَدَكَ عَنْ لِحْيَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَفَعَ عُرْوَةُ رَأْسَهُ فَقَالَ مَنْ هَذَا قَالُوا الْمُغِيرَةُ بْنُ شُعْبَةَ فَقَالَ أَيْ غُدَرُ أَلَسْتُ أَسْعَى فِي غَدْرَتِكَ
Urwah kembali berbicara kepada Rasulullah SAW. Setiap kali berbicara, maka ia memegangi jenggot Rasulullah. Dan al-Mughirah bin Syu’bah berdiri di belakang kepala Nabi SAW membawa pedang dan mengenakan tutup kepala besi, sehingga setiap kali Urwah menggerakkan tangannya ke arah jenggot Nabi SAW, maka al-Mughirah memukulnya dengan gagang pedang, dan berkata: “Tahan tanganmu dari jenggot Rasulullah SAW,” lalu Urwah pun mengangkat kepalanya dan berkata: “Siapa ini?” Mereka menjawab,”Al-Mughirah bin Syu’bah,” maka Urwah pun berkata: “Wahai, penghianat! Bukankan aku telah berusaha menghilangkan (kejelekan) pengkhianatanmu?” (HR. Al-Bukhari)
(3) Ketika menghadapi orang zhalim yang melampaui batas dari kalangan ahli kitab. Allah SWT berfirman,
وَلا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِلا الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْهُمْ وَقُولُوا آمَنَّا بِالَّذِي أُنزلَ إِلَيْنَا وَأُنزلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَهُنَا وَإِلَهُكُمْ وَاحِدٌ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka, dan katakanlah: “Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu; Tuhan kami dan Tuhanmu adalah satu; dan kami hanya kepada-Nya berserah diri”. (QS. Al-Ankabut: 46)
Ayat ini berisi larangan mendebat orang-orang Yahudi dan Nasrani melainkan dengan cara yang baik dan metode yang benar, yaitu dengan dakwah menggunakan argumentasi yang jelas. Hal demikian dikecualikan terhadap orang-orang yang zhalim di antara mereka yang melakukan penentangan dan kesombongan serta mengumumkan perang terhadap kaum muslim. Maka terhadap mereka diperlakukan secara tegas, seperti dihadapi dengan perang, hingga mereka menyerah atau membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.
Dalam Tafsir Ibnu Katsir, disebutkan bahwa orang zhalim yang dimaksud pada ayat di atas adalah orang-orang yang menyimpang dari jalan kebenaran. Mereka buta, tidak dapat melihat bukti yang jelas dan ingkar serta sombong. Maka jika sudah sampai pada tingkatan tersebut, cara berdebat tidak dapat dipakai lagi, melainkan melalui jalan kekerasan, dan mereka harus diperangi agar jera dan menjadi sadar.
Kesembilan, Sikap Kepada Penguasa yang Zhalim dan Menyengsarakan Rakyat
Penguasa zhalim yang menyengsarakan rakyat harus dikoreksi (muhasabah). Muhasabah adalah kewajiban dari setiap muslim. Hadits Nabi SAW menyifati mereka dalam bentuk celaan yang keras.
Nabi SAW bersabda dalam beberapa hadits berikut ini,
إِنَّ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى اللَّهِ وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ
“Sesungguhnya manusia yang paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan paling dekat kedudukannya di sisi Allah adalah seorang pemimpin yang adil. Sedangkan orang yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh kedudukannya dari Allah adalah seorang pemimpin yang zhalim.” (HR. Al-Tirmidzi)
ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ شَيْخٌ زَانٍ وَمَلِكٌ كَذَّابٌ وَعَائِلٌ مُسْتَكْبِرٌ
“Tiga orang yang Allah enggan berbicara dengan mereka pada hari kiamat kelak. (Dia) tidak sudi memandang muka mereka, (Dia) tidak akan membersihkan mereka daripada dosa (dan noda). Dan bagi mereka disiapkan siksa yang sangat pedih. (Mereka ialah): Orang tua yang berzina, Penguasa yang suka berdusta dan fakir miskin yang takabur.” (HR. Muslim)
مَنِ اسْتَرْعَاهُ اللهُ رَعِيَّةً ثُمَّ لَمْ يُحِطْهَا بِنُصْحٍ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الجَنَّةَ. وفي لفظ : يَمُوتُ حِينَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاسِ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ.
“Barangsiapa yang diangkat oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, kemudian ia tidak mencurahkan kesetiaannya, maka Allah haramkan baginya surga.” Dalam lafazh yang lain disebutkan, “Ialu ia mati dimana ketika matinya itu dalam keadaan menipu rakyatnya, maka Allah haramkan surga baginya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
سَيَأْتِيَ عَلَى الناَّسِ سَنَوَاتٌ خَدَّاعَاتٌ يُصَدَّقُ فِيْهَا الْكَاذِبُ وَيُكَذَّبُ فِيْهَا الصَّادِقُ وَيُؤْتَمَنُ فِيْهَا الْخَائِنُ وَيُخَوَّنُ فِيْهَا الأَمِيْنُ وَيَنْطِقُ فِيْهَا الرُّوَيْبِضَةُ قِيْلَ وَمَا الرُّوَيْبِضَةُ قَالَ الرَّجُلُ التَّافِهُ فِي أَمْرِ الْعَامَّةِ
“Akan tiba pada manusia tahun-tahun penuh kebohongan. Saat itu, orang bohong dianggap jujur. Orang jujur dianggap bohong. Pengkhianat dianggap amanah. Orang amanah dianggap pengkhianat. Ketika itu, orang Ruwaibidhah berbicara. Ada yang bertanya, “Siapa Ruwaibidhah itu?” Nabi menjawab, “Orang bodoh yang mengurusi urusan orang umum.” (HR. al-Hakim).
Nabi menegaskan kerugian mereka karena mendapatkan posisi yang buruk di hari kiamat. Bahkan surga haram atas mereka (penguasa yang zhalim). Dalam hadits riwayat al-Hakim, bahkan mereka disifati dengan istilah “ruwaibidhah”, yakni “al-rajul al-tafih” (orang bodoh). Kalau kita perhatikan itu semua sedang menggambarkan fakta yang ada pada mereka dan balasan yang akan mereka terima nanti. Bukan terkait umpatan kasar yang tanpa argumentasi. Bukan pula terkait materi dalam komunikasi dakwah kepada mereka. Karena komunikasi dakwah tetap harus dalam bingkai QS. Al-Nahl: 125, bagaimanapun kondisi kebodohan (kedunguan) mereka.
Penutup
Tabiat utama dakwah adalah menyampaikan seruan dengan hikmah (argumentasi rasional), mau’izhah hasanah (pelajaran yang baik) dan sesekali bisa mendebat dengan suatu yang lebih baik. Artinya, meski pada kondisi tertentu boleh melakukan jarh (celaan pada aspek personal), namun itu bukan tabiat utama dakwah. Kita bisa belajar bagaimana al-Quran dan al-Hadits mengajari kita untuk memilih diksi kata dan ungkapan kalimat yang tinggi dan fasih. Saat melakukan celaanpun, al-Quran melakukan dengan dengan sindiran yang efektif. Saat kita jumpai adanya celaan terbuka dalam al-Quran dan al-Hadits, itu terbatas pada beberapa kondisi tertentu, dan relevan dengan situasi kondisnya. Hendaknya juga berhat-hati terhadap dua penyimpangan dakwah sebagaimana yang diingatkan dalam kutaib Nuqthah al-Inthilaq di atas. Meski jarh itu boleh dilakukan, tetapi tujuannya semata adalah untuk menempatkan kebenaran pada tempatnya. Belajar dari para ulama hadits, lafazh jarh adalah ungkapan yang menjelaskan fakta, disertai alasan, dan memilih diksi yang pantas sesuai dengan urf masyarakat. Karena dakwah itu untuk menundukkan hati, bukan membangkitkan kebencian dan antipati publik. Ketika Nabi menyifati pemimpin zhalim dengan sifat yang buruk, itu sebenarnya sedang menggambarkan fakta dan ancaman tempat kembali mereka, bukan tentang materi komunikasi dakwah. Karena metode dakwah harus tunduk pada QS. Al-Nahl ayat 125. Namun demikian, jika ada pengemban dakwah yang dalam ujarannya tidak pantas, lalu dia zhalimi dan difitnah oleh penguasa, maka seluruh pembela kebenaran harus berdiri menolak dan melawan kesewenang-wenangan penguasa tersebut. []
Bandung, 11 April 2020