Apakah Umat Memiliki Sarana untuk Mengakhiri Pendudukan Palestina?

 Apakah Umat Memiliki Sarana untuk Mengakhiri Pendudukan Palestina?

Army soldiers take their positions in front of protesters who are against Egyptian President Mohamed Mursi, near the Republican Guard headquarters in Cairo July 3, 2013. A meeting between the head of the Egyptian armed forces, liberal opposition leaders and senior Muslim and Christian clerics, has ended and a statement will be issued within the hour, the armed forces said in a statement on Facebook on Wednesday. REUTERS/Amr Abdallah Dalsh (EGYPT – Tags: POLITICS CIVIL UNREST MILITARY)

Sejak berdirinya, entitas Zionis telah memproyeksikan kekuatan militernya dengan mitos tak terkalahkan. Berbagai mitos ini telah diproyeksikan dan disebarluaskan untuk menundukkan umat agar patuh pada legitimasinya. Banyak dari mitos-mitos itu yang tidak hanya secara aktif ditunjukkan oleh Zionis, tetapi dibiarkan hidup oleh tindakan berbagai penguasa Muslim bermuka dua yang berbahaya. Artikel ini fokus pada realitas mesin militer Zionis dan membandingkannya dengan kemampuan militer negara-negara Muslim di sekitarnya.

Entitas Zionis pada awalnya adalah sebuah konstruksi artifisial yang dimasukkan oleh kekuatan kolonial ke dalam wilayah tersebut. Dari tahun 1900 hingga berdirinya pada tahun 1947, kaum Zionis dari Eropa bermigrasi dalam jumlah besar ke Palestina. Mereka mulai mencuri tanah penduduk Palestina dan mengusir mereka untuk mendapatkan entitas ilegal mereka. Sejarah kriminal ini tetap menjadi pusat dilema keamanan Zionis hingga hari ini. Sifat artifisialnya berarti entitas Zionis menderita tantangan geografis, ekonomi, demografi, dan teknologi yang signifikan yang bersifat permanen dan tidak terpecahkan.

Yang paling signifikan dari tantangan ini adalah kurangnya kedalaman strategis dari entitas itu. Negara ini memiliki kurang dari 13.000 mil persegi tanah, yang membuatnya lebih kecil dari Wales. Di wilahnya yang paling sempit, entitas Zionis hanya memiliki lebar 6 mil. Seorang pejuang dari pihak yang berseteru bisa terbang melintasi titik terlebarnya (40 mil laut dari Sungai Yordan ke Laut Mediterania) dalam waktu kurang dari empat menit. Karena alasan inilah, entitas Zionis memiliki penduduk yang padat. [1]

Entitas Zionis memiliki angka yang kecil dalam hal demografi. Populasinya hanya sekitar 8,5 juta orang. Sebagai perbandingan, terdapat 22 juta orang di Suriah (sebelum perang) dan hampir 100 juta di Mesir. Dengan kata lain, entitas Zionis yang berjumlah 8,5 juta orang itu dikelilingi oleh 427 juta Muslim. Ini berarti entitas Zionis tidak dapat menempatkan pasukan yang besar dibandingkan dengan negara lain di wilayah tersebut, karena penduduknya yang kecil, sehingga harus bergantung pada pasukan cadangannya. Ukuran populasi yang kecil ini juga meningkatkan kepekaannya terhadap kerugian di pihak sipil dan militer. Kekalahan hanya pada satu perang bisa berarti akhir dari negara itu. Dengan demikian sejak tahun 1948, entitas rapuh ini telah menghadapi ancaman eksistensial untuk bisa bertahan hidup dari negara-negara sekitarnya serta aktor non-negara. Tantangan mendasar bagi entitas Zionis adalah bahwa persyaratan keamanannya melampaui kemampuan militernya, sehingga membuatnya secara terus menerus dan permanen bergantung pada kekuatan luar.

Tantangan yang tercipta untuk entitas Zionis ini digariskan oleh George Friedman dari Stratfor: “Pusat gravitasi tantangan bagi “ Israel” selalu adalah Mesir. Sebagai negara Arab terbesar, dengan sekitar 80 juta orang penduduk, Mesir bisa menjadi negara dengan pasukan tentara yang paling besar. Lebih penting lagi, Mesir bisa mendapatkan jumlah korban jiwa dengan tingkat yang jauh lebih tinggi daripada “Israel”. Bahaya yang ditimbulkan oleh tentara Mesir adalah bahwa mereka dapat memukul “Israel” dari belakang dan terlibat dalam pertempuran yang ekstensif dan berkepanjangan yang akan mematahkan punggung “Israel”. Pasukan pertahanannya bisa memberlakukan tingkat gesekan yang tidak dapat dipertahankan oleh “Israel”.. . Jika “Israel” harus secara bersamaan terlibat perang dengan Suriah, membagi pasukannya dan kemampuan logistiknya, Israel bisa kehabisan pasukan jauh sebelum Mesir, bahkan jika Mesir mendapatkan jumlah korban jauh lebih banyak. “[2]

Sebagai negara kecil dengan sedikit fleksibilitas dalam penggunaan lahan sebagai zona penyangga, dengan kapasitas terbatas untuk mengalami sejumlah besar korban militer atau sipil, dan kendala ekonomi dan sosial, mengakhiri dengan cepat bagi setiap perang besar sangatlah penting bagi Zionis dan ini telah mendominasi doktrin militernya. Pada awalnya, Zionis menghadapi ancaman kepunahan di tangan tentara Arab yang berkumpul, bahwa jika mereka menyerang bersama, akan membanjiri negara itu dalam sebuah invasi. Inilah sebabnya mengapa doktrin militer Zionis selalu mempertahankan apa yang mereka miliki dan memperluas untuk mendapatkan sebanyak mungkin tanah di sekitarnya. Ini berarti memiliki kekuatan yang bisa bergerak bersama dengan angkatan udara dalam melakukan serangan sepihak.

Hal ini menyebabkan lahirnya pendekatan ofensif entitas itu, dengan cara memancing untuk memindahkan peperangan ke wilayah musuh, memberikan serangan pendahuluan (pre-emptive), mendapatkan kemenangan cepat dengan memusatkan serangan pada satu front saat mempertahankan front lainnya, dan meningkatkan kemampuan untuk menggeser upaya utama dari satu front ke front dengan cepat. Hal ini menyebabkan investasi besar pada angkatan udara sebagai senjata militer utamanya. Pada tahun 1953, Perdana Menteri David Ben-Gurion menjelaskan hal ini: “Dominasi di udara, lebih dari faktor lainnya, akan memastikan kemenangan kita, dan sebaliknya.” [3] Angkatan udara dari entitas itu pada hari ini tetap menjadi militer yang paling canggih.

Dengan kemungkinan peperangan dengan banyak tentara Arab, doktrin entitas Zionis berusaha menyeimbangkan kelemahan kuantitatifnya dengan senjata yang secara teknologi lebih tinggi kepada tetangga Arabnya. Dengan melalui bantuan dari Barat, entitas Zionis mampu mengembangkan pesawat-pesawat tempur, kapal-kapal angkatan laut, amunisi, senjata-senjata kecil, rudal-rudal dan elektronik. Entitas Zionis yakin pihaknya harus mempertahankan Qualitative Military Edge (QME) atas negara-negara Arab tetangga – yakni suatu konsep bahwa negara itu harus bergantung pada peralatan dan pelatihan yang unggul untuk mengimbangi populasi yang lebih kecil dengan basis perekrutan yang relatif terhadap negara-negara Arab.

Penduduknya yang kecil memiliki efek langsung pada ekonomi yakni kurangnya tenaga kerja. Entitas Zionis hanya memiliki angkatan kerja sebesar 3,3 juta. Pembangunan ekonomi dan pengembangan industri adalah padat karya dan bergantung pada retensi pengetahuan dan keterampilan. Dengan angkatan kerja yang kecil, entitas Zionis bergantung pada pengetahuan dan keahlian asing.

Ekonomi entitas Zionis bernilai $ 387 miliar, ini terlalu kecil untuk melayani populasi entitas. Hal ini berdampak pada seberapa banyak pajak yang dikumpulkan pemerintah karena entitas mensubsidi orang-orang Yahudi dunia untuk bermigrasi ke entitas itu untuk menormalkan jumlah pendudukannya. Akibatnya, entitas tersebut terfokus pada industri kunci untuk kelangsungan hidupnya. Ini berarti banyak industri seperti pertambangan dan manufaktur telah terabaikan. Untuk mengimbangi hal ini entitas mengandalkan teknologi, bantuan militer dan transfer bantuan asing. Hal ini juga bergantung pada orang-orang Yahudi berpengaruh di seluruh dunia, terutama di AS untuk mempengaruhi kebijakan luar negeri dari negara-negara yang mendukungnya. Entitas Zionis yang memiliki ketergantungan besar pada kerja sama negara lain karena swasembada bukanlah pilihan.

Entitas Zionis memiliki defisit energi yang besar, yang berarti entitas harus selalu mengimpor energi. Entitas sangat bergantung pada impor eksternal untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan energinya, membelanjakan jumlah yang signifikan dari anggaran domestiknya untuk sektor transportasi yang bergantung pada bensin dan solar, sementara sebagian besar produksi listriknya dihasilkan menggunakan batu bara impor.
Alih-alih menjadi raksasa militer, entitas lemah ini selalu rentan terhadap tetangganya. Namun, entitas menerima dukungan keamanan besar-besaran dari perjanjian damai 1979 dengan Mesir. Entitas Zionis kemudian memiliki tangan yang lebih bebas untuk fokus pada aktor non-negara dan merasa mampu mempercepat pembangunan permukiman, meningkatkan pengusiran orang-orang Palestina dari tanah mereka dan memperluas kegiatan ekonominya.

Dalam invasi 1982 di Lebanon, berbagai intifadas Palestina dan perang dengan Hizbullah di tahun 2006 dan Hamas di Gaza pada tahun 2008, kepentingan Zionis dirusak, tetapi kelangsungan hidupnya tidak dipertanyakan. Baik Hizbullah maupun Hamas tidak memiliki formasi lapis baja yang besar, juga tidak memiliki potensi untuk menyerang atau menduduki posisi Zionis yang dipertahankan dengan baik.

Hari ini, doktrin entitas Zionis sepenuhnya diarahkan pada peperangan asimetris. Peperangan ini terdiri dari peperangan asimetris di lingkungan perkotaan, di mana tentara dengan sengaja menargetkan infrastruktur sipil, sebagai sarana untuk mendorong penderitaan bagi penduduk sipil.

Industri pertahanannya telah dibangun untuk menghadapi situasi genting. Karena memiliki populasi yang sangat kecil, terlalu kecil bagi pemerintah untuk mengumpulkan pajak yang cukup untuk membiayai basis industri besar. Ini artinya investasi dalam platform militer besar sangat mahal karena investasi besar diperlukan untuk mempertahankan posisi terdepan di wilayah tersebut. Entitas Zionis juga terbatas dalam membeli platform dari luar negeri, karena biayanya yang tinggi, meskipun telah secara konsisten menemukan patron asing untuk mengatasinya, para politisi sejak awal telah menemukan bahwa penjualan pertahanan telah dilakukan dengan persyaratan.

Entitas Zionis menghadapi realitas militer yang genting, yang tidak dapat diubah oleh jumlah pembangunan militer. Meskipun menerima dana AS dan peralatan militer yang signifikan, entital gagal untuk mengubah fakta bahwa jumlah itu melebihi jumlah yang diperlukan. Milisi bersenjata telah mampu mengungkap kelemahan Zionis dalam berbagai kesempatan – bahkan saat wilayah sekitarnya memiliki tentara konvensional yang besar mereka hanya duduk di pinggir sebagai penonton. Upaya kaum Zionis untuk mengembangkan platform lokal telah gagal pada sebagian besar kesempatan karena kurangnya kekuatan ekonomi untuk mempertahankan proyek-proyek besar semacam itu. Inilah sebabnya mengapa entitas bergantung pada pertolongan AS.

Sikap militer agresif Zionis adalah tindakan hubungan masyarakat untuk menghalangi dan membuat kebingungan bagi mereka yang mungkin bertanya-tanya mengapa para penguasa Arab dan kaum Muslim tidak melakukan apa pun untuk membebaskan Palestina. Para penguasa Arab sendiri senang menyulut kisah tentang orang-orang yang tak terkalahkan dan berbahaya sebagai suatu pembenaran atas pengkhianatan, tindakan pengecut, dan keengganan untuk bertindak. Entitas Zionis tidak memiliki kedalaman strategis untuk pertempuran intensitas panjang dan selain dari angkatan udaranya yang memiliki kemampuan proyeksi kekuatan yang kecil. Perjuangan Zionis yang akan tetap mencoba mempertahankan keunggulan kualitatif atas tetangganya, sesuatu yang tidak dimiliki oleh perekonomiannya untuk dipertahankan.

Mesir

Hingga perang 1967 dengan entitas Zionis, doktrin militer Mesir dipusatkan pada pengamanan wilayah-wilayah kunci Mesir. Formasi tentara dibagi menjadi empat wilayah
komando regional – Suez, Sinai, Delta Nil, dan Lembah Nil hingga ke Sudan. Wilayah Mesir selain itu, yang lebih dari 75%, adalah satu-satunya tanggung jawab Korps perbatasan yang kecil. Pengendalian dalam negeri adalah prioritas untuk Nasser, sehingga meninggalkan pertahanan pesisir kepada pasukan perbatasan yang kecil.

Setelah terjadinya penghinaan pada tahun 1967 karena kalah perang, tentara direorganisasi, dan reorientasi terjadi dalam postur militer Mesir. Dua kelomppok tentara lapangan lebih lanjut organisir dari pasukan darat yang ada – Angkatan Darat Kedua dan Angkatan Darat Ketiga, yang keduanya ditempatkan di bagian timur negara itu.

Doktrin perang Mesir, yang berasal dari Inggris, tidak cocok dengan pertempuran yang dihadapi oleh entitas Zionis. Pada tahun 1967, entitas Zionis dianggap telah memenangkan kemenangannya yang paling lengkap atas Mesir, serta Yordania dan Suriah.

Setelah perang 1967 dan sepanjang tahun 1970-an senjata Soviet mengalir ke Mesir yang juga menyebabkan restrukturisasi tentara Mesir yang selama puluhan tahun yang telah dirancang hampir sepenuhnya untuk mengendalikan penduduk, namun tidak untuk menghadapi musuh-musuh umat. Postur militer yang baru menyebabkan invasi yang mengejutkan dari entitas Zionis dalam perang tahun 1973, di mana Zionis sepenuhnya tanpa penjagaan. Sementara pasukan darat dan perwira senior ingin menekan keuntungan mereka dalam posisi menang, Anwar Sadat hanya tertarik untuk menemukan cara untuk mengejar perundingan perdamaian dan dengan demikian gagal mendorong pulang keuntungan yang didapat dari wilayah yang direbut kembali. Pada tahun 1979 perjanjian damai Zionis-Mesir ditandatangani, yang menormalkan hubungan antara kedua negara, yang akhirnya mendorong Zionis untuk mundur dari Sinai, sehingga meninggalkannya sebagai zona demiliterisasi.

Tentara Mesir memiliki kekuatan 468.500 personel aktif, dengan cadangan 479.000 personil. Ini adalah pasukan yang berposisi di darat, dimana pasukan darat sangat mendominasi seluruh pasukan. Formasi tentara terdiri dari 3 unit tentara lapangan yang tersebar di 9 pangkalan militer yang terdiri dari unit-unit persenjataan, artileri dan mekanik.

4.145 tank di Mesir terdiri dari 1.130 tank adalah tank M1 Abrams AS. Militas Mesir telah mengalami beberapa peningkatan, termasuk, mesin-mesin perang baru, penambahan senjata yang ekstensif, mesin perang lapis baja, sistem kontrol kebakaran dengan komputer balistik, perangkat penglihatan inframerah, pengintai laser dan penstabil senapan yang ditingkatkan. Mesir telah memproduksi tank M1 Abrams dengan lisensi dari AS.

Ukuran besar pasukan darat Mesir selalu mengkhawatirkan banyak pembuat kebijakan barat. Mereka dianggap sangat tidak proporsional. Shana Marshall dari Institut Studi Timur Tengah di Universitas George Washington menyoroti: “Tidak ada skenario yang bisa dibayangkan di mana mereka membutuhkan semua tank yang kurang jika ada invasi asing.” [4]

Pesawat tempur Mesir didominasi oleh 240 F-16 AS, dan 76 Mirage Prancis. Pada tahun 1962 Mesir melakukan program besar dengan bantuan para teknisi Jerman untuk merancang dan membangun jet-jet tempur supersonik, tetapi pemerintah menghentikan proyek itu karena ketegangan keuangan yang disebabkan oleh perang Enam Hari 1967.

Pasukan Mesir dianggap yang terkuat jika diukur relatif terhadap negara-negara Afrika dan Timur Tengah. Militer Mesir sendiri dianggap sebagai yang kesepuluh terkuat di dunia menurut beberapa perkiraan, dan jika digunakan untuk tujuan ofensif akan menjadi kekuatan yang diperhitungkan. Namun, pada hari ini, potensi besar dari angkatan bersenjata itu dibelenggu untuk dipimpin di bawah Sisi dan para kroninya, yang tidak memiliki visi, ambisi atau prinsip, apalagi kemampuan untuk memahami bagaimana negeri Muslim dapat dibebaskan dan diubah oleh sistem Islam.

Turki

Doktrin militer Turki untuk waktu lama disusun untuk menemui musuh di perbatasannya dan berperang dengan mundur dari perbatasan secara terstruktur. Gambaran ini tidak berubah hingga awal 1990-an. Sampai saat itu militer Turki menempatkan Rusia, Yunani, Irak, Iran, dan Suriah sebagai ancaman atas keamanan berdasarkan klaim yang mereka rasakan pada wilayah Turki dan kemampuan untuk memproyeksikan kekuatan konvensional. Hingga pembubaran Pakta Warsawa pada tahun 1990, Angkatan Darat Turki memiliki misi pertahanan statis untuk melawan setiap serangan yang mungkin terjadi di Thrace oleh pasukan Pakta Soviet dan Warsawa serta setiap serangan dari Distrik Militer Transkaukasus Soviet di perbatasan Kaukasus.

Dengan jatuhnya Uni Soviet pada 1991, hal ini mengarah pada pemikiran ulang di dalam tubuh tentara mengenai postur dan kemampuan angkatan bersenjata. Turki tidak memiliki industri pertahanan dalam negeri dan masih menggunakan peralatan yang ketinggalan jaman. Para perencana militer memilki visi adanya pasukan darat yang ditambatkan oleh baju besi berat dan infanteri mekanik yang dapat bergerak cepat melalui jalan darat atau melintasi negara terbuka dengan pertahanan udara organik. Sebagai pengganti pertahanan statis yang mengandalkan sistem persenjataan yang lebih tua, para perwira Turki memutuskan untuk menciptakan kekuatan manuver yang sangat mobile. Angkatan udara dan angkatan laut memainkan peran sekunder dan pendukung dalam strategi militer ini. Doktrin baru ini juga
Doktrin baru ini juga memperkenalkan program modernisasi militer Turki, yang kini memasuki dekade kedua di mana Turki secara bertahap bergerak untuk mengembangkan platform militer pribumi.

Angkatan bersenjata Turki terdiri atas lebih dari 1 juta personel, termasuk 378.000 pasukan cadangan. Angkatan Bersenjata terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut (termasuk Angkatan Laut dan infanteri Angkatan Laut) dan Angkatan Udara. The Gendarmerie dan Coast Guard, keduanya memiliki fungsi penegakan hukum dan militer. Kekuatan darat Turki yang berjumlah 402.000 personel, adalah bagian terbesar dari angkatan bersenjata.

Para perencana militer telah membuat langkah signifikan dalam Proyek Produksi Tangki Nasional (MİTÜP – Milli Tank Üretimi Projesi), sebuah prakarsa yang dikembangkan pada pertengahan tahun 1990-an untuk produksi, pengembangan, dan pemeliharaan tank-tank tempur utama. Proyek ini dimulai dengan perjanjian yang ditandatangani antara Otokar dan Undersecretariat untuk Industri Pertahanan pada 2007, yang bernilai sekitar $ 500 juta untuk merancang, mengembangkan dan memproduksi 4 prototipe Tank Tempur Utama, dengan hanya menggunakan sumber daya Turki. Otokar memproduksi prototipe pertamanya pada tahun 2009 dan dari 3 Juli hingga 10 Juli 2013 pengujian selesai ‘Altay’. Selama dekade berikutnya, 3000 tank Turki akan digantikan oleh Altay generasi ketiga yang dibangun secara pribumi.

Angkatan udara Turki terdiri dari para pejuang tempur modern yang didominasi oleh pesawat F-16, yang dilengkapi dengan 152 pesawat tempur F-4 Phantom. Angkatan udara Turki berlatih secara intensif dengan para instruktur AS dan NATO untuk mengoperasikan F-16. Sekarang cukup kompeten untuk melatih pasukan udara lainnya, seperti Chile dan UEA, dalam operasi F-16 yang sama.

Turki terus merakit F-16 di bawah lisensi, namun, memiliki rencana untuk Turkish Aerospace Industries (TAI) untuk mengurangi ketergantungannya pada jet tempur yang diproduksi AS. Pada tahun 2010, SSM menyediakan TAI sejumlah $ 20 juta, untuk mendesain pesawat tempur baru, yang kemudian dikembangkan dan diproduksi oleh TAI dalam kemitraan dengan perusahaan asing pada tahun 2020.

Pada tahun 2010, Turkish Aerospace Industries (TAI) mempresentasikan wahana udara tanpa awak (ALAV) jarak medium dan tahan lama yang pertama (MALE) yang diproduksi oleh perusahaan Turki. Hal ini kemungkinan akan didapatkan tidak hanya oleh Angkatan Udara Turki tetapi juga oleh Angkatan Darat dan Angkatan Laut, yang saat ini sama-sama mempekerjakan lebih dari 200 MALE dan Mini-UAV.

Program pengembangan yang paling ambisius dan paling mahal di Turki, yakni TFX adalah pesawat tempur siluman Generasi Kelima, yang diharapkan untuk memulai uji coba penerbangannya pada 2023 TFX adalah program tempur generasi berikutnya yang bekerja sama dengan Saab Swedia dan dirancang untuk menggantikan armada F-Turki. 16C / Ds yang dimulai pada 2020-an.

Turki saat ini memiliki sekitar 111 kapal yang ditugaskan di angkatan laut (tidak termasuk kapal tambahan kecil). Ini menjadikan Turki angkatan laut armada paling kuat di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Angkatan bersenjata Turki didominasi oleh struktur yang berpusat di daratan, yang memberikan kemampuan ofensif yang signifikan. Sekarang tidak bertransisi pada kekuatan yang lebih mobile dan bergerak menjauh dari struktur statis. Sejalan dengan peran regionalnya, pasukannya hanya akan tumbuh dalam kemampuannya. Turki memiliki sumber daya yang sangat besar, yang harus diarahkan kepada musuh-musuh umat, dan menanggulangi krisis keamanan dan wilayah-wilayah pendudukan negeri-negeri Islam. Alih-alih adanya peran yang dibanggakan dan mulia ini, militer Turki di bawah kepemimpinan Erdogan malah melakukan pekerjaan kotor dari pemerintah AS, yang memperparah ketidakstabilan di kawasan itu dan bukannya mengakhirinya.

Iran

Dasar dari doktrin militer Iran saat ini dikembangkan selama perang Iran-Irak yang panjang (1980-1988). Konsep-konsep seperti kemandirian, pertahanan suci dan ekspor revolusi pertama kali memasuki leksikon militer selama Perang Iran-Irak dan dikodifikasi sebagai doktrin pada awal 1990-an. Ide-ide ini bercampur dengan konsep-konsep dari doktrin pra-revolusioner, yang sangat dipengaruhi oleh AS, untuk membentuk hibrida unik yang membedakan doktrin militer Iran modern dari rekan-rekannya yang sebagian besar diilhami Soviet di dunia Arab.

Dengan embargo yang efektif terhadap penjualan militer, pasukan bersenjata Iran menyesuaikan dengan strategi perang untuk melawan musuh yang unggul secara teknologi. Diam-diam mengakuinya, militer memiliki sedikit kesempatan untuk memenangkan konflik kekuatan konvensional jika berhadapan langsung, Iran memilih model serangan gesekan berbasis deterensi yang meningkatkan risiko dan biaya dari pihak lawan, daripada mengurangi risikonya sendiri.

Iran mengimbangi ketidakmampuannya untuk memodernisasi kekuatan konvensionalnya, penundaan dalam upaya produksi militernya, dan membatasi persenjataannya dengan membangun berbagai jenis kekuatan militer.

Pusat ini adalah Korps Pengawal Revolusi Islam (IRGC), yang terdiri dari sekitar 125.000 orang. Menjadi kekuatan kecil dan tidak terbatas pada formasi militer konvensional, IRGC adalah senjata utama Iran di wilayahnya. Kepentingannya juga dapat dilihat dari fakta bahwa angkatan udara IRGC mengoperasikan pasukan rudal balistik Iran.

Strategi militer Iran bersandar pada sejumlah asumsi, dimana militer menganggap perang negara dengan negara adalah mustahil, yang merupakan kelemahan dari strategi asimetris apa pun. Karena strategi ini, Iran telah mengabaikan dan berjuang untuk memodernisasi kekuatan konvensionalnya. Biaya yang dikeluarkan terlalu tinggi bagi ekonomi dan anggaran Iran untuk ditanggung dan akibatnya, semua investasinya berada dalam kemampuan asimetrisnya.

Iran bergantung pada rudalnya dan pasukan tidak teratur untuk mempertahankan dari ancaman asing. Pasukan konvensionalnya kurang terlatih dan tidak dilengkapi dengan baik dan secara kualitatif kalah kuat dibandingkan kekuatannya yang tidak teratur. Namun, memiliki kekuatan tidak teratur yang canggih memberikan keuntungan bermanfaat bagi Iran.

Dengan kekuatan tidak teratur yang lebih kecil, Iran dapat mengerahkan pasukan lebih cepat karena pengerahan akan lebih kecil dan tidak mekanis. Hal ini akan memberikan keuntungan yang signifikan atas musuh yang harus mengerahkan kekuatan besar, dengan peralatan yang jauh lebih berat, yang akan menunda intervensi apa pun.

Kekuatan tidak teratur juga lebih murah untuk dipertahankan karena mereka menggunakan senjata dan teknologi yang lebih ringan. Tidak seperti tentara AS, pasukan Iran tidak memerlukan latihan yang rumit untuk menjaga kesiapan. Mengingat bahwa kapal-kapal patroli Iran, kapal-kapal perang, dan kapal-kapal selam berada dalam posisi untuk menembakkan senjata mereka segera setelah mereka berlabuh dari pelabuhan mereka, model perang maritim asimetris Iran mengasumsikan bahwa setiap konflik maritim akan terjadi dalam jarak dekat, tanpa saling ketergantungan yang kompleks dari posisi kapal sebelumnya. Angka dan kecepatan akan menjadi lebih penting dalam konteks ini daripada pelatihan tingkat lanjut.

Karena strategi maritim Iran tidak memerlukan penyebaran jarak jauh atau pergerakan kapal yang kompleks dan simultan di laut, latihan angkatan laut Iran difokuskan untuk melatih kemampuan dasar, memastikan bahwa jika angkatan laut konvensional dan angkatan laut IRGC harus berperang, mereka dapat mengeksekusinya pada jarak pendek, dengan durasi pendek, dan taktik perang asimetris yang sederhana secara teknologi. Angkatan laut dan angkatan laut IRGC konvensional sama sekali tidak mampu melakukan pertempuran maritim tradisional seperti Angkatan Laut AS, tetapi mereka tidak perlu melakukannya; mereka hanya perlu mampu melakukan taktik asimetris sederhana dengan andal.

Pembangunan militer Iran yang paling sukses berada di wilayah rudal. Pada tahun 1991, Iran mengumumkan produksi rudal balistik pertama di dalam negeri. Ketidakmampuan Iran untuk memodernisasi kekuatan udaranya berarti pertahanan udaranya lemah, karena Iran membangun pasukan rudal strategisnya sebagai cara yang hemat biaya untuk mengkompensasi kelemahannya.

Para pemimpin Iran telah menyatakan bahwa mereka mengoperasikan beberapa ribu rudal balistik jarak pendek dan menengah, termasuk Shahab-3 dengan jangkauan hingga 2.100 kilometer. Industri militer Iran memulai program pengembangan rudal dengan sungguh-sungguh selama perang melawan perang Iran yang panjang dan mahal dengan Irak. Selama perang, Iran menemukan bahwa mereka tidak dapat menyerang fasilitas atau sasaran tertentu Irak dengan pasukannya sendiri. Hal ini menyebabkan program pengembangan rudal ambisius yang masih berlanjut. Saat ini, Iran sedang mengembangkan peluncuran kendaraan dan rudal balistik jarak menengah yang canggih. Rudal-rudal balistik Iran memiliki kemampuan untuk mengirimkan berbagai bahan peledak konvensional yang tinggi di wilayahnya dan sekitarnya.

Seri rudal Shahab adalah desain asli yang berasal dari rudal Scud dasar. Saat ini Shahab cukup akurat untuk mencapai target area besar tertentu seperti bandara atau fasilitas pelabuhan dan memiliki muatan yang cukup besar untuk menyebabkan kerusakan yang signifikan. Ada sejumlah desain turunan dari seri Shahab, termasuk Qiam 1 dan Ghadr-110, tetapi untuk semua tujuan praktis, hal ini dapat dianggap sebagai bagian dari seri rudal Shahab. Shahab-1 dan Shahab-2 pada dasarnya merupakan rudal Scud terbaru dan diklasifikasikan sebagai Rudal Balistik Jarak Pendek (SRBM), tetapi Shahab-3 dan Shahab-4 jauh lebih mampu dan mewakili peningkatan yang signifikan dalam jangkauan, muatan, dan ketepatan. Shahab-3 adalah rudal balistik jarak menengah pertama (MRBM) dalam inventaris Iran. The Shahab-4, yang masih dalam pengembangan, akan memiliki peningkatan jangkauan 2.000 kilometer.

Serial rudal Sejil adalah peningkatan turunan dari seri rudal Shahab dengan beberapa perbaikan teknologi penting. Fitur yang paling penting dari seri rudal Sejil adalah bahwa mereka diberdayakan dengan bahan bakar padat, sehingga memberi mereka keuntungan operasional yang signifikan di atas standar Shahab cair-bahan bakar. Karena misil berbahan bakar padat siap pakai, mereka tidak memerlukan proses pengisian bahan bakar cair yang terpisah. Oleh karena itu, misil berbahan bakar padat memiliki siklus peluncuran yang jauh lebih pendek daripada misil berbahan bakar cair. Dalam hal jangkauan, dasar dari rudal Sejil kira-kira sebanding dengan Shahab-4 dan diklasifikasikan sebagai Rudal Balistik Jarak Medium. Dalam hal efektivitas operasional, secara signifikan lebih mematikan, karena memiliki siklus pemotretan yang lebih pendek dan lebih cepat, memberikan pertahanan rudal yang lebih sedikit unruk bereaksi. Sejil konon menggabungkan bahan bakar dua tahap dan bahan bakar padat – keduanya merupakan langkah signifikan dalam program rudal Iran. Iran mengklaim bahwa rudalnya memiliki jangkauan 1.200 km dan secara signifikan meningkatkan akurasinya. Dalam situasi yang serupa dengan Turki, terlepas dari retorika anti-Zionis para penguasanya, kemampuan militer Iran diarahkan untuk memecah umat dan menari bersama dalam nada kolonialis, daripada mengakhiri pendudukan Palestina.

Arab Saudi

Arab Saudi sudah lama menjadi pembeli senjata global terbesar di dunia dan pelanggan terbesar Amerika. Arab Saudi – selama dekade terakhir telah menjadi salah satu pengimpor senjata terbesar dunia. Sementara Arab Saudi memproduksi peralatan militer yang sangat sedikit, mereka telah menggunakan sumber daya minyak dan gas umat untuk mempersenjatai diri dengan persenjataan dunia yang paling canggih dan terbaru. Sementara sebagian besar hal itu membuat para pekerja asing tetap bekerja, tindakan Saudi secara global tidak mencerminkan posisi ini.

Inventaris senjata saat ini termasuk tank tempur terbaru (M-1A2 Abrams dan 290 AMX – 30), lebih dari 300 jet termasuk Eurofighter Typhoon yang baru diperoleh dan upgrade dari Tornado IDS, F-15 Eagle dan F-15E Strike Eagle fighter aircraftes. Akan mengejutkan banyak orang jika mengetahui bahwa kekuatan militer Saudi dan teknologinya bisa sebanding dengan banyak negara Eropa dan lebih unggul dari entitas Zionis di banyak hal.

Jika memasukkan konteks kekayaan kekayaan militer ini, ketidakmampuan rezim Saudi untuk memberikan perlindungan apa pun kepada umat Islam dalam krisis baru-baru ini tidak lebih dari tindakan kriminal.

Analisa

Kesimpulannya, terlepas dari mitos dan retorika, entitas Zionis menghadapi banyak rintangan untuk bertahan hidup di wilayah di mana entitas itu benar-benar kalah jumlah dan kalah senjata. Dalam pertempuran serius apa pun, kelangsungan hidupnya akan dipertanyakan. Di setiap wilayah di mana entitas Zionis tidak memiliki kemampuan, bangsa-bangsa di sekitarnya berlimpah.

Keuntungan terbesar tentara Muslim sekitarnya memiliki kekuatan darat yang besar. Dalam perang apa pun untuk membebaskan pasukan-pasukan darat Palestina akan diperlukan untuk melakukan operasi-operasi ofensif dan menguasai wilayah serta menyangkalnya kepada musuh-musuhnya. Militer Mesir sendiri dapat menjenuhkan teater perang melawan entitas Zionis, tetapi dalam kombinasi dengan negara-negara sekitarnya, entitas Zionis akan benar-benar kewalahan. Saat pertempuran akan melintasi wilayah seluas Wales, ini adalah wilayah yang sangat kecil untuk ditaklukkan.

Angkatan laut Turki lebih dari mampu menutup pelabuhan entitas Zionis dan perbatasannya dengan Mediterania. Jijka Mesir menggerakkan pasukannya di Selatan dan serangan artileri oleh Turki membentuk Barat, hal ini akan menjadi terlalu banyak front bagi entitas Zionis untuk bisa ditangani.

Zionis telah terfokuskan pada angkatan udara untuk memproyeksikan kekuatan, tetapi mereka menghadapi masalah strategis di wilayah ini, meskipun memiliki beberapa jet canggih. Tantangannya adalah mereka kalah jumlah dengan jumlah jet di negeri-negeri Islam. Jika harus menghadapi banyak tentara maka akan sulit untuk memusatkan pasukannya untuk mengalahkan atau membawa kekuatan apa pun untuk menanggungnya.

Zionis telah menerima banyak bantuan dengan mengembangkan pertahanan rudal. Namun hal ini belum pernah diuji terhadap rudal-rudal Iran, Turki atau Mesir. Dalam perang apa pun, tidak mungkin bagi entitas Zionis untuk berurusan dengan begitu banyak target yang berbeda.

Pertanyaan untuk tentara Muslim, bukan apakah mereka memiliki kemampuan untuk menghadapi entitas Zionis. Justru pada saat itulah mereka akan mengakhiri kelambanan memalukan mereka sementara saudara muslim laki-laki dan perempuan mereka menghadapi tindakan kekejaman, pengusiran dan penghinaan di tangan musuh yang didorong oleh diamnya para penguasa Muslim pengkhianat.

[1] Israel’s soaring population: Promised Land running out of room? Reuters, September 2015, https://www.reuters.com/article/us-israel-demographics/israels-soaring-population-promised-land-running-out-of-room-idUSKCN0RP0Z820150925

[2] Egypt, Israel and a Strategic Reconsideration, Stratfor, February 2011, https://worldview.stratfor.com/article/egypt-israel-and-strategic-reconsideration

[3] Lihat, http://www.israeldefense.com/?CategoryID=472&ArticleID=912

[4] Egypt may not need fighter jets but US keeps sending them anyway, NPR.org, August 2008, http://www.npr.org/blogs/money/2013/08/08/209878158/egypt-may-not-need-fighter-jets-but-u-s-keeps-sending-them-anyway

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *