Mediaumat.id – Terkait dampak terburuk dari bencana gempa, Peneliti dari Pusat Riset Geospasial di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar menyampaikan, pemerintah harusnya memastikan seluruh infrastruktur dan bangunan publik lainnya memenuhi spesifikasi tahan gempa.
“Salah satu tugas pemerintah adalah memastikan seluruh infrastruktur dan bangunan publik lainnya, kantor pemerintahan, rumah sakit, sekolah, memenuhi spesifikasi tahan gempa,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Kamis (24/11/2022).
Atau paling tidak, sambungnya, tidak justru menjadi penghambat masuknya ambulans untuk datang menolong para korban. Pasalnya, peristiwa gempa cenderung menimbulkan longsor atau pula jembatan patah.
Meski terjadinya gempa tidak bisa diprediksi, hal itu ia sampaikan agar di kemudian hari tidak lagi menimbulkan dampak kerugian yang lebih besar lagi. Terlebih mencegah jatuhnya korban jiwa sebagaimana peristiwa gempa yang terjadi dengan pusat gempa berada di 10 Km barat daya Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat pada Senin (21/11) lalu.
Seperti dikutip dari pernyataan Kepala BNPB Suharyanto dalam konferensi pers Rabu (23/11/2022), jumlah korban yang tewas akibat gempa berkekuatan magnitudo (M) 5,6 di Cianjur, Jawa Barat itu bertambah. Hingga Rabu (23/11) sore, BNPB melaporkan jumlah korban tewas menjadi 271 orang.
Bahkan berdasarkan pendataan yang disusun oleh Pusat Pengendalian dan Operasi (Pusdalops) BNPB, dampak yang diakibatkan gempa tersebut turut merusak beberapa bangunan, seperti 343 unit rumah rusak berat, satu unit pondok pesantren rusak berat, RSUD Cianjur alami rusak sedang. Kemudian empat unit gedung pemerintah, tiga unit fasilitas pendidikan, satu unit sarana ibadah, satu unit toko dan satu unit cafe juga alami kerusakan, serta ada jalanan yang terputus.
Dengan kata lain meski sekali lagi gempa tidak dapat diduga kapan datangnya, tetapi daerah rawan gempa bisa dipetakan sehingga mampu mengurangi risiko dari dampak buruk peristiwa tersebut.
Maka itu dengan memenuhi spesifikasi bangunan tahan gempa, setidaknya pula bangunan publik dimaksud bisa difungsikan sebagai tempat pengungsian sementara.
Tak hanya itu, yang tak kalah pentingnya, menurut Fahmi, adalah menyiapkan infrastruktur sosial dan mental spiritual. “Kita ini sering menyadari hidup di daerah rawan bencana, namun amat jarang ada latihan tanggap darurat bencana,” ujarnya.
Walhasil pada saat terjadi bencana seperti ini, respons pertama warga sering tidak tepat. Sebutlah tsunami drill yaitu latihan evakuasi tsunami skala penuh (full scale) dengan melibatkan 3 unsur utama secara simultan dari pemerintah daerah, masyarakat dan Sistem Peringatan Dini Tsunami (TEWS), yang menurutnya asal jalan.
“Dulu, pasca bencana gempa dan tsunami Aceh 2004, banyak daerah melakukan tsunami drill, namun kegiatan ini terkesan asal jalan,” ulasnya.
Sehingga ketika proyek selesai, masyarakat dan pemerintah setempat tak merasa perlu melakukannya lagi. “Seolah-olah seluruh latihan itu adalah kebutuhan negara donor, bukan masyarakat di sini,” sesalnya.
Selanjutnya, selain memperkuat kesigapan masyarakat, lanjut Fahmi, membangun sikap mental saling menjaga juga penting. “Di Jepang, sewaktu gempa sembilan skala richter dan tsunami melanda Sendai tahun 2011 dulu, infrastruktur dan dunia usaha praktis lumpuh,” ulasnya, mengenai bencana alam serupa.
Saat itu, kata Fahmi, banyak warga mengambil sendiri sembako di supermarket. Namun ketika kondisi pulih, warga tersebut kembali ke supermarket dan melaporkan barang yang diambilnya saat kondisi darurat, serta mereka antre untuk membayarnya.
Oleh karenanya, kendati sulit membayangkan hal itu bisa terlaksana di Indonesia, ia berharap pihak otoritas dengan dukungan segenap masyarakat punya kemauan untuk membangun sumber daya manusia ke arah sana.
“Lebih dari itu, kita kembangkan sikap mental spiritual positif,” tambahnya, yang berarti peristiwa gempa bukanlah azab, tetapi ujian dari Allah SWT untuk menilai siapa yang lebih baik amalnya.
“Yang kena musibah diuji kesabarannya, yang tidak kena musibah diuji solidaritasnya. Dan semuanya diuji agar ke depan makin bertakwa,” tutur Fahmi.
Artinya, yang terkategori azab hanyalah jika ahli maksiat tewas saat bencana tanpa sempat bertobat. “Adapun ahli taat, mereka (dinilai) mati syahid,” pungkasnya.[] Zainul Krian