AS Larang Wali Kota Muslim Ikut Perayaan Idul Fitri di Gedung Putih, FIWS: Itu Sikap Paranoid

Mediaumat.id – Dilarangnya Wali Kota Prospect Park New Jersey Mohamed Khairullah untuk menghadiri perayaan Idul Fitri di Gedung Putih, menunjukkan sikap paranoid yang luar biasa dari Amerika Serikat (AS) atas umat Islam.

“Apa yang terjadi ini sekali lagi menunjukkan sikap paranoid yang luar biasa dari AS terhadap umat Islam,” ujar Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi kepada Mediaumat.id, Rabu (3/5/2023).

Sebab, menurutnya, tak masuk akal ketika seseorang bisa terpilih menjadi wali kota, kecuali sebelumnya telah memiliki data yang pasti sudah direkomendasikan oleh dinas rahasia The United States Secret Service.

Dengan kata lain, sambungnya, skrining atau penilaian mental hingga ideologi calon wali kota, misalnya, tentu sangatlah ketat. “Wali kota (dimaksud) itu bukan warga biasa. Tapi warga yang terkait dengan birokrasi Amerika,” sebutnya.

Tidak masuk akal lagi, imbuh Farid, kalau seorang wali kota terpilih malah dituding memiliki keterkaitan dengan terorisme.

Ditambah, bagi siapa pun yang menjadi wali kota di AS, sebelumnya tentu telah dipastikan harus tunduk kepada doktrin-doktrin sekuler berikut liberalisme di negara itu.

Aneh

Karenanya, ia pun menegaskan pelarangan ini juga menunjukkan keanehan. “Bagaimana mungkin wali kota itu kemudian dicegah untuk hadir dalam acara di Gedung Putih (hanya) karena nama wali kota ini ada dalam file (arsip) dinas rahasia Amerika?” herannya.

Adalah Wali Kota Mohamed Khairullah yang tak mendapatkan izin masuk ke Gedung Putih dari Secret Service.

Usai ditelusuri oleh Council on American-Islamic Relations (CAIR) yang sebelumnya dikabari Khairullah tentang penolakannya, kelompok kebebasan sipil Muslim terbesar di AS ini menemukan dokumen berupa Kumpulan Data Penyaringan Teroris yang berisi ratusan ribu individu.

Dalam dokumen tersebut, didapatkan data seseorang dengan nama dan tanggal lahir yang sama dengan Khairullah.

Framing

Lantaran itu, kata Farid lebih lanjut, pelarangan ini sekaligus membuktikan masih adanya islamofobia berikut framing oleh AS bahwa sesuatu, termasuk nama seseorang yang berbau Islam adalah musuh.

“Islamofobia itu sebenarnya sudah terinstal dalam paradigma keamanan Amerika yang menempatkan kelompok radikal atau kelompok teroris, terutama Islam sebagai musuh mereka,” urainya.

Sehingga, menurutnya, kejadian ini juga mengonfirmasi atau bahkan menegaskan ulang bahwa AS memang menjadikan kelompok-kelompok Islam hingga pada tingkat nama-nama yang berbau Islam menjadi musuh mereka.

Menjadi menarik, menurut Farid, ketika paranoid ini tidak bisa dilepaskan dari kebijakan-kebijakan AS sendiri yang memang cenderung menindas umat di banyak negeri Muslim.

Pun sebenarnya AS sudah menyadari bahwa sikapnya selama ini justru menjauhkan hubungannya dengan umat Islam.

“Amerika tahu persis bahwa mereka itu adalah negara yang hubungan mereka terhadap umat Islam itu bukan baik-baik saja, yakni hubungan permusuhan,” ucapnya.

Artinya, kendati AS berupaya menutup-nutupi dengan alasan bahwa yang mereka musuhi hanyalah radikalisme dan terorisme, tetapi fakta-faktanya, menurut Farid, tidak seperti itu.

“Hamas yang pada prinsipnya itu adalah (berjuang) membebaskan negeri mereka dari perampasan atau pendudukan penjajah Yahudi, itu kemudian dianggap teroris,” ulas Farid memisalkan.

Begitu pula kelompok-kelompok Islam yang melawan pendudukan AS di Afghanistan ataupun Irak, pun tak luput dari label teroris. Terlebih yang sedang berjuang menerapkan hukum-hukum syariah dalam bingkai khilafah yang mengikuti metode (manhaj) kenabian.

Dengan demikian, menurut Farid, penting kembali menegaskan bahwa pelarangan tersebut secara keseluruhan adalah cerminan islamofobia yang telah terinstal sempurna di dalam sistem politik AS yang sekuler dan liberal.[] Zainul Krian

Share artikel ini: