Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda: “man kharaja minath thâ’ati wa fâraqal jamâ’ata tsumma mâta mâta mîtatan jâhiliyyatan wa man qutila tahta râyatin ‘ummiyyatin yaghdhabu lil ‘ashabiyati wa yuqâtilu lil ‘ashabiyati falaysa min ummatî wa man kharaja min ummatî ‘alâ ummatî yadhribu barrahâ wa fâjirahâ lâ yatahâsya min mu`minihâ wa lâ yafî bidzi ‘ahdihâ falaysa minnî”
“Siapa saja yang keluar dari ketaatan dan memecah belah jamaah lalu mati, dia mati dengan kematian jahiliyah. Dan siapa yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah untuk kelompok dan berperang untuk kelompok maka dia bukan bagian dari umatku. Dan siapa saja yang keluar dari umatku memerangi umatku, memerangi orang baik dan jahatnya dan tidak takut akibat perbuatannya terhadap orang mukminnya dan tidak memenuhi perjanjiannya maka dia bukanlah bagian dari golonganku-” (HR Muslim, Ahmad, Ibnu Majah, an-Nasai).
Hadits ini menjelaskan beberapa hal: pertama, haramnya keluar dari ketaatan kepada imam/khalifah dan haramnya memecah belah jamâ’atul Muslimîn (jamaah kaum Muslim). Yang dimaksud dengan jamâ’atul Muslimîn di dalam hadits maksudnya adalah jamaah kaum Muslim yang dipimpin oleh seorang imam/khalifah. Ketentuan ini juga dinyatakan dalam banyak hadits lainnya.
Kedua, haramnya sebagian kaum Muslim memerangi sebagian lainnya, perang yang tidak dibenarkan. Larangan ini berlaku secara individu maupun kelompok. Larangan ini juga ditegaskan dalam banyak hadits lainnya. Dalam hadits lain, Rasul SAW menegaskan bahwa darah, harta dan kehormatan seorang Muslim haram bagi Muslim lainnya. Larangan ini tidak mencakup perang yang dibenarkan, misalnya memerangi khalifah yang dibaiat kedua, perang ta’dzib terhadap pelaku bughat, dsb.
Ketiga, haramnya menyeru, membela dan berperang untuk ‘ashabiyah. Hadits di atas meski redaksinya berita, karena disertai celaan maka maknanya adalah larangan. Qarinah yang ada menunjukkan ketegasan larangan itu, yaitu qarinah “falaysa min ummatiy“ atau “faqitlatuhu jâhiliyyatun“ atau disebut sebagai râyah ‘ummiyah.
Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim menyatakan: “râyah ‘ummiyyah adalah perkara buta yang tidak jelas arahnya. Begitulah yang dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal dan jumhur. Ishaq bin Rahwaih berkata: ini seperti saling berperangnya suatu kaum karena ‘ashabiyyah”.
Mula Ali al-Qari di dalam Mirqatu al-Mafâtîh mengatakan: di dalam kamus al-‘ummiyyah artinya kesombongan (al-kibru) dan kesesatan (adh-dhalâl). Al-Qari melanjutkan: “yaghdhabu yakni hâl (keterangan) menjelaskan kondisi dia marah karena ‘ashabiyah yaitu kebiasaan yang dinisbatkan kepada ‘ashabiyah, artinya bukan untuk meninggikan kalimat thayyibah. “Aw yad’û -menyeru-“ yakni menyeru yang lain untuk ‘ashabiyah. “Aw yanshuru –menolong-“ yakni dengan perbuatan, pukulan dan perang secara ‘ashabiyyah. Imam an-Nawawi berkata: maknanya berperang tanpa pandangan dan pengetahuan dikarenakan sikap ta’ashub (fanatisme) seperti perang jahiliyah dan tidak mengetahui yang benar dari yang batil, melainkan ia marah karena ‘ashabiyah bukan karena menolong agama, dan ‘ashabiyah adalah menolong kaumnya diatas kezaliman. Ath-Thaibiy berkata: sabda Rasul “tahta râyah ‘ummiyyah merupakan kinâyah (kiasan) dari jamaah yang berkumpul atau berhimpun di atas perkara yang tidak jelas, benar atau batil.”
‘Ashabiyah itu berasal dari ‘ushbah (kelompok) dan ‘ashabah (kerabat laki-laki). ‘Ashabiyah maknanya ikatan kelompok baik kelompok keturunan maupun yang lain. Nasionalisme, kesukuan, golongan, kedaerahan, jamaah, partai, kemadzhaban, dan lainnya, termasuk dalam makna ‘ashabiyah.
Hanya saja larangan atau keharaman ikatan ‘ashabiyah itu bukan berarti tidak boleh mencintai suku, daerah, keluarga, jamaah, kelompok, golongan, madzhab. Melainkan maknanya adalah tidak boleh atau haram menjadikan ikatan ‘ashabiyah itu di atas segalanya, di atas kebenaran dan di atas ikatan Islam dan keimanan, di atas ukhuwah islamiyah.
Oleh karenanya, dalam Islam tidak ada istilah right or wrong is my country, my nation, my madzhab, my party, my jamaah dan lainnya. Dalam Islam tidak ada slogan, “mau benar atau salah, yang penting negara saya, bangsa saya, mazhab saya, partai saya, jamaah saya, kelompok saya, guru saya, dan lainnya. Sikap ‘ashabiyah (fanatisme kelompok) itu harus ditinggalkan seperti yang diperintahkan Rasul SAW.
Sikap ‘ashabiyah itulah bisa menyebabkan berbagai persoalan besar di tengah umat. ‘Ashabiyah bisa membuat orang menolak kebenaran, merendahkan orang atau pihak lain. Bisa merusak ukhuwah islamiyah. Bahkan ‘ashabiyah itu bisa menyebabkan orang atau kelompok mempersekusi orang lain atau kelompok lain. Bahkan lebih dari itu, ‘ashabiyah bisa membuat kelompok bahkan bangsa saling berperang dan saling bunuh tanpa alasan yang dibenarkan. Maka ‘ashabiyah menuntun kepada kehidupan jahiliyah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [Y A]
View Comments (2)
waah baru tau saya min, saya mengenal kata ashabiyah ini dari lagu almanar dan sekarang baru ngerti maksudnya memang sangat berbahaya
Masya Allah, apalagi di jaman sekarang banyak sekali yg berbangga diri dengan organisasinya masing2 sehingga tidak mau mendengar pendapat dari yang bukan golongannya