Babak Belur Keuangan PLN

PLN tetap wajib membayar perusahaan swasta meskipun listriknya tidak terpakai.

Surat Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada Menteri BUMN dan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait memburuknya kondisi keuangan Perusahaan Listrik Negara (PLN), bocor ke publik. Dalam surat itu disebutkan bahwa kondisi keuangan PLN terus menurun akibat semakin besarnya kewajiban BUMN itu membayar kewajiban pokok dan bunga yang tidak didukung dengan pertumbuhan penerimaan kas perusahaan.

Menurut Menkeu, kewajiban pembayaran pokok dan bunga pinjaman tersebut diproyeksikan terus meningkat di beberapa tahun mendatang sehingga berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar PLN.

Dari Laporan Keuangan PLN kuartal II-2017, utang (liabilitas) BUMN ini telah mencapai Rp 420 triliun, terdiri atas utang jangka panjang dan pendek yang masing-masing sebesar Rp 299 triliun dan Rp 121 triliun. Tahun 2017, bunga yang harus dibayar mencapai Rp 10 triliun.

Sarat Kepentingan

Babak belurnya keuangan PLN disebabkan banyak hal. Salah satu yang paling menonjol adalah penugasan pembangunan pembangkit listrik 35 ribu MW yang ditetapkan oleh Pemerintah Joko Widodo. Proyek tersebut sempat menjadi perdebatan panas di negeri ini. Pemerintah mengklaim jumlah itu sesuai dengan kebutuhan listrik nasional hingga 2019. Sementara, sejumlah pihak menganggap target tersebut terlalu besar.

Rizal Ramli, sewaktu masih menjabat sebagai Menteri Koordinator Maritim, pernah mengkritik rencana itu. Pasalnya, menurutnya, kebutuhan listrik di Indonesia dalam lima tahun ke depan maksimal hanya 16 ribu MW. Dengan demikian, akan terjadi kelebihan kapasitas listrik 19 ribu – 21 ribu MW. Masalahnya, sebagian besar pembangkit listrik itu dimiliki oleh swasta (Independent Power Producer/ IPP), yang harus dibeli oleh PLN berdasarkan Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik. Jadi, PLN tetap wajib membayar perusahaan swasta meskipun listriknya tidak terpakai.

Model proyek pembangunan pembangkit tersebut memang sangat menggiurkan investor. Bagaimana tidak, PLN sebagai pembeli tunggal di awal kontrak telah menjamin pembelian listrik dengan margin yang menguntungkan investor. Karena itu, proyek ini diminati banyak pihak, termasuk mereka yang berada dalam lingkaran pemerintah seperti Grup Bukaka miliki Jusuf Kalla dan Grup Toba Sejahtera milik Luhut Binsar Panjaitan.

Target yang besar ini juga banyak diobral ke investor asing. Investor asal Cina paling banyak terlibat dalam proyek ini.  Bukan hanya sebagai kontraktor, barang modal seperti turbin, boiler, dan generator juga didatangkan dari negara itu. Bahkan ribuan tenaga kerja Cina pun didatangkan untuk menggarap proyek ini. Padahal, kapasitas produksi yang mereka bangun banyak yang mengecewakan pemerintah.

Persoalan lain yang dihadapi PLN adalah banyak pembangkit yang dioperasikan BUMN itu kurang efisien. Salah satunya yang paling memberatkan adalah biaya bahan bakar yang sangat besar dan mahal. Meskipun Indonesia kaya sumber bahan bakar, terutama gas dan batubara, komoditas itu harus dibeli oleh PLN dengan harga pasar dari produsen yang kebanyakan milik perusahaan swasta. Sebagian mereka adalah perusahaan asing dan beberapa perusahaan kroni pejabat pemerintah.

Alhasil, masalah PLN memang semata-mata bukan perkara mikro, yang dapat diselesaikan dengan membenahi struktur keuangannya. Juga bukan masalah kepemilikan sehingga sebagian sahamnya harus diprivatisasi. Namun, masalahnya juga terkait dengan pengelolaan energi di negara ini yang sangat liberal.

Sepantasnya, penataan energi di negara ini dikelola sesuai dengan syariah Islam. Di dalam sistem tersebut, antara lain diatur bahwa sumber dan produk energi, termasuk listrik, yang berasal dari tambang yang besar seperti migas dan batubara, merupakan barang milik umum. Ia wajib dikelola oleh negara (khalifah) dan dikembalikan dengan cara yang paling maslahat bagi rakyat. [] AN

Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 205

Share artikel ini: