Oleh: Ahmad Khozinudin, SH | Ketua Koalisi Advokat Penjaga Islam | Koordinator Koalisi 1000 Advokat Bela Islam
Setelah Hizbut Tahrir Indonesia mengajukan saksi dan ahli dalam persidangan sebelumnya, kini giliran pihak kemenkumham mengajukan ahli dan saksi. Salah satu ahli yang dihadirkan adalah Ansyaad Mbai, mantan ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Ada yang janggal dengan kehadiran Ansyaad Mbai dalam persidangan Administrasi di PTUN Jakarta. Pertama, materi pokok persidangan adalah materi Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara terkait dikeluarkannya SK pencabutan Badan Hukum Perkumpulan Hizbut Tahrir Indonesia (BHP – HTI).
Persidangan terkait status administrasi ketatanegaraan, pengujian keputusan TUN (beshicking), bukan sidang perkara terorisme. Lantas apa hubungannya dengan Ansyaad Mbai selaku ahli Terorisme?
Keterangan Ansyaad Mbai juga tidak mengerucut pada keahlian tertentu yang dengan pendapatnya dapat dijadikan dasar dan pembenaran bagi Tergugat (Pemerintah) untuk mengeluarkan SK pencabutan BHP HTI.
Diskursus yang diajukan dalam persidangan justru bertutur seputar kiprah BNPT bersama Densus 88 untuk memberantas aksi terorisme. Lantas apa hubungannya dengan HTI?
Kedua, yang paling nampak melalui upaya penuturan Mbai adalah “Framing Opini” melalui forum pengadilan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa indikasi.
Ansyaad misalnya, selalu mengaitkan tujuan mendirikan Khilafah dengan aktivitas terorisme baik di dunia internasional maupun kasus terorisme di dalam negeri.
Terorisme ISIS, Amrozi, Muchlis, Santoso cs, misalnya disebut semuanya memiliki tujuan untuk mendirikan Khilafah. Mbai tidak mau menunjuk hidung langsung bahwa Khilafah ajaran terorisme, tetapi narasi keterangan yang disampaikan Mbai mengajak publik untuk membuat kesimpulan bahwa setiap kegiatan atau aktivitas organisasi yang berjuang menegakkan Khilafah adalah teroris.
Framing itu dilanjutkan dengan banyaknya pihak-pihak yang tertangkap sebagai terduga atau tersangka Teroris, diklaim sebagai mantan anggota HTI atau setidaknya sempalan organisasi HTI.
Dengan pola framing itu, Mbai mau mengajak audiens membuat kesimpulan bahwa HTI adalah gerakan yang secara tidak langsung (menginspirasi) terorisme melalui dakwah Khilafahnya. Penyimpulan ngawur ini diperkuat dengan pernyataan horor yang menyebut Hizbut Tahrir banyak dibubarkan di berbagai negara di dunia.
Ketika Ust. Ismail Yusanto, jubir HTI bertanya dan mengklarifikasi beberapa hal, baru terbongkar framing jahat yang dibuat Ansyad Mbai. Jubir HTI menanyakan apa dasar Mbai menyebut Hizbut Tahrir (HT) dibubarkan di banyak negara di seluruh dunia? Apakah berdasarkan keputusan pengadilan negara yang bersangkutan?
Ansyaad Mbai tidak mampu menjawab, Mbai hanya menyebut penyimpulan Hizbut Tahrir dibubarkan ia akui hanya berasal dari diskusi berbagai tokoh terorisme di berbagai dunia yang ia kunjungi.
Jubir HTI mengunci “Kekacauan Berfikir” Mbai dengan menjelaskan Hizbut Tahrir di beberapa negara tidak dibubarkan. Turki dan Malaysia, adalah contohnya. HT Malaysia beberapa waktu yang lalu mengadakan konferensi Khilafah. Sedangkan Turki, Jubir justru ikut hadir menjadi salah satu pembicara dalam sebuah forum diskusi yang diadakan HT Turki.
Framing kedua juga mampu dipatahkan karena semua kasus Terorisme yang dikemukakan Mbai bukanlah tindakan Terorisme yang dilakukan oleh institusi atau anggota HTI.
Apakah ada keputusan organisasi internasional yang menyatakan HT sebagai organisasi terlarang? Apakah ada keputusan negara yang memasukkan HTI sebagai organisasi Teroris ?
Dua pertanyaan ini tak mampu dijawab Mbai. Karena faktanya, tidak ada satupun Produk hukum internasional maupun Nasional yang menyebut HT atau HTI sebagai organisasi Teroris.
Bagi masyarakat yang banyak berinteraksi dengan HTI, tudingan Mbai yang menyimpulkan HTI sebagai Gerakan Teroris atau setidaknya menginspirasi Terorisme akan dianggap candaan saja. Sebab, telah dikenal secara luas bahwa HTI dalam mengemban misi dakwah Islam murni dengan pemikiran, dakwah amar makruf nahi munkar, tanpa fisik dan tanpa kekerasan.
Ketika kuasa hukum dari Ihza & Ihza Law Office bertanya tentang mekanisme penanganan terorisme, Mbai menyebut semua dilakukan sesuai prosedur dan peraturan perundang-undangan.
Mbai menyebut, para penyidik Densus 88 melakukan proses identifikasi, penyelidikan dan penyidikan sesuai prosedur penindakan. Berdasarkan alat bukti.
Lantas, kuasa hukum HTI menanyakan bagaimana menurut ahli jika HTI dicabut status hukumnya tanpa prosedur? Tanpa mediasi ? Tanpa bukti administrasi? Mbai hanya terdiam dan mengelak itu bukan bagian dari keahliannya.
Bagi siapapun yang mengikuti proses persidangan, akan jelas melihat bahwa narasi terorisme yang dilekatkan pada HTI, kemudian atas dasar itu HTI dibubarkan adalah konklusi ngawur. Jelas, pernyataan Mbai banyak mengeluarkan ujaran tendensi ketimbang pernyataan objektif yang dituturkan oleh seorang ahli.
Umat Islam juga sudah memahami, bagaimana track record dan sikap Mbai terhadap umat Islam. Karenanya, cukuplah pepatah yang mengatakan “lihatlah aliran sungai akhirnya ke mana, jangan melihat riak kecil yang memercik ke arah yang berbeda”. []