Oleh: Ahmad al-Khathwani
Dua utusan Amerika Jared Kushner penasehat Presiden Amerika Donald Trump dan Utusan Khusus AS untuk Negosiasi Jason Greenblatt, mengakhiri tur singkat di Timur Tengah, yang mencakup Mesir, Arab Saudi, Qatar, Yordania dan entitas Yahudi. Tidak tersebar dari tur itu suatu proposal politik khusus yang disepakati. Juga tidak terkristal sama sekali ajaran yang jelas seputar rencana Trump yang dikenal sebagai kesepakatan abad ini. Semua yang keluar dari wartawan tentang tur itu hanyalah spekulasi dan dugaan.
Mungkin hal paling mencolok yang muncul dalam pernyataan para pejabat tersebut dalam tur ini adalah untuk mengatasi situasi kemanusiaan di Jalur Gaza dan untuk membahas ide-ide (yang samar) untuk memisahkan Gaza dan membedakannya dalam berurusan dengan Tepi Barat. Juga untuk meminta Arab Saudi dan negara-negara Teluk untuk melakukan pembiayaan komprehensif untuk Jalur Gaza sekira satu miliar dolar dengan dalih mengatasi krisis kemanusiaan yang melanda di Jalur Gaza.
Adapun bocoran Yahudi, hal itu telah memenuhi pers Ibrani. Yang paling menonjol adalah ide-ide Likud yang dikenal milik Netanyahu tentag rencana tersebut. Tampaknya itu seperti rencana yang didiktekan oleh kelompok kanan Yahudi kepada Trump dan bukan ide-ide yang berasal dari para pejabat Amerika. Ide itu misalnya, penggabungan semua pemukiman dan Lembah Yordan dengan entitas Yahudi, dan pencopotan penuh untuk masalah al-Quds dan pengungsi dari proses negosiasi. Hal itu dengan jalan penundaan pembahasan keduanya sampai waktu yang tidak ditentukan. Dan didirikan entitas metamorfosis Palestina di wilayah (a) dan (b) menurut klasifikasi perjanjian Oslo, dengan penambahan wilayah baru dari daerah (c). Dan kemudian dideklarasikan negara Palestina di daerah-daerah terbatas itu, dengan syarat seluruh negara di dunia mengakui “negara (Israel) sebagai tanah air bagi bangsa Yahudi, dan Negara Palestina sebagai tanah air bagi bangsa Palestina, dan (Israel) menjamin kebebasan beribadah di tempat-tempat suci untuk semua dengan tetap menjaga status quo”. Da dimulai segera normalisasi hubungan dan pembentukan perdamaian antara entitas Yahudi dan negara-negara Arab.
Tur pejabat AS ini menunjukkan bahwa ada rencana AS yang hampir selesai untuk mengtasi masalah Palestina, dan bahwa rencana itu dalam tahap kerja akhir. Sementara pada kenyataannya tidak ada sesuatu yang jelas atau konsisten dalam rencana tersebut selain dari namanya, dan pembentukan hubungan normalisasi dan perdamaian antara entitas Yahudi dan negara-negara Arab, dan tepatnya pembentukan hubungan dengan Arab Saudi dan negara-negara Teluk.
Dari sudut pandang praktis, administrasi Amerika telah berusaha melalui tur ini untuk menonjolkan beberapa hal dengan menggunakan pendektan wortel dan tongkat:
* AS tetap membekukan bantuan khusus kepada Otoritas Palestina untuk 2018 sebesar $ 200 juta (sekitar $ 251 juta), di samping pembekuan $ 65 juta untuk Badan penyelamatan dan pemberian pekerjaan untuk para pengungsi (UNRWA), dengan mengabaikan rekomendasi Kementerian Luar Negeri AS dan USAID untuk melanjutkan bantuan ini.
* Gedung Putih mengirim pesan positif kepada Otoritas Palestina melalui pembocorannya kepada pers di entitas Yahudi yang menyatakan bahwa rencana perdamaian akan menjadi dasar untuk negosiasi dan bukan solusi yang dipaksakan. Dan bahwa Washington masih menganggap Presiden Otoritas Palestina Mahmoud Abbas sebagai teman dialog Palestina satu-satunya dan bahwa Washington tidak berusaha melangkahinya. Bleh jadi, ini juga satu hal yang berusaha ditampilkan oleh pers Amerika.
* Gedung Putih mengikuti rencana (wortel) mengungkapkan untuk menyediakan pendana Teluk untuk proyek-proyek ekonomi di Jalur Gaza senilai satu miliar dolar, termasuk penyediaan energi dalam kondisi ada pemutusan listrik terus menerus di Jalur Gaza, dan pembangunan pelabuhan, dan jaringan energi surya Sinai Utara di perbatasan selatan Gaza. Tujuan yang diumumkan dari pengumuman langkah ini adalah berkontribusi menyediakan atmosfer positif yang akan membantu menggerakkan perundingan.
* AS menerima keterlibatan terbatas dari Eropa dalam menyelesaikan rencana. Hal itu tampak melalui peran Inggris yang terlihat dalam upaya Menteri Luar Negeri Inggris Boris Johnson untuk mengadakan pertemuan yang diperluas pada bulan depan antara Kouchner dan menteri luar negeri dari Perancis, Inggris, Jerman, Mesir, Yordania, Arab Saudi dan entitas Yahudi. Pertemuan itu untuk membandingkan ide-ide dan menentukan apa yang menjadi (garis merah) untuk jalannya negosiasi, di bawah upaya Eropa untuk memasuki garis AS, dan mencoba untuk menempatkan patokan-patokan Eropa terhadap rencana Gedung Putih yang tampaknya telah banyak dari rencana itu yang dicapai tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan Inggris dan negara-negara Eropa. Juga di bawha kondisi adanya perbedaan besar antara kedua pihak atas latar belakang benturan di antara keduanya seputar masalah nuklir Iran dan masalah tarif perdagangan. Dan perlu diketahui bawa Kouchner, dalam jawabannya kepada Boris Johnson, sangat jelas ketika dia bersikeras bahwa masalahnya pada akhirnya terserah kepada Trump untuk memutuskan sendiri apa yang termasuk dalam rencana AS sehingga tidak menerima tambahan substansial terhdapnya dari Inggris dan Eropa.
Tampaknya Amerika tidak ingin memberikan kesempatan kepada orang Eropa untuk mengutak-atik rencana AS dengan alasan penentuan (garis merah). Sebab AS tidak mau mengakui kehadiran orang-orang Eropa sebagai mitra, tetapi AS mau menerima mereka sebagai pihak saksi, tidak lebih. Sudah diketahui dengan baik bahwa Amerika lah yang menggulingkan Kuartet internasional, dan memonopoli masalah Palestina, dan karena itu tidak diprediksi AS kembali kepada kesalahan yang sama.
Di bawah penolakan alami dari sisi Palestina terhadap rencana tersebut, dikarenakan mustahil untuk menerimanya, maka penerimaan terhadapnya merongrong pedoman-pedoman internasional yang telah disepakati dan dikomitmenkan untuk dipegangi. Tidak ada pemimpin Palestina yang mampu berlepas diri darinya. Sebab jika dia melakukannya maka dia langsung jatuh. Bahkan hingga pemerintahan Trump sendiri memperhatikan kekhususan otoritas Palestina, sehingga AS tidak menekannya untuk membuat otoritas Palestina menerima kesepakatan karena AS mengetahui sulitnya posisi Otoritas jika menerima kesepakatan itu.
Mengingat penolakan yang diprediksi ini, kesepakatan itu tidak memiliki makna lagi kecuali normalisasi dan pembentukan perdamaian antara entitas Yahudi dan negara-negara Arab, terutama negara-negara Teluk. Bagian yang mungkin diberlakukan dari kesepakatan itu adalah perdamaian dan hubungan ini. Adapun penyelesaian isu Palestina melalui kesepakatan abad ini maka tidak dimungkinkan dalam apa yang terjadi menyibukkan warga Palestna dengan situasi ekonomi seperti rekonstruksi Gaza, dan dengan perbedaan pendapat politik yang tak ada habisnya seperti rekonsiliasi, pemerintahan konsensus, pemilihan umum dan sejenisnya.
Mungkin penurunan tingkat pihak AS yang menangani masalah sensitif ini menunjukkan ketidakseriusan Amerika dalam solusi itu. Penyerahan masaah kepada Kouchner dan Greenblatt, dan marginalisasi peran tradisional dari Kementerian Luar Negeri dan Dewan Keamanan Nasional, menegaskan bahwa Amerika pada akhirnya tidak menginginkan dari kesepakatan itu lebih dari masalah normalisasi.
Keterpurukan para penguasa Arab sampai batas ini, keantekan mereka, membebeknya mereka di belakang entitas Yahudi dan normalisasi dengan entitas Yahudi, dan ketidakpedulian terhadap hak-hak umat, sungguh merupakan dukti pasti atas dekatnya hilangnya takhta mereka. Dan itu merupakan kabar gembira dekatnya menyeruak sinar fajar pertama, fajar munculnya Negara Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian yang akan membebaskan Palestina dari sungai hingga lautnya, dan yang akan memotong tangan Amerika dan mencegahnya merusak potensi umat, Daulah Khilafah Rayidah yang akan tegak menyapu semua rezim pengkhianatan yang mengangkangi dada umat.[]
http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/alraiah-newspaper/53261.html