Berita:
Senat Prancis menyetujui RUU yang lebih keras terhadap Islam.
Komentar:
Kebencian terhadap Islam dan #Muslims di negeri yang berada di tengah Eropa menjadi semakin mengancam. Selain penghinaan Nabi (Saw), penggerebekan rumah kaum Muslim dan penutupan masjid, Senat Prancis telah mengadopsi undang-undang baru yang secara eksklusif menargetkan masyarakat Muslim. Tindakan-tindakan itu termasuk ratusan amandemen yang sebelumnya disetujui oleh Majelis Nasional negara itu untuk mengadopsi undang-undang untuk memperkuat “prinsip-prinsip Republik” dan memerangi Islam secara resmi.
Sebagian dari tindakan diskriminatif itu termasuk larangan praktik keagamaan di universitas seperti larangan melaksanakan sholat, larangan terhadap wanita muslim dewasa mengenakan jilbab saat menemani anak-anak mereka ke sekolah dan bahkan larangan terhadap muslimah remaja mengenakan jilbab di ruang publik.
Sejalan dengan tindakan diskriminatif ini, Presiden Prancis Emmanuel Macron bahkan menuntut umat Islam untuk meninggalkan agama mereka dengan menekan mereka untuk menerima sekularisme, demokrasi, dan pembentukan “Islam de France.” Awal tahun ini Macron memerintahkan organisasi payung, Dewan Muslim Prancis (CFCM) untuk menyusun piagam tentang Islam di Prancis di mana mereka mendukung ini.
Dan sayangnya, mereka melakukan apa yang diperintahkan Macron. Dewan Muslim Prancis (CFCM) menyusun “piagam prinsip” di mana mereka menyatakan bahwa mereka, antara lain, menolak Islam politik, campur tangan asing, dan menegaskan kembali kecocokan “Islam dengan Republik.”
Jadi, otoritas Prancis French tidak hanya mendikte umat Islam bagaimana mereka harus hidup tetapi juga bagaimana mereka berpikir. Pada tahun 2018 Macron bahkan berani menerbitkan manifesto yang ditandatangani oleh 300 intelektual dan politisi terkemuka, termasuk dirinya sendiri bahwa Alquran menghasut kekerasan dan bahwa ayat-ayat itu harus dikeluarkan dari Alquran.
Begitu banyak kredibilitas yang disebutkan sebagai prinsip netralitas negara sekuler terhadap semua ranah dan frasa kosong slogan liberté, égalité, fraternité.
Semua ini diungkapkan di depan mata komunitas internasional dan terutama negara-negara anggota Uni Eropa. Hebatnya, tidak ada satu pun negara-negara Uni Eropa itu yang menentang pendekatan diskriminatif Prancis yang keras dan mau mempertanyakan mitra UE itu mereka tentang hal tersebut karena hal itu melanggar nilai-nilai Barat yang mereka miliki. Sebaliknya, mereka menunjukkan dukungan penuh dan kesetiaan kepada Prancis dalam memerangi Islam.
Hal ini mengingatkan saya pada pidato perpisahan Panglima Tertinggi NATO John Galvin pada tahun 1988 di Brussel. Pada saat itu keruntuhan Uni Soviet sudah terlihat jelas. Dia kemudian mengucapkan kata-kata berikut ini: “Kami memenangkan Perang Dingin. Setelah saling berseteru selama tujuh puluh tahun, kami sekarang kembali kepada poros konflik yang sebenarnya dalam 1300 tahun terakhir: konfrontasi besar dengan Islam.”
Sejak saat itu, konfrontasi dengan Islam semakin intensif dan telah menjadi titik temu bagi negara-negara Barat. Perbedaannya hanya pada tingkat permusuhan mereka. Masalah sebenarnya bukanlah sikap kebencian mereka terhadap Islam, tetapi lemahnya sikap para pemimpin di negeri-negeri Muslim.
Contoh terbaru tentang hal ini terlihat pada tindakan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan. Kaum Muslim di Pakistan turun ke jalan dan menuntut agar pemerintah Pakistan mengambil sikap yang jelas dan keras terhadap penghinaan Nabi (Saw) kita tercinta yang dilakukan oleh Prancis. Alih-alih memenuhi tuntutan mereka, Khan malah melarang sebuah kelompok Muslim.
Imran Khan memilih menghindari kemungkinan terganggunya ekspor Pakistan ke Uni Eropa akibat responnya atas penghinaan Nabi (Saw), serangan terhadap Islam dan penindasan terhadap jutaan Muslim.
Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir oleh Okay Pala
Perwakilan Media Hizbut Tahrir Belanda