Oleh : KH Hafidz Abdurrahman, MA
PT Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoran Copper & Gold Inc. (AS). Perusahaan ini menghasilkan emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (dari 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988), di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Freeport berkembang menjadi perusahaan dengan penghasilan 2,3 milyar dolar AS. Dengan harga emas mencapai nilai tertinggi dalam 25 tahun terakhir, yaitu 540 dolar per ons. Wajar jika Mining International, sebuah majalah perdagangan, menyebut tambang emas Freeport sebagai yang terbesar di dunia.
Saham perusahaan ini dipegang oleh: (1) Freeport-McMoran Copper & Gold Inc. (AS) sebesar 81,28 persen; (2) Pemerintah Indonesia memegang 9,36 persen, dan PT. Indocopper Investama memegang 9,36 persen. Perusahaan tambang ini tidak hanya menghasilkan emas, tetapi juga tembaga, emas, perak, molybdenum dan rhenium. Selama ini hasil bahan yang di tambang tidaklah jelas, karena hasil tambangnya dikapalkan ke luar untuk dimurnikan, sedangkan molybdenum dan rhenium merupakan sebuah hasil sampingan dari pemrosesan bijih tembaga.
Freeport telah melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan tentang lingkungan hidup sehingga merusak lingkungan.
Potret Penjajahan
Dengan kekuatan uangnya, perusahaan ini bisa membeli apapun dan siapapun untuk mempertahankan kepentingannya. Inilah yang membuat perusahaan ini sejak lebih dari 48 tahun bisa bercokol di negeri ini, menguras kekayaan alamnya, dan tak tersentuh. Maka, masalah Freeport tidak mungkin bisa diselesaikan kecuali dengan memerdekakan negeri ini dari penjajahan AS. Penjajahan AS di negeri ini tidak mungkin bisa diakhiri, kecuali dengan bangkitnya rakyat, khususnya umat Islam di negeri ini untuk melawan penjajahan tersebut.
Hanya saja, kesulitan rakyat dan umat Islam di negeri untuk melepaskan diri dari penjajahan terbentur dengan banyaknya agen, kacung, dan komprador yang bekerja untuk kepentingan negara penjajah itu. Belum lagi, penyesatan opini dan politik yang mereka lakukan begitu massif, membuat rakyat dan umat di negeri ini sulit melepaskan diri dari jeratan mereka.
Namun, dengan izin dan pertolongan Allah, semuanya itu sedikit demi sedikit telah berhasil diatasi. Karena ada partai politik ideologis yang mempunyai kesadaran politik, yang terus-menerus membina rakyat dan umat di negeri ini sehingga rakyat mulai sadar. Bangkitnya kesadaran baru rakyat dan umat ini juga menandai era baru, kembalinya Khilafah ala Minhaj Nubuwwah, yang akan mengakhiri semua bentuk penjajahan di muka bumi. Termasuk di negeri ini.
Kebijakan Khilafah
Mengakhiri kontrak karya dengan Freeport bukan masalah mengakhiri kontrak biasa, tetapi mengakiri kontrak karya dengan perusahaan negara penjajah. Di sinilah masalahnya. Karena itu, sangat susah dilakukan dengan cara biasa. Mereka juga akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankan keberadaannya. Karena itu, dibutuhkan dukungan rakyat dan umat.
Dukungan ini penting, karena tanpa itu, siapapun yang berkuasa, termasuk khilafah sekalipun akan mengalami kesulitan untuk mengakhiri masalah ini. Memang benar, bagi Khilafah sangat mudah mengambil langkah, jika negeri ini sudah dibersihkan dari agen, kacung dan komprador negara penjajah. Karena, solusinya dalam pandangan Islam sudah sangat jelas.
Betapa tidak, dengan tegas Nabi SAW menyebutkan, bahwa “Kaum Muslim bersyarikat dalam tiga hal: air, padang dan api.” [HR Ahmad]. Karena itu, status tambang ini jelas merupakan milik umum, dan harus dikembalikan ke tangan umat [rakyat]. Dengan begitu, segala bentuk kesepakatan, termasuk klausul perjanjian dengan PT Freeport, begitu khilafah berdiri dinyatakan batal.
Sebab, Nabi SAW menyatakan, “Bagaimana mungkin suatu kaum membuat syarat, yang tidak ada dalam kitabullah. Tiap syarat yang tidak ada dalam kitabullah, maka batal, meski berisi seratus syarat. Keputusan Allah lebih haq, dan syarat Allah lebih kuat.” [Lihat, al-Hindi, Kanz al-‘Ummal, hadits no. 29615].
Perusahaan ini juga tidak harus dibubarkan, tetapi cukup dibekukan sementara, dan diubah akadnya. Dengan demikian, statusnya pun berubah, dari milik private menjadi milik publik dan negara. Selain bentuknya menggunakan perseroan saham (PT terbuka), yang jelas diharamkan, dan harus diubah, juga aspek kepemilikan sahamnya akan dikembalikan kepada masing-masing pemiliknya. Karena akad ini batil, maka mereka hanya berhak mendapatkan harta pokoknya saja. Sedangkan keuntungannya haram menjadi hak mereka.
Karena cara mereka memiliki harta tersebut adalah cara yang haram, maka status harta tersebut bukanlah hak milik mereka. Maka, harta tersebut tidak boleh diserahkan kepada mereka, ketika PT terbuka tersebut dibatalkan. Demikian halnya, ketika perusahaan private tersebut dikembalikan kepada perusahaan publik dan negara, maka pemilik yang sebenarnya adalah publik dan negara, bukan private. Dengan begitu, individu-individu pemilik saham sebelumnya, tidak berhak mendapatkan keuntungan dari apa yang sebenarnya bukan haknya. Kecuali, harta pokok mereka.
Dengan dinormalisasikannya kembali perusahaan publik dan negara sesuai hukum Islam, negaralah yang menjadi satu-satunya pemegang hak pengelolanya. Dalam hal ini, negara bisa mengkaji, apakah bisa langsung running, atau tidak, bergantung tingkat kepentingan perusahaan tersebut. Jika sebelumnya perusahaan ini untung, maka keuntungannya bisa diparkir pada pos harta haram. Karena, ini merupakan keuntungan dari PT terbuka, yang statusnya haram. Selain itu, ini juga keuntungan yang didapatkan individu dari harta milik publik dan negara. Setelah itu, keuntungan yang haram ini pun menjadi halal di tangan khilafah, dan boleh digunakan untuk membiayai proyek atau perusahaan milik negara atau publik yang lainnya.
Cara Mengesekusi
Sudah menjadi rahasia umum, perusahaan publik dan negara ini juga menjadi sapi perah partai, penguasa dan antek-anteknya. Karena itu, khilafah juga akan membersihkan mereka semua dari perusahaan publik dan negara tersebut.
Mereka saat ini banyak yang duduk sebagai komisaris dan direksi. Maka, dengan dinormalkannya perusahaan tersebut mengikuti hukum syara’, jabatan komisaris dan direksi seperti saat ini tidak lagi ada. Dengan begitu, mereka semua akan dibersihkan dari perusahaan-perusahaan publik dan negara tersebut.
Harta yang mereka dapatkan dengan cara yang haram itu juga akan disita sebagai harta haram, yang bukan menjadi hak mereka. Setelah itu, dikembalikan ke kas negara, dan dimasukkan dalam pos harta haram. Khilafah juga bisa menelusuri aliran dana-dana yang dikuras dari perusahaan-perusahaan publik dan negara ini ke kantong-kantong pribadi, partai atau penguasa sebelumnya. Karena ini menyangkut harta, maka kebijakan yang salah di era mereka, terlebih menyangkut hak publik dan negara, bisa diusut dan dituntut.
Dalam hal ini, dengan tegas Nabi SAW telah menyatakan: “Siapa saja yang menanami tanah milik suatu kaum, tanpa kerelaannya, maka tidak berhak mendapatkan apapun dari tanaman tersebut. Dia hanya berhak mendapatkan biaya (yang telah dikeluarkannya).” (HR al-Bukhari dan Abu Dawud dari Rafi’ bin Khadij, hadits no. 3403). Meski konteks hadits ini terkait dengan tanah, pemanfaatan tanah tanpa izin, atau tidak mendapatkan kerelaan pemiliknya, tetapi hadits yang sama bisa digunakan sebagai dalil bagi kasus lain. Termasuk kasus yang telah disebutkan di atas.
Maka, dengan cara seperti ini, seluruh aset umat ini akan bisa dikembalikan kepada pemiliknya, baik kepada negara maupun publik. Dengan alasan yang sama, apa yang telah mereka ambil dari keuntungan perusahaan tersebut juga bisa diambil kembali, karena bukan merupakan hak mereka. Begitulah, cara khilafah membersihkan perusahaan publik dan negara tersebut dari partai, pejabat dan orang-orang korup tadi.
Wallahu a’lam.[]