Arahan Terkait Ekstremisme Hingga ke Desa, Rezim Islamofobia Akut

Mediaumat.id – Arahan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian terkait pencegahan dan penanggulangan ekstremisme perlu dilakukan hingga ke tingkat desa dinilai Analis Senior PKAD Fajar Kurniawan menunjukkan rezim terjangkit islamofobia akut.

“Pernyataan Mendagri ini sesungguhnya semakin mengonfirmasi bahwa rezim saat ini menderita penyakit islamofobia yang akut,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Senin (31/1/2022).

Menurutnya, hal ini tidak pernah ada di masa pemerintahan sebelumnya. “Siapa saja yang cermat dan melakukan analisis berbagai diskursus, fakta dan perkembangan mengenai isu terorisme maupun ekstremisme ini sesungguhnya bisa dengan gamblang memahami bahwa semua itu merupakan desain negara-negara kafir penjajah untuk menyerang Islam, umat Islam dan ajaran Islam. Sehingga dengan demikian mereka akan tetap bisa mendominasi atas kaum Muslim,” jelasnya.

Ia mengatakan, penyakit islamophobia ini semakin menguat pasca peristiwa 911 yang jelas diproklamirkan oleh George W. Bush pada waktu itu bahwa pilihan bagi negara-negara di dunia hanya dua, yaitu mengikuti langkah AS untuk memerangi terorisme atau berdiri bersama kelompok teroris.

“Sehingga gaung war on terrorism (WoT) menyebar di seantero dunia. Yang kemudian pada tahapan berikutnya WoT ini berkembang menjadi war on radicalism dan war on extremism,” ujarnya.

Dan selama ini, Fajar melihat dari berbagai fakta peristiwa perang melawan terorisme, radikalisme dan ekstremisme ini sebenarnya yang paling menjadi korban adalah umat Islam.

Hal ini dibenarkan oleh John Pilger, seorang jurnalis investigatif kelahiran Australia dan saat ini bermukin di Inggris, yang menyatakan bahwa, “Korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya tak ada perang terhadap terorisme, yang ada adalah perang menggunakan alasan terorisme.”

“Sehingga jelas semua kampanye itu pada akhirnya yang disasar adalah Islam, umat Islam dan ajaran Islam. Yang dilakukan oleh Barat demi untuk membuat Islam yang lebih ramah terhadap Barat (yang menerima nilai-nilai demokrasi, menerima budaya Barat, menerima persahabatan negara-negaraBarat, dan sejalan dengan nilai-nilai masyarakat Barat), bukan Islam yang berusaha untuk berpegang teguh pada Islam dan menjalankannya secara sempurna,” tandasnya.

Ia heran, mengapa kalau disebut sebagai perang melawan terorisme, radikalisme maupun ekstremisme, tapi korbannya selalu umat Islam. “Tidak ada ceritanya tersangka terorisme, radikalisme maupun ekstremisme itu yang beragama lain selain Islam. Ini kan aneh,” ungkapnya.

“Mengapa KKB Papua tidak disebut sebagai kelompok teroris? Padahal mereka secara nyata, jelas-jelas telah menebar teror di tengah masyarakat, dan bahkan banyak pasukan TNI dan Polri yang menjadi korban kebiadaban KKB ini. Apa mereka masih kurang radikal?” tanyanya.

Fajar juga heran, mengapa yang disebut radikal itu adalah imam masjid, ulama, kiai, tokoh umat Islam, aktivis Islam dan umat Islam secara keseluruhan? “Mengapa bukan mereka-mereka yang jelas menyulut api separatisme yang layak dilabeli sebagai teroris? Inilah paradoks dari rezim ini. Inilah yang saya sebut bahwa rezim ini mengidap penyakit Islamophobia akut. KKB Papua disebut sebagai Saudara. Sementara para ulama penyeru kebenaran dan pemberi nasehat dicap sebagai kelompok radikal,” bebernya.

Demi Pilpres 2024?

Fajar menduga sangat mungkin arahan ini ada kaitannya dengan kontestasi politik tahun 2024. Karena sudah jamak menggunakan isu-isu primordial maupun isu-isu yang sensitif semacam terorsime, radikalisme dan ekstremisme, untuk mendapatkan keuntungan elektabilitas.

“Sehingga isu-isu seperti ini sangat mudah digunakan untuk menyerang lawan politik yang ingin dihancurkan popularitas dan elektabilitas. Dan celakanya, selama ini, isu-isu seperti itu masih sangat laku di publik. Sekaligus ini menunjukkan rendahnya kesadaran politik masyarakat Indonesia,” ungkapnya.

Ia yakin, isu-isu tersebut akan terus dimanfaatkan untuk mendiskreditkan lawan-lawan politik potensial, sebagaimana juga yang terjadi di Pilpres 2014 dan 2019 yang lalu. Dan yang paling sengit adalah tahun 2019 yang lalu, yakni seolah kubu lawan politik itu adalah kubu yang di-back up oleh kelompok teroris, intoleran, radikal, yang jika mereka dibiarkan menang maka Indonesia ini bisa bubar. “Jadi semacam bahan black campaign yang efektif,” tegasnya.

Bahaya

Fajar menilai, kebijakan tersebut berbahaya karena umat Islam akan selalu dipojokkan dan disalahkan serta menjadi korban. “Maka dikhawatirkan kalau kebijakan itu diterapkan, maka semakin banyak para tokoh, ulama dan aktivis yang akan dipersekusi oleh rezim,” tuturnya.

Di satu sisi, menurutnya, ini bisa menyebarkan teror di masyarakat. Dan menjadikan penyakit islamofobia ini semakin menjalar di tengah masyarakat. “Sehingga seolah-olah tuduhan-tuduhan bahwa umat Islam itu radikal menjadi benar adanya,” pungkasnya. [] Achmad Mu’it

Share artikel ini: