Antara Metode Berfikir Aqliyah dan Ilmiyah

 Antara Metode Berfikir Aqliyah dan Ilmiyah

(Kesalahan Metode Berfikir Guru Gembul Terhadap Eksistensi Tuhan)

Oleh: dr Mohammad Ali Syafi’udin

Gembul mengatakan bukti adanya Tuhan adalah adanya alam semesta itu hanya akal-akalan kelompok asy’ariyah yang kemudian dianut oleh santri-santri pondok.

Kelihatannya Gembul memahami eksistensi keberadaan Tuhan melalui metode berpikir ilmiah (metode berfikir sains).

Yang dimaksud dengan metode berpikir ilmiah (metode berfikir sains) adalah suatu metode pengkajian yang dapat ditempuh agar seseorang sampai pada tahap mengetahui hakikat sesuatu yang diteliti melalui berbagai macam percobaan ilmiah. Namun, proses pencapaian hanya berlaku bagi benda-benda yang bersifat fisik, dan tidak terhadap ide-ide (abstrak).

Metode berpikir ilmiah (metode berpikir sains) ini dapat diterapkan dengan cara memperlakukan benda pada kondisi tertentu, bukan pada kondisi yang alami. Hasil yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan hasil percobaan pada kondisi alami yang telah ada sebagai kontrol. Dari percobaan dan hasil yang diperoleh, serta perbandingan yang dilakukan, dapat diambil suatu kesimpulan tentang hakikat benda yang diteliti dan dapat diserap oleh indra. Bentuk percobaan ini telah lazim dilakukan di laboratorium.

Jadi jika Si Gembul ini memahami eksistensi keberadaan Tuhan dengan memakai metode berpikir ilmiah (metode berpikir sains) maka tidak akan bisa meyakini adanya Tuhan. Bahkan bisa jadi ada atau tidak adanya Tuhan itu sama saja karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.

Kesimpulan yang dihasilkan oleh seorang yang melakukan penelitian melalui metode berpikir ilmiah (metode berpikir sains), meskipun disebut sebagai suatu fakta ilmiah, tetapi belum pasti, yakni masih mengandung “faktor kesalahan”. Bahkan adanya “faktor kesalahan” dalam metode berpikir ilmiah ini merupakan paradigma yang paling mendasar yang harus diperhatikan dalam metode berpikir ilmiah. Kesalahan dalam mengambil kesimpulan sering terjadi dan telah terbukti berbagai kekeliruan di bidang pengetahuan sains, setelah sebelumnya dianggap sebagai faktor ilmiah yang pasti.

Seharusnya Si Gembul ini memahami eksistensi keberadaan Tuhan dengan menggunakan metode berpikir aqliyah
(rasional) artinya suatu metode pengkajian yang dapat ditempuh agar seseorang sampai pada tahap mengetahui hakikat sesuatu yang sedang dikaji, melalui indra yang menyerap objek. Proses penyerapan tersebut dilakukan melalui panca indra menuju ke otak, dibantu oleh pengetahuan/informasi sebelumnya yang akan menafsirkan dan memberikan keputusan atas fakta tersebut. Keputusan tersebut dinamakan pemikiran atau ide yaitu pemahaman yang diperoleh akal secara langsung.

Metode berpikir aqliyah (rasional) ini mencakup pengkajian materi obyek yang dapat diindra, maupun yang bukan materi (berkaitan dengan pemikiran). Dan ini satu-satunya metode yang alami yang ada dalam diri manusia untuk memahami segala sesuatu. Yaitu dengan terbentuknya pemikiran atau pemahaman terhadap sesuatu.

Pola pikir seperti ini merupakan definisi akal. Dengan cara inilah, manusia dalam kedudukannya sebagai manusia bisa memahami segala sesuatu yang telah lalu, baik yang telah ataupun yang ingin ia ketahui.

Hasil yang diperoleh melalui metode berpikir aqliyah (rasional), mengandung dua kemungkinan. Jika kesimpulan itu berkaitan tentang “ada” atau “tidak adanya wujud” sesuatu, maka ia bersifat pasti dan sedikit pun tidak mengandung faktor kesalahan. Sebab, keputusan itu diambil melalui pengindraan terhadap sesuatu, sedangkan alat indra manusia tidak mungkin salah dalam menentukan “adanya” sesuatu yang bersifat nyata, karena penyerapan indra manusia terhadap “adanya” sesuatu kenyataan bersifat pasti, sehingga keputusan akal untuk menentukan “adanya” sesuatu yang terindra adalah pasti.

Jika kesimpulannya berkaitan dengan hakekat sesuatu maka hasilnya bisa mengandung kesalahan.

Metode berpikir aqliyah (rasional) inilah ditempuh para ulama untuk membuktikan wujudnya Al-khaliq.

Allah SWT berfirman

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (21) الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (22)

Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa.

Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah Padahal kamu mengetahui. (QS Al-baqarah 21-22)

Di dalam tafsir ibnu Katsir dijelaskan

“Kebanyakan ulama tafsir —seperti imam Ar-Razi dan lain-lainnya— berhujah dengan dalil ini sebagai petunjuk tentang metode yang utama atas wujudnya Tuhan Yang Maha Pencipta…………Sebagaimana ketika orang arab Badui ditanya , “apa bukti yang menunjukkan wujudnya Tuhan Yang Maha Tinggi?” Maka dia menjawab, “Subhanallah (Mahasuci Allah), sesungguhnya kotoran unta menunjukkan adanya unta, jejak kaki menunjukkan adanya orang yang lewat. Langit yang memiliki bintang-bintang, bumi yang memiliki gunung-gunung serta lautan yang memiliki ombak-ombak, bukankah semua itu menunjukkan wujudnya Tuhan Yang Maha lembut lagi Maha Mengetahui?”

Begitu juga Para imam madzhab (Imam Malik, Imam abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Hambali) berpendapat bahwa untuk membuktikan wujudnya Allah SWT adalah dengan mengarahkan pikiran dan pandangannya kepada makhluk-makhluk-Nya dan semua yang terjadi padanya.

Sebagaimana Ibnu Katsir dalam tafsirnya ayat Al Baqarah 21-22 menceritakan dari Imam Ar-Razi, bahwa ia meriwayatkan dari Imam Malik, bahwa Khalifah Ar-Rasyid pernah bertanya kepadanya mengenai masalah ini ( yakni membuktikan wujudnya alkhaliq), lalu Imam Malik membuktikan dengan adanya berbagai macam bahasa, suara, dan irama.

Disebutkan oleh Abu Hanifah bahwa ada sebagian orang Zindiq bertanya kepadanya mengenai keberadaan Tuhan Yang Maha Pencipta. Maka Abu Hanifah berkata kepada mereka, “Biarkanlah aku berpikir sejenak untuk mengingat suatu hal yang pernah diceritakan kepadaku. Mereka menceritakan kepadaku bahwa ada sebuah perahu di tengah laut yang berombak besar, di dalamnya terdapat berbagai macam barang dagangan, sedangkan di dalam perahu itu tidak terdapat seorang pun yang menjaganya dan tiada seorang pun yang mengendalikannya. Tetapi sekalipun demikian perahu tersebut berangkat dan tiba berlayar dengan sendirinya, dapat membelah ombak yang besar hingga selamat dari bahaya. Perahu itu dapat berlayar dengan sendirinya tanpa ada seorang pun yang mengendalikannya.” Mereka berkata, “Ini adalah suatu hal yang tidak akan dikatakan oleh orang yang berakal.” Maka Abu Hanifah berkata, “Celakalah kamu, semua alam wujud berikut apa yang ada padanya mulai dari alam bagian bawah dan bagian atas, semua yang terkandung di dalamnya berupa berbagai macam benda yang teratur ini, apakah tidak ada penciptanya?” Akhirnya kaum Zindiq itu terdiam dan mereka sadar, lalu kembali kepada perkara yang hak dan semuanya masuk Islam di tengah Abu Hanifah.

Diriwayatkan dari Imam Syafii bahwa ia pernah ditanya mengenai keberadaan Tuhan Yang Maha Pencipta, maka ia menjawab bahwa ini adalah daun at-tut (arbei) yang rasanya sama. Daun ini bila dimakan ulat sutera dapat menghasilkan benang sutera; bila dimakan lebah, keluar darinya madu; bila dimakan kambing dan sapi atau unta, menjadi kotoran yang tercampakkan dan bila dimakan oleh kijang, maka keluar dari tubuh kijang itu bibit minyak kesturi, padahal daunnya berasal dari satu jenis.

Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa ia pernah ditanya mengenai masalah ini, ia menjawab bahwa ada sebuah benteng yang kuat lagi licin, tidak mempunyai pintu dan tidak mempunyai lubang. Bagian luarnya putih seperti perak, sedangkan bagian dalamnya kuning mirip emas. Ketika benteng tersebut dalam keadaan demikian, tiba-tiba temboknya terbelah dan keluarlah darinya seekor hewan yang dapat mendengar dan melihat, bentuk dan suaranya lucu. Dia bermaksud menggambarkan telur bila menetas.

Kesimpulan:

Untuk membuktikan wujudnya Al-khaliq, semua ulama termasuk para ulama madzhab, bersepakat dengan mengarahkan pikiran dan pandangan kepada makhluk-makhluk-Nya baik alam, manusia maupun kehidupan. Metode berpikir seperti ini adalah metode berpikir aqliyah (rasional)

Wallahu a’lam

 

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *