AS Tak Bantu Lagi Saudi Perangi Yaman, Begini Kata Pengamat

 AS Tak Bantu Lagi Saudi Perangi Yaman, Begini Kata Pengamat

Mediaumat.id – Pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden yang mengatakan ‘tak ingin lagi membantu Arab Saudi untuk memerangi kelompok Houthi di Yaman’, dipandang selain untuk legitimasi keberadaan, juga sebagai upaya membangun persepsi adanya ancaman dari Iran di kawasan.

“Amerika memainkan isu Yaman ini untuk legitimasi keberadaan Amerika di Teluk termasuk untuk membangun persepsi ancaman Iran,” ujar Pengamat Hubungan Internasional Farid Wadjdi kepada Mediaumat.id, Rabu (16/2/2022).

Dengan kata lain, upaya tersebut untuk memunculkan kesan bahwa Arab Saudi serta negara-negara di sekitarnya memang terancam oleh Iran yang digambarkan AS telah mem-backup kelompok Houthi di Yaman.

“(Iran) itu membahayakan Saudi, membahayakan negara-negara Arab pada umumnya,” jelasnya.

Perlu diketahui, sikap itu disampaikan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken yang menegaskan takkan ada lagi dukungan persenjataan kepada Arab Saudi di Perang Yaman.

Bahkan sebagaimana diberitakan, AS juga telah mencabut label ‘teroris’ yang selama ini disematkan pada Houthi efektif 16 Februari 2021. Dengan kata lain, Pemerintahan Joe Biden akan menghentikan dukungan AS untuk operasi militer Arab Saudi dalam Perang Yaman.

Di sisi lain, Farid mengaitkan sikap tersebut dengan kepentingan menjual senjata atau military industrial complex yang menggambarkan hubungan antara militer suatu negara dan industri pertahanan yang memasoknya dalam hal ini AS.

“Dengan terus menghidupkan konflik di Yaman ini, dengan menimbulkan persepsi ancaman Iran terhadap wilayah Arab dan termasuk Teluk, maka mesin industri militer ini akan bergerak,” tuturnya.

Mungkin Saudi tidak secara terbuka mengatakan membeli senjata AS, atau mungkin terdapat penjualan di balik layar. Namun, kata Farid, negara-negara Teluk lainnya seperti Uni Emirat Arab yang juga merasa terancam dengan kelompok Houthi, tentu akan berpikir melakukan pembelian senjata dari AS.

Dengan demikian, lanjut Farid, alasan dari sikap AS yang terkesan tidak lagi memerangi kelompok Houthi di Yaman, juga tidak bisa dipisahkan dari konteks military-industrial complex yang selalu dibutuhkan di saat ekonomi AS melambat.

Normalisasi

Berikutnya, lanjut Farid, persepsi adanya ancaman Iran dimaksud juga dijadikan legitimasi tentang normalisasi dengan negara penjajah Yahudi. “Persepsi ancaman itu diciptakan sendiri, direkayasa sedemikian rupa dan itu menjadi alasan untuk kerja sama dengan Israel, dengan Yahudi penjajah,” urainya.

“Logikanya untuk menghadapi ancaman Iran, maka harus bekerja sama dengan penjajah Yahudi,” detailnya dengan mengatakan hal itu mulai menguat seiring dimunculkan oleh para penguasa Arab.

“Semacam game of nation. Negara-negara imperialis di kawasan Timur Tengah yang itu dengan memainkan penguasa-penguasa yang menjadi boneka mereka,” jelasnya.

Sehingga, lanjut Farid, sikap AS tersebut dinilai tidak ada hubungannya dengan kepentingan kaum Muslim.

Malah, kata Farid, konflik di Yaman sesungguhnya adalah perang proksi berebut pengaruh, kepentingan maupun kekayaan alam negeri Muslim antara negara imperialis Inggris dan AS.

Ia mengungkapkan, AS sebelumnya telah melihat Yaman sebagai sebuah wilayah strategis baik secara ekonomi maupun geopolitik, ingin menanamkan pengaruhnya secara kuat di sana.

Untuk itulah AS kerap melakukan berbagai manuver dengan tujuan menggeser pengaruh Inggris yang diketahui sudah lama bercokol di sana. “Inilah sebenarnya pangkal krisis di Yaman,” tandasnya.

Adapun negara-negara sekitar Yaman, semisal Arab Saudi, Iran dan negara Teluk lainnya, kata Farid justru merupakan negara yang dimainkan oleh AS maupun Inggris. “Manuver-manuver mereka, tindakan-tindakan mereka itu tetap dalam rangka kepentingan negara-negara imperialis tersebut,” terangnya.

Sehingga, serangan Saudi ke Yaman pun menurutnya harus dibaca dalam konteks tersebut. Maknanya, terlepas mekanisme yang ditempuh (perundingan atau pembagian kekuasaan), AS tetap ingin mempertahankan konflik di Yaman sampai pada batas pengaruhnya semakin kuat di sana.

“Amerika tidak akan membiarkan krisis ini berhenti sampai kemudian kepentingan-kepentingan Amerika terpenuhi. Menggeser, misalkan, pengaruh Inggris,” pungkasnya.[] Zainul Krian

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *